Di Balik Kutukan Keris Mpu Gandring
Kisah berdarah di balik kutukan Mpu Gandring merupakan perebutan takhta tiga faksi di Singhasari.
KEN ANGROK dikutuk mati oleh Mpu Gandring. Maestro keris itu mengucap sumpah bahwa keris buatannya akan memutus hidup sang pendiri Singhasari dan tujuh turunannya.
Begitulah Pararaton mengisahkan bagaimana Mpu Gadring, Tunggul Ametung, Kebo Ijo, Ken Angrok, Anusapati, hingga Tohjaya menemui ajalnya. Katuturanira Ken Anrok itu hanya memberikan penjelasan sederhana soal tragedi berdarah di keluarga Singhasari. Si penulis yang anonim hanya bilang kalau pembunuhan berantai terjadi akibat kutukan Mpu Gandring.
Baca juga: Enam korban keris Mpu Gandring
Namun, di baliknya, menurut Dwi Cahyono, pengajar sejarah Universitas Negeri Malang, pertumpahan darah di singgasana Singhasari bukan cuma persoalan balas dendam. Tragedi itu lebih menunjukkan perebutan pengaruh antara trah Ken Angrok dan trah Tunggul Ametung. Secara lebih luas, drama itu merupakan kelanjutan usaha wilayah timur Gunung Kawi, yaitu Tumapel-Singhasari memisahkan diri dari genggaman Kadiri.
Baca juga: Akar perlawanan Ken Angrok terhadap Kadiri
Sebelum duduk di takhta Singhasari, Ken Angrok membangun basis perlawanan di berbagai wilayah untuk menumbangkan Kadiri. Waktu itu, Kadiri di bawah Raja Kertajaya atau Pararaton menyebutnya Dandang Gendis. Kemenangan diperolehnya setelah pertempuran di Ganter. Kadiri tumbang pada 1222 M dan Ken Angrok naik takhta.
“Setelah memperoleh kemenangan, ini kan berganti. Kalau dulu kawasan timur Gunung Kawi jadi kekuasaan penguasa Kadiri. Nah, setelah 1222, kawasan Kadiri atau middle Brantas jadi kekuasaan penguasa timur Gunung Kawi,” jelas Dwi lewat sambungan telepon.
Baca juga: Kudeta Ken Angrok
Namun, perseteruan ini masih berlanjut. Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakrtagama menjabarkan penafsiran baru sejarah Singhasari setelah ditemukannya Prasasti Mula Malurung. Prasasti ini berupa lempengan-lempengan tembaga yang diterbitkan Kertanagara pada tahun 1255 sebagai raja muda di Kadiri atas perintah ayahnya Wisnuwardhana, raja Singhasari.
Menurut prasasti itu, raja Kadiri sesudah 1222 M adalah keturunan Ken Angrok. Mereka adalah Bhatara Parameswara (Mahisa Wunga Teleng), Gunung Bhaya (Agni Bhaya), dan Tohjaya.
Mahisa Wunga Teleng merupakan putra Ken Angrok dengan Ken Dedes. Penobatannya sebagai penguasa di Kadiri membuat iri Anusapati, anak tiri Ken Angrok, keturunan Ken Dedes dengan Tunggul Ametung. Sebelum diberi bocoran Ken Dedes kalau dia anak tiri, dia selalu menganggap dirinyalah putra sulung Ken Angrok. Itulah yang menurut Slamet Muljana menjadi keluhan Anusapati kepada ibunya, Ken Dedes.
“Ibu, saya bertanya, apa sebab ayahanda kalau melihat kepadaku, berbeda tampaknya dengan saudara-saudara saya semua, apa lagi dengan putera ibu muda (Tohjaya, red.), semakin berbeda pandangan ayah,” tanya Anusapati suatu hari pada Ken Dedes.
Namun, kisah dalam Pararaton itu, kata Slamet, terlalu kekanak-kanakan. Pasalnya, tak dijelaskan di sana latar belakang politik dari pertanyaan Anusapati.
“Pertanyaan itu kiranya harus ditafsirkan, ‘mengapa bukan saya, melainkan adik saya Mahisa Wunga Teleng yang dinobatkan sebagai raja Kadiri’,” jelas Slamet Muljana.
Karena merasa anak sulung, Anusapati punya hak menduduki takhta. Namun, setelah tahu anak tiri Ken Angrok, dia pun balas dendam sekaligus merampas kekuasaan. Kesumatnya terlampiaskan. Ken Angrok tewas di tangan orang dari Batil kiriman Anusapati. Tubuhnya ditusuk keris Mpu Gandring.
Sepeninggal Ken Angrok pada 1227 M, Anusapati dinobatkan menjadi penggantinya di Singhasari. Singhasari pun dibelah dua: Kadiri di bawah Mahisa Wunga Teleng dan Singhasari di bawah Anusapati.
Prasasti Mula Malurung tak menyinggung nama Anusapati. Pun tentang bagaimana dia mangkat. Karenanya, Slamet Muljana menjamin, tokoh itu tak dibunuh Tohjaya dengan Keris Gandring. Pasalnya, Tohjaya adalah pengganti Raja Guning Bhaya di takhta Kadiri. “Artinya, Tohjaya tidak menggantikan Anusapati sebagai Raja Singhasari seperti kata Pararaton,” lanjutnya.
Kalaupun keterangan di Pararaton ada benarnya, yang ditikam keris oleh Tohjaya bukan Anusapati, tetapi Guning Bhaya. Pembunuhan itu pun bukan karena balas dendam. Namun, lebih kepada ingin merebut kekuasaan.
“Tohjaya punya anggapan dia memiliki hak yang sama seperti saudara-saudaranya. Hanya saja, menurut Pararaton, dia dilahirkan dari selir, Ken Umang,” lanjut Slamet Muljana.
Jika kemudian Serat Pararaton menyebut nama Tohjaya sebagai penguasa berikutnya di Singhasari, Nagarakrtagama tak demikian. “Barangkali karena Panji Tohjaya tak mempunyai sangkut paut dengan dinasti Raja di Majapahit,” jelas Slamet.
Selama memerintah di Kadiri pun, Tohjaya tak tenang. Dia diliputi ketakutan dan curiga kepada keponakan-keponakan tirinya, Rangga Wuni, putra Anusapati dan Mahisa Campaka, putra Mahisa Wunga Teleng.
Dwi Cahyono bilang setelah Kadiri diduduki Singhasari kondisi keluarga kerajaan menjadi kian rumit. Paling tidak ada tiga faksi yang sedang berebut ingin naik kursi pimpinan.
“Kan masih ada mantan pejabat atau keturnanannya Dandang Gendis. Ini satu faksi. Di tubuh keluarga Angrok paling tidak ada tiga, trah Ken Angrok-Ken Dedes, Ken Angrok-Ken Umang, Ken Dedes-Tunggul Ametung,” jelas Dwi.
Faksi-faksi itu makin terlihat setelah Ken Angrok mati. Trah Tunggung Ametung yang dulunya menjadi bawahan Kadiri untuk beberapa saat mengambil alih pengaruh di Singhasari lewat Anusapati.
“Kayaknya ini keberhasilan orang-orang Tunggul Ametung. Kekuatan Tunggul Ametung tampil lagi. Sebagai anak Tunggul Ametung, kepentingan Pangjalu masih terbawa,” lanjutnya.
Begitu juga ketika Tohjaya di Kadiri akhirnya dimusnahkan dua keponakan tirinya, Rangga Wuni dan Mahisa Campaka. “Jadi ini terus berbuntut,” tegas Dwi.
Dengan demikian, separuh waktu Kerajaan Singhasari dihabiskan dengan perpecahan keluarga. Kata damai mungkin baru mulai muncul ketika Wisnuwardhana naik takhta pada 1248 M. Pararaton menjelaskan persekutuan antara Rangga Wuni dan Mahisa Campaka sebagai dua ular dalam satu liang. Rangga Wuni yang kemudian mengambil nama resmi, Wisnuwardhana memerintah bersama-sama dengan Mahisa Campaka yang menjadi ratu angabhaya (pembantu utama raja), dengan gelar Narasinghamurti.
“Baru stabil ketika Wisnuwardana dan putranya, Kertanegara. Ini hanya dua generasi, jadi sebentar. Lebih panjangnya justru masa bergolak,” kata Dwi.
Setelahnya, perseteruan itu juga belum benar-benar berakhir. Buntutnya kembali muncul menjelang masa akhir Majapahit. “Ini nanti yang saya bilang dengan Singhasari come back,” ujarnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar