Di Balik Kisah Raksasa Pemakan Manusia di Ratu Boko
Legenda menceritakannya sebagai Prabu Boko, raksasa pemakan manusia, ayah dari Roro Jonggrang.
Dahulu kala hiduplah raksasa pemakan manusia bernama Prabu Boko. Setiap hari ia mengirim prajurit untuk mencari manusia untuk dimakan. Jika prajurit itu gagal, ia yang akan dilahap.
Teror itu membuat penduduknya mencari perlindungan ke kerajaan tetangga. Penguasanya baik hati. Ia segera mengirim putranya, Bandung Bondowoso untuk melawan raksasa itu. Pertempuran terjadi selama sepuluh hari. Prabu Boko pun kalah.
Prabu Boko dipercaya menguasai Keraton Ratu Boko di Yogyakarta.
Menurut Veronique Degroot, arkeolog Ecole Francaise d’Extreme-Orient (EFEO) dalam "The Archaeological Ramains of Ratu Boko: From Sri Lankan Buddhism to Hinduism" yang diterbitkan dalam Indonesia and the Malay World, wisatawan Belanda pada abad ke-19 menerima legenda itu tanpa ragu. Mereka menganggap situs yang sudah ada sejak abad ke-8 itu sebagai kompleks keraton dari masa Hindu dan Buddha.
Itu juga yang diceritakan oleh Kepala Unit Situs Ratu Boko, Tri Hartini dalam diskusi daring "Menyelisik Keraton Prabu Boko" yang digelar Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta (BPCB DIY). Menurut legenda, Situs Ratu Boko adalah Keraton Prabu Boko, ayah Roro Jonggrang yang terkenal itu. Roro Jonggrang menolak pinangan Bandung Bondowoso karena telah membunuh ayahnya.
Baca juga: Loro Jonggrang Si Gadis Semampai
Roro Jonggrang pun menyuruh Bandung Bondowoso membangun 1000 candi dalam waktu semalam. Mendekati tengah malam percandian yang diminta hampir selesai dibangun. Sudah 999 candi berdiri.
Roro Jonggrang segera memerintah para dayang untuk memukul lesung dan membakar jerami. Jin yang membantu Bandung Bondowoso ketakutan karena mereka mengira pagi telah tiba. 1000 candi pun gagal diwujudkan.
Bandung Bondowoso marah. Ia lalu mengutuk Roro Jonggrang menjadi candi yang ke-1000.
"Orang menganggap arca Durga Mahisasuramardhini di Candi Prambanan adalah Roro Jonggrang yang dikutuk. Sementara Situs Ratu Boko dianggap masyarakat sebagai keraton ayahnya Roro Jonggrang," kata Tri Hartini.
Letak Situs Ratu Boko dan Kompleks Candi Prambanan memang tak terlampau jauh. Sama-sama di wilayah yang disebut Siwa Plateu.
Penyebutan nama Situs Ratu Boko kemudian didasari atas legenda yang berkembang di masyarakat.
Namun, menurut Andi Riana, arkeolog BPCB DIY, legenda ini tak bisa dibuktikan secara ilmiah. Legenda ini adalah cerita rakyat yang dihubungkan dengan bangunan yang sudah ada sebelumnya.
"Secara ilmiah tidak bisa dipertanggungjawabkan hubungannya," kata Andi.
Bukan Keraton
Kompleks Situs Ratu Boko sangat luas. Diawali gapura tiga pintu, lalu orang mesti berjalan untuk menjumpai gapura kedua dengan lima pintu. Dari situ akan menemukan candi pembakaran di mana dulu ketika diteliti pernah ditemukan abu bekas pembakaran.
Di belakangnya ada kolam luas berpagar keliling. Di dekat situ ada kolam yang hingga kini airnya dianggap suci sehingga sering diambil saat kegiatan Tawur Agung di Candi Prambanan.
"Ke sana lagi ada tatanan umpak yang bisa diprediksi bangunannya dulu memiliki atap limasan. Dari situ menuju apa yang disebut paseban," kata Tri Hartini.
Sebutan paseban, keputren, merupakan pemberian masyarakat mengikuti penamaan di keraton modern. Namun, sebenarnya penamaan itu hanya analogi.
"Tidak berdasarkan temuan arkeologinya. Hanya analogi," kata Andi.
Fungsi sebenarnya struktur-struktur itu belum didukung data valid. Selama ini prasasti-prasasti yang ditemukan di lokasi hanya menyebut tentang penguasa ketika Situs Ratu Boko dibangun atau dipakai.
"Ada gapura, pendopo, keputren, ada puluhan kolam yang mencerminkan bangunan keraton jadi dibilang keraton," kata Andi.
Apalagi jika dikaitkan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno. "Ini masih perlu ditelisik lagi," lanjut Andi.
Baca juga: Berebut Takhta Mataram Kuno
Menurut Veronique Degroot tak adanya struktur candi seperti pada umumnya, ditambah banyaknya struktur bangunan yang tak biasa ditemui pada bangunan kuno di Jawa Tengah, memunculkan dugaan kalau situs itu adalah istana kerajaan. "Anggapan ini diperkuat oleh kisah yang dilaporkan oleh penduduk desa," tulisnya.
Sangkaan kalau Situs Ratu Boko adalah keraton sudah mendapat banyak sanggahan. J.L.A. Brandes, filolog Belanda, yang pertama mengungkapkan pandangan berbeda. Menurutnya, situs itu adalah gua pertapaan yang luas dengan kuil-kuil yang berkaitan.
Sejarawan Belanda, N.J. Krom, menyanggah dengan mengatakan bahwa gua-gua yang ada di kawasan Situs Ratu Boko terlalu kecil untuk bisa disebut gua-biara yang luas. Namun, ia juga mengatakan, sebagian besar bangunannya bisa jadi untuk keperluan agama.
Beberapa tahun kemudian, W.F. Stutterheim, arkeolog Belanda, berpendapat bahwa Situs Ratu Boko adalah tempat ibadah. Kendati ia tak bisa memutuskan apakah bersifat Buddhis atau Hindu.
Argumennya didasarkan paling tidak pada tiga bangunan yang mungkin adalah candi. Sulitnya air membuat lokasi ini menjadi tak memadai untuk memenuhi kebutuhan populasi yang besar. Gua-gua yang ada di sana kemungkinan dibuat untuk keperluan meditasi. Lagipula terasnya pun terlalu kecil jika dibandingkan dengan keraton Jawa modern.
Pandangan Stutterheim itu pada akhirnya diterima pula oleh Krom.
Baca juga: Kisah Para Pertapa Perempuan
Sementara itu, A.J. Bernet Kempers, ahli purbakala Belanda, menduga Situs Ratu Boko dulunya digunakan semacam taman, seperti pesanggrahan milik sultan Jawa di masa yang lebih modern.
Menurutnya, jika dulunya merupakan permukiman, situs itu akan tampak lebih seperti tempat peristirahatan. Kalau tidak, benteng untuk digunakan dalam keadaan darurat.
Penggunaan situs sebagai benteng pernah diusulkan oleh J.G. de Casparis, ahli epigrafi Belanda, berdasarkan Prasasti Pereng dari 863.
"Karena (Situs Ratu Boko, red.) ada di dataran yang tinggi wajar kalau dibilang itu benteng pertahanan," kata Andi.
Mencari Bukti Valid
Beberapa prasasti telah ditemukan di Situs Ratu Boko. Prasasti Abhayagiriwihara dari 714 Saka (792) berisi tentang pendirian bangunan suci untuk Avalokitesvara.
Prasasti Krttivaso Lingga dari 778 Saka (856) berisi tentang pendirian Lingga Krttivaso oleh Sri Kumbhaja. Prasasti Tryambaka Lingga dari 778 Saka (856) tentang pendirian Lingga Tryambaka oleh Sri Kumbhaja. Prasasti Hara Lingga tanpa angka tahun juga tentang pendirian Lingga Hara oleh Kalasodhbhava.
Sedangkan Prasasti Pereng 785 Saka (863) menginformasikan pendirian Candi Bhadraloka oleh Rakai Walaing Pu Kumbhayoni.
"Sampai sekarang yang dimaksud Candi Bhadraloka yang mana, letaknya di mana belum diketahui," kata Andi.
Kendati begitu temuan prasasti itu menegaskan adanya dua latar keagamaan. Awalnya situs ini dipakai sebagai vihara oleh umat Buddha. Kemudian sekira 64 tahun kemudian penghuninya adalah umat Hindu yang mendirikan lingga dan candi.
"Awalnya vihara selanjutnya menjadi hunian umat beragama Hindu yang dilengkapi sarana peribadatan yakni miniatur candi dan candi pembakaran," kata Andi.
Baca juga: Sejarah Vihara, Tempat Belajar Para Biksu
Berdasarkan itu, Casparis berhipotesis bahwa di Situs Ratu Boko dulunya pernah terjadi pertempuran antara Rakai Walaing Pu Kumbhayoni, seorang beragam Hindu, melawan Balaputradewa yang beragama Buddha dari Dinasti Sailendra. Ketika itu, Balaputradewa yang terdesak berlindung di dataran tinggi Boko. Tapi pada akhirnya ia dikalahkan Kumbhayoni.
"Namun, sisa-sisa dataran tinggi Ratu Boko lebih tua daripada pertempuran antara Kumbhayoni dan Balaputradewa," tulis Veronique Degroot.
Bagaimanapun hingga kini masih banyak versi mengenai bangunan apa sebenarnya yang ada di atas Bukit Boko itu. Pihak terkait mengaku belum bisa maksimal meneliti karena masih banyak penduduk yang tinggal di sekitarnya.
"Batu-batu yang terpendam banyak yang dipakai penduduk untuk pondasi dan sebagainya," kata Tri Hartini.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar