Kudeta Ken Angrok
Peristiwa Ken Angrok merupakan kisah kudeta militer yang melibatkan masyarakat untuk melepaskan diri dari Kadiri.
Dari Karuman, Ken Angrok pergi ke Lulumbang untuk bertemu Mpu Gandring. Dia meminta dibuatkan keris.
“Buatkanlah saya sebuah keris, hendaknya selesai dalam lima bulan, karena akan segera saya pakai,” ujar Angrok.
“Janganlah lima bulan kalau engkau ingin baik, sebaiknya satu tahun karena cukup baik tempaannya,” jawab Gandring.
Angrok merasa terlalu lama. Sesudah lima bulan, dia kembali menagih kerisnya pada Mpu Gandring.
“Mana keris pesananku?” tanya Angrok.
“Ini sedang saya kerjakan,” jawab Mpu Gandring yang tengah menggosok keris.
Angrok marah karena kerisnya belum jadi. “Apa gunanya saya memesan keris kepada tuan, karena keris ini belum selesai digosok,” serunya marah dan langsung menusukan keris itu ke Mpu Gandring hingga tewas.
Baca juga: Enam korban keris Mpu Gandring
Akibat perbuatannya, Ken Angrok harus menerima kutukan dari Mpu Gandring. Peristiwa ini berbuntut kepada tragedi berdarah yang menimpa keturunan-keturunan Angrok.
Keterangan dalam Serat Pararaton itu, menurut pengajar sejarah Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono hanyalah penyederhanaan dari peristiwa besar yang mungkin terjadi. Ia bilang, permintaan keris kepada Mpu Gandring adalah petunjuk akan kudeta yang diprakarsai Ken Angrok kepada penguasa Tumapel yang berada di bawah cengkraman Kadiri.
Serangan dari Dalam
Kitab yang mungkin ditulis pada 1478 M itu mengisahkan seorang anak muda bernama Ken Angrok. Dia digambarkan sebagai remaja nakal, gemar mencuri, merampok, dan memperkosa. Namun di baliknya, kata Dwi, itu adalah usahanya untuk melakukan pemberontakan.
“Angrok menimbulkan keonaran di desa-desa. Ini upaya chaos yang diciptakan Angrok, dalam beberapa kasus dia yang membuat keonaran dia juga yang menyelesaikan onarnya,” ujar arkeolog itu.
Dalam upayanya itu, Angrok sembari membangun jaringan antardesa yang tak sepaham dengan para penguasa. Pararaton mengisahkan perlawanan Angrok kepada Tunggul Ametung, akuwu Tumapel, dan penguasa Kadiri secara lebih luas, Dandang Gendis atau Raja Kertajaya. Sebagaimana laporan Prasasti Hantang, Tumapel sudah berada di bawah kekuasaan Kadiri sejak 1135 M.
Baca juga: Asal Usul Ken Angrok
“Angrok menggalang ini dengan posisi dia yang bergaul dengan banyak orang dari kalangan bromocorah. Ini bisa jadi sumber kekuatan. Mereka itu, pencuri dan perampok, kan orang-orang pemberani,” jelas Dwi lewat sambungan telepon.
Angrok juga menyambung hubungan baik dengan kaum agamawan, baik dari kalangan Waisnawa maupun dari warga Buddha.
Pada waktu itu, kalangan agamawan juga konflik dengan penguasa. Ini digambarkan ketika Tunggul Ametung melarikan Ken Dedes, putri pendeta Buddha, Mpu Purwa. Lalu juga ketika Dandang Gendis menuntut para brahmana untuk menyembah kepadanya. Para Waisnawa tak sepakat klaim raja yang bilang kalau dia adalah titisan Wisnu di dunia.
Uniknya, Angrok yang buronan pemerintah, tak pernah betul-betul tertangkap. Pendiri Kerajaan Singhasari itu justru kemudian masuk ke dalam kalangan birokrasi pemerintahan, menghamba pada Tunggul Ametung.
“Angrok berhasil memanfaatkan mediasi dari orang yang disegani Tunggul Ametung, yaitu pendeta Lohgawe,” lanjut Dwi.
Baca juga: Di Balik Nama Ken Angrok
Diterimanya Angrok di dalam birokrasi pemerintahan pun menjadi bumerang. Ia menyulut perlawanan dari dalam tubuh Tumapel.
Dalam Pararaton itu dikisahkan bagaimana Ken Angrok memesan keris kepada Mpu Gandring. Menurut Dwi, apa yang coba disederhanakan Pararaton adalah bahwa yang dipesan Angrok bukan hanya sebuah keris melainkan sejumlah persenjataan.
“Pararaton semacam menyederhanakan kisah, seakan Mpu Gandring bikin satu keris dan tak selesai, lalu dibunuh. Maksudnya, Mpu Gandring tak bisa memenuhi pesanan jumlah senjata pada waktu yang diinginkan,” jelasnya.
Angrok tak peduli Mpu Gandring tak menyanggupi permintaannya untuk menyelesaikan keris sesegera mungkin. Ketika itu dia begitu tergesa-gesa. Serangan ke pemerintahan Tunggul Ametung harus segera dilakukan atau gagal.
Militer Kebo Ijo
Selanjutnya, Dwi bilang, Sang Rajasa memanfaatkan Kebo Ijo untuk melancarkan serangannya yang berbekal persenjataan Mpu Gandring. Dalam Pararaton, itu diceritakan dengan Kebo Ijo memamerkan keris buatan Mpu Gandring sebagai miliknya. Namun rupanya, ini adalah muslihat Angrok agar nantinya Kebo Ijo yang dituduh ketika keris itu digunakan untuk menghabisi sang akuwu Tumapel.
Di sini, lagi-lagi Pararaton menyederhanakan kisah dengan menggambarkan seolah Kebo Ijo hanyalah seorang diri. Kebo Ijo, Dwi menafsirkan, merujuk pada satuan ketentaraan di bawah Tunggul Ametung. Dilihat dari penamaan ‘Kebo Ijo’, kata Dwi, itu adalah nama yang lazim dijadikan gelar dalam cerita-cerita Panji. Gelar militer itu biasanya terdiri atas nama binatang dan nama wilayah yang menjadi kesatuan militernya. Dalam Hal ini, Kebo Ijo mungkin punya panji-panji perang bergambar kerbau dan wilayah kesatuan di Hijo.
Baca juga: Jejak Ken Angrok di Timur Gunung Kawi
Soal itu, di selatan Singhasari, Malang, masih terdapat sebuah desa bernama Ngijo. Lokasinya hanya 5 km dari wilayah yang dulunya diperkirakan pusat pemerintahan Tumapel.
“Jadi ini (Kebo Ijo, red.) bukan nama orang,” jelas Dwi.
Setelah serangan Kebo Ijo, Tunggul Ametung pun tewas di tangan bawahannya sendiri. Angrok telah memainkan perannya dengan licin. Satuan ketentaraan kepercayaan Tunggul Ametung menjadi korban tipu daya Angrok. Akibatnya, kudeta militer terjadi. Karena dianggap berkhianat, mereka pun dihukum mati.
“Kebo Ijo jadi korban hoax-nya Angrok dan mungkin memang Tunggul Ametung itu terbunuh dalam kudeta itu,” lanjut Dwi.
Baca juga: Ken Angrok Ksatria yang Terkalahkan
Bersamaan dengan itu Angrok sebelumnya sudah siapkan pula perlawanan eksternal. Orang-orang desa yang mendukung Angrok dan tak menyukai sang akuwu ikut dikerahkan.
“Nampaknya juga di back up dari orang-orang luar satuan militernya, sudah disiapkan persenjataan dari Mpu Gandring. Dia bermain di luar dan di dalam,” jelas Dwi.
Jadi, kata Dwi, serangan Ken Angrok kepada Tunggul Ametung bukan hanya persoalan ingin merebut Ken Dedes, istri sang akuwu. Namun, perjuangan memerdekakan wilayah timur Gunung Kawi dari pendudukan Kadiri.
“Peristiwa Angrok sebenarnya kudeta, perebutan kekuasaan yang melibatkan masyarakat untuk melepaskan diri dari pendudukan Kadiri, digalang oleh seorang pemuda, bernama Angrok,” tegas Dwi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar