Memulangkan Artefak Kuno Yunani dari Genggaman Inggris
Artefak dari Akropolis dipindahkan dubes Inggris dengan modus penyelamatan. Ujung-ujungnya dijual untuk bayar utang.
SUDAH dua abad lamanya Marmer Parthenon berdiam di Inggris. Sudah bertahun-tahun pula pemerintah Yunani berupaya merepatriasinya, namun hingga sekarang belum juga berbuah. Meski begitu, pihak Inggris bukan berarti tak mau membuka pintu kerjasama.
Marmer Parthenon atau acap disebut Marmer Elgin adalah kumpulan artefak kuno berupa 17 patung dan relief berbahan marmer hasil karya seniman Yunani, Phidias. Mulanya, Marmer Parthenon berada di Kuil Parthenon dan bangunan kuno lain di Kompleks Akropolis, Athena, Yunani yang berasal dari masa antara 447-438 SM. Di antara karya itu menggambarkan banyak kisah pertempuran kaum Lapith dan makhluk mitos Centaur.
Pada awal abad ke-19, ke-17 artefak itu dibawa Duta Besar (Dubes) Inggris untuk Kesultanan Utsmaniyah Thomas Bruce, alias Lord Elgin, ke Inggris. Sejak 1816, artefak itu menjadi koleksi milik British Museum, London.
Hingga kini, soal apakah upaya pengambilan artefak-artefak itu sah atau ilegal masih jadi polemik.
“Memang faktanya karya seni itu dipindahkan dari reruntuhan sekitar Parthenon dan kini sudah menjadi bagian integral museum kami. Tetapi kami menawarkan ‘Kemitraan Parthenon’ yang aktif untuk mengubah panasnya perdebatan dan mencari cara yang lebih baik dalam hubungan budaya yang terjadi sekarang ini,” kata Wakil Direktur British Museum Dr. Jonathan Williams kepada Sunday Times, Sabtu (30/7/2022).
Baca juga: Keris Diponegoro Dikembalikan Belanda, Ini Kata Peter Carey
“Kemitraan Parthenon”, lanjut Williams, diharapkan bisa terjalin antara para sejarawan, arkeolog, dan stakeholders museum Yunani dan Inggris dalam hal tukar-pinjam benda seni. Bisa saja Marmer Parthenon itu “dipinjamkan” ke Yunani dengan ditukarkan dengan pinjaman benda seni lain dari Yunani.
Pihak Yunani menutup pintu untuk kerjasama yang ditawarkan Inggris. Mereka tetap berharap Marmer Parthenon bisa direpatriasi secara resmi ke tempat asalnya dan bersifat permanen.
“Di masa-masa sulit seperti ini, mengembalikan benda-benda itu akan jadi tindakan yang tercatat dalam sejarah. Jika benar terjadi, ibarat Inggris memulihkan demokrasi itu sendiri,” tutur Direktur Museum Acropolis, Nikolaos Stampolidis.
Dari Reruntuhan Parthenon ke London
Kompleks Akropolis di awal abad ke-19 sudah jadi reruntuhan. Kompleks itu sekadar jadi benteng militer Kesultanan Utsmaniyah. Baik Kuil Parthenon maupun bangunan-bangunan kuno di sekitarnya sudah tak lagi berbentuk akibat gempa dari masa ke masa dan peperangan antara Utsmaniyah dan Republik Venezia di akhir abad ke-17.
Lord Elgin menyempatkan waktu untuk mengunjungi Akropolis tak lama setelah ditunjuk jadi duta besar Inggris untuk Kesultanan Utsmaniyah pada November 1798. Berangkat dari Konstantinopel, ia melihat sendiri kondisi Akropolis dan Kuil Parthenon. Ia lalu mengirim surat untuk meminta bantuan pemerintah Inggris agar mendatangkan sejumlah seniman untuk mendokumentasikan relief-relief dan patung di reruntuhan Akropolis.
“Sejak masih pelajar di Westminster, ia punya minat besar terhadap seni, terutama patung yang terpengaruh dari arsitek Thomas Harrison. Elgin memahami seni klasik terbaik ada di Yunani, bukan Roma. Harrison pula yang menyarankan Elgin, ketika sudah (jadi dubes) di Konstantinopel, untuk sering-sering mengunjungi Athena,” tulis Theodore Vrettos dalam The Elgin Affair: The True Story of the Greatest Theft in History.
Baca juga: Kelana Opsir KNIL Mencari Manusia Purba
Meski ditolak pemerintah, Elgin merogoh koceknya sendiri untuk mendatangkan seniman asal Napoli, Giovani Lusieri. Niat yang mulanya sekadar untuk mendokumentasikan itu berubah jadi ambisi untuk memindahkan benda-benda seni itu di bawah pengawasan Lusieri. Tak hanya di Kuil Parthenon, Elgin juga mengerahkan para pekerja untuk upaya ekskavasi dan pemindahan benda-bendanya dari Kuil Erechtheion, Gerbang Propylaia, dan Kuil Athena Nike.
Buku The Encylopaedia Britannica Or Dictionary of Arts, Science, and General Literature, Volume 6 menyatakan, Elgin tak kesulitan mendapat izin dari Kesultanan Utsmaniyah lantaran dalihnya menyelamatkan artefak kunonya. Toh saat itu pemerintah Utsmaniyah sedang tak berminat menganggarkan dana pelestarian di negeri pendudukan itu karena sedang disibukkan upaya menghalau invasi Prancis pimpinan Jenderal Napoléon Bonaparte di Mesir.
“Lord Elgin, pada musim panas 1801, sudah mendapatkan firman-firman (semacam dekrit) dari otoritas Turki di Athena yang menyatakan bahwa ia, ‘diizinkan melihat, menggambar, membuat model kuil kuno dan patung-patungnya, dan melakukan ekskavasi, dan mengambil batu-batu apapun yang menjadi minatnya.’ Lagipula pihak Turki apatis terhadap pelestarian reruntuhan tersebut dan bahkan beberapa kali menyiratkan akan menghancurkannya. Lord Elgin berambisi memindahkannya sebanyak yang ia bisa,” kata buku terbitan 1855 tersebut.
Ekskavasi dan pemindahan artefak-artefak itu dari Akropolis pun butuh waktu dan uang yang tidak sedikit. Sejak mulainya pada 1801 sampai selesainya dikirim ke Inggris pada 1812, Lord Elgin merogoh dana pribadi hingga 74.240 poundsterling (setara 4,7 juta pounds kurs 2019). Dalam prosesnya, Lusieri yang diserahi tanggungjawab untuk mengirimnya ke Inggris di tengah gejolak peperangan Prancis-Turki di Mesir.
“Koleksi-koleksi pribadi Elgin itu dibawa ke Inggris secara bertahap dalam beberapa tahun, tak hanya dengan menggunakan kapal-kapal dagang tapi juga kapal perang Angkatan Laut Inggris melewati Alexandria, Smyrna, dan Malta. Salah satu kapal yang membawa koleksinya, HMS Mentor, sempat tenggelam dan Laksamana (Horatio) Nelson membantunya mengangkat benda-benda itu sampai ke Malta,” ungkap Holger Hoock dalam Empires of the Imagination: Politics, War, and the Arts in the British World, 1750-1850.
Baca juga: Kisah Plakat Raja Inggris di Munasprok
Sesampainya di Inggris pada 1812, artefak-artefak yang mulanya diniatkan untuk jadi koleksi pribadi Lord Elgin di Wisma Broomhall, Skotlandia itu terpaksa ia jual. Pasca-bercerai dengan istrinya pada 1807 dan menikah lagi dengan istri keduanya pada 1810, Lord Elgin mulai hidup dalam lilitan utang. Ia terpaksa menjualnya ke pemerintah seharga 35 ribu pounds.
“Marmer Elgin (Parthenon) dipindahkan ke British Museum pada Agustus 1816 di bawah undang-undang yang diloloskan parlemen sebagai dasar hukum pemindahan kepemilikannya ke pemerintah Inggris, meski Elgin dan keturunannya tetap dijadikan dewan wali. Dari harga pembelian 35 ribu pounds itu, pemerintah langsung memotong 18 ribu pounds untuk pembayaran utangnya,” sambung Vrettos.
Upaya Repatriasi
Meski pemerintah Yunani sudah sejak lama melakukan pendekatan demi upaya repatriasi, namun hasilnya nihil. Belakangan, isunya meletup lagi berbarengan dengan “demam dekoloniasi” yang tengah merambah negara-negara Eropa eks-kolonialis. Selain Inggris, ada Belanda, Belgia, Jerman, atau Prancis –yang memantiknya lewat pidato Presiden Emmanuel Macron di Burkina Faso 2017 silam.
Berturut-turut Belgia dan Belanda mengikuti Prancis dengan menjalin kerjasama untuk repatriasi dengan negara-negara yang pernah mereka jajah.
Indonesia sendiri terkait lantaran merupakan bekas koloni beberapa negara Eropa. Masih ada sejumlah artefak asal Indonesia di Inggris yang menemui jalan buntuk untuk direpatriasi. Di antaranya adalah Prasasti Sangguran atau yang dikenal sebagai Minto Stone. Prasasti rampasan itu sudah jadi milik eks-Gubernur Jenderal Inggris di India Lord Minto pada 1813. Lalu, Prasasti Pucangan atau Calcutta Stone yang juga dimiliki Lord Minto.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI bersama KBRI London pada 2006 mengupayakan negosiasi repatriasi namun gagal karena tak ada titik temu soal kompensasinya.
“Butuh upaya yang gigih lantaran dua prasasti itu sudah berbaur dengan kebiasaan publik setempat di Inggris. Walaupun dulu dirampas, sekarang menjadi lebih rumit karena sudah ada suatu peleburan budaya dari benda itu kepada budaya lokal,” kata sejarawan Peter Carey kala berbincang di live Historia.id bertajuk “Memburu Harta Jarahan: Repatriasi Benda Bersejarah dari Negeri Penjajah”, 5 Mei 2020.
Upaya tersebut setali tiga uang dengan yang dialami Yunani dalam upaya merestorasi Kompleks Akropolis sejak 1975. Terlebih, sebagaimana disebutkan Dr. Williams, Marmer Parthenon itu sudah jadi bagian integral bagi British Museum selama 200 tahun lebih.
Persoalan yang jadi polemik di antara dua pihak sampai detik ini adalah soal legalitas upaya ekskavasi dan pemindahan Lord Elgin. Pasalnya hingga kini pun periset dan sejarawan tak bisa menemukan dokumen atau arsip “firman” apapun yang pernah dikeluarkan otoritas Turki untuk memberi izin Lord Elgin kendati pengarsipan Turki di era 1800 dan 1801 banyak tersedia dan tersusun rapi di lembaga kearsipan pemerintah Turki.
Sejarawan William St. Clair dalam Lord Elgin and the Marbles mencatat, satu-satunya dokumen yang pernah diperlihatkan Lord Elgin terkait artefak-artefak itu hanya berupa selembar dokumen berbahasa Inggris dari salinan firman berbahasa Italia. Meski dokumen itu diragukan keontentikannya, tetap dijadikan dasar legalisasi oleh British Museum soal kepemilikan Marmer Parthenon.
Seiring waktu itu pula pemerintah Inggris bersikeras bahwa artefak-artefak itu secara sah milik Inggris dan oleh karenanya tidak berkewajiban mengembalikannya.
“Pemerintah Inggris memiliki posisi yang kuat terhadap benda-benda itu dan sebelumnya dimiliki Lord Elgin secara sah dan diakuisisi secara sah pula oleh dewan British Museum,” kata Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson, dikutip The Guardian pada 21 Maret 2021.
Pernyataan PM Johnson itu jadi satu ironi buatnya mengingat saat ia masih menjadi mahasiswa cum President of the Oxford Union pada 1986, ia pernah menyuarakan pengembalian Marmer Parthenon. Saat itu, Johnson muda dan para koleganya merespon upaya Menteri Kebudayaan Yunani, Melina Mercouri, yang membawa isu ini ke UNESCO pada 1982. Empat tahun berselang, Menteri Mercouri juga menyampaikan keinginannya langsung di hadapan kalangan akademisi Universitas Oxford.
“Benda-benda itu adalah kebanggaan kami, pengorbanan kami, simbol mulia kami, aspirasi kami, serta jati diri kami. Benda-benda itu adalah intisari dari asal-usul Yunani kami,” ujar Menteri Mercouri di podium Oxford Union.
Johnson kemudian juga menyuarakan dukungannya untuk Yunani merepatriasi Marmer Parthenon lewat surat terbukanya di majalah kampus, Debate. Mengutip The Guardian, 3 Juli 2022, Johnson dalam suratnya menuliskan: “Saya rasa mayoritas mahasiwa sependapat dengan pernyataan saya bahwa tidak ada alasan mengapa Marmer Elgin tidak dikembalikan British Museum dengan segera ke negeri asalnya yang sah di Athena.”
Terlepas dari kontradiksi PM Johnson itu, UNESCO pada 30 September 2021 mengeluarkan keputusan lewat Inter-Governmental Committee, bahwa pemerintah Inggris diimbau untuk segera membahas kebijakannya sendiri untuk merepatriasi benda-benda tersebut.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar