20 Januari 1946: Tentara Jepang Dipukul Mundur ke Medan
Jepang menyerah kepada Sekutu. Rakyat Aceh berusaha melucutinya dan memukul mundur ke Medan.
Berita menyerahnya Jepang kepada Sekutu cukup mengejutkan sejumlah pemimpin Aceh, khususnya yang bekerja sama dengan Jepang. Tersiar pula kabar pasukan Sekutu akan tiba di Aceh untuk merampas senjata Jepang dan mengembalikan mereka ke negerinya.
Rakyat Aceh lebih dulu merampas senjata Jepang dengan penuh perjuangan. Jepang menolak menyerahkannya lantaran terikat kesepakatan dengan Sekutu. Amran Zamzami dalam Peranan Rakyat Aceh dalam Perang Kemerdekaan 1945–1949 menulis, perampasan senjata di sejumlah tempat meninggalkan korban jiwa dari pihak Aceh.
Senjata rampasan tentara Jepang menjadi bekal bagi rakyat Aceh dalam menghadapi serangan Belanda dan mendukung rakyat Aceh di Front Medan Area. Hal ini membuat Sekutu khawatir. T.E.D Kelly, pemimpin pasukan Sekutu di Medan, menginstruksikan tentara Jepang untuk merebut kembali persenjataan yang telah dirampas.
Tentara Jepang di Blang Bintang bergerak menuju Ulee Lheue pada malam hari dan memutuskan sambungan telepon. Dibantu kapal Sekutu, tentara Jepang selanjutnya bergerak menuju Kutaraja (kini Banda Aceh). Mereka mengepung asrama Kuta Alam yang berfungsi menjadi Markas Daerah Angkatan Pemuda Indonesia (API)/Tentara Keselamatan Rakyat (TKR).
Delapan belas anggota API/TKR ditangkap dan dibawa ke Ulee Lheue untuk dijadikan tawanan. Jepang memaksa mereka untuk mengembalikan seluruh senjata rampasan dan diancam akan diserahkan kepada Sekutu.
Tindakan Jepang tersebut memicu amarah rakyat Aceh yang bergerak ke wilayah Kutaraja. Mereka menyampaikan protesnya kepada Residen Teuku Nyak Arief.
Teuku Nyak Arief mengirimkan ultimatum kepada tentara Jepang di Ulee Lheue. Sebagaimana termuat dalam buku Aceh dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945–1949, ultimatum tersebut berbunyi: “Semua perwira API/TKR yang ditahan Jepang agar dikembalikan dalam keadaan selamat dalam waktu 3x24 jam. Kalau tidak dilaksanakan, maka rakyat dan pemerintah Republik Indonesia akan mengambil tindakan.”
Ultimatum tersebut dikirim melalui T.M. Ali Panglima Polem. Sebelum habis masa 3x24 jam, Jepang membebaskan hampir seluruh tawanan. Tawanan yang tidak dibebaskan adalah Komandan API/TKR Syamaun Gaharu dan T. Muhammad Syah.
Selain Kutaraja, wilayah lain yang menjadi lokasi pencegatan tentara Jepang yang berjumlah 1.000 orang ialah Krueng Panjoe. Wilayah tersebut dipilih karena dilintasi kereta api dan area persawahan penduduk yang terdapat tanggul besar sebagai benteng pertahanan. Terlebih tentara Jepang diangkut menggunakan kereta api.
Pada 24 November 1945, kereta api yang mengangkut tentara Jepang memasuki wilayah Krueng Panjoe. Masinisnya orang Indonesia bergegas melompat keluar dari kereta. Jepang menembaki masinis tersebut yang selamat karena terlindungi pinggiran parit.
Perlawanan rakyat Aceh tak terhindarkan. Tentara Jepang dibuat kebingungan oleh serangan rakyat Aceh yang menghujani gerbong kereta dengan tembakan senjata. Pengadangan dilakukan dengan merusak rel kereta api.
Sekutu menginstruksikan tentara Jepang yang sudah meninggalkan Aceh Timur dan sekitarnya, kembali ke Aceh Timur untuk merampas senjata-senjata mereka dari rakyat Aceh. Hal ini dilakukan Jepang dengan menyusuri kembali Kota Langsa dan Kuala Simpang. Dalam menghadapi kedatangan Jepang, API/TKR menambah jumlah pasukan dari Kutaraja, Bireueun, Takengon, Lhok Sukon, dan Lhokseumawe.
Perlawanan API/TKR yang cukup lama berhasil memukul mundur tentara Jepang ke Kuala Simpang. Pada 20 Januari 1946, pasukan API/TKR bersama lasykar rakyat berhasil menaklukkan tentara Jepang hingga kembali ke Medan.
Pukulan telak juga dirasakan oleh Sekutu yang telah menjalin kesepakatan dengan Jepang. Kemenangan itu membuat semangat perjuangan rakyat Aceh kian berkobar dalam mempertahankan wilayahnya dari serangan yang hendak menguasai kembali Aceh.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar