Tiga Maestro Pantomim Bertandang ke Indonesia
Menggeliatnya pantomim membuat beberapa maestro pantomim dunia melawat ke tanah air. Memberikan pemahaman baru bagi pantomim di Indonesia.
TIDAK hanya di atas panggung, seni pantomim juga bisa berkembang lewat layar lebar dan layar kaca. Aktor pantomim senior Septian Dwi Cahyo pernah mempopulerkannya kurun 1996-2003 lewat karakter Den Bagus –penampilannya mirip karakter Charlie Chaplin yang berkumis tebal dan mengenakan jas lengkap dengan topi bowler-nya– di acara komedi Spontan yang ditayangkan SCTV.
Siapa yang tak mengenal Charles Spencer ‘Charlie’ Chaplin? Sosok kelahiran London, 16 April 1889 itu melejit berkat penampilan komikal slapstick nan satirnya di sejumlah film bisu pada awal abad ke-20, seperti The Tramp (1915), The Gold Rush (1925), dan The Great Dictator (1940).
Lantaran ketiadaan dialog dalam film bisu di era itu, laku Chaplin dengan banyak gerak estetik alias dengan seni pantomim tentu mengocok perut para penontonnya. Toh sebelumnya ia pentas di panggung teater dengan berpantomim.
“Pantomim kan bahasa ekspresi. Charlie Chaplin juga pantomim. Awalnya berangkat dari situ. Cuman kerjanya kan pakai media film ya. Jadi memang juga ada yang harus dibatasi (frame). Tapi cara jalannya, rasanya, itu pantomim. Karena dia enggak ngomong ketika menyampaikan sesuatu. Sama kita bilang juga Mr. Bean (diperankan Rowan Atkinson). Karena sikap dia ingin menyampaikan sesuatu, kita bisa bilang itu juga bagian dari mime karena pantomim itu bagian daripada akting,” kata aktor watak Yayu Unru kepada Historia.
Baca juga: Charlie Chaplin Berkunjung ke Garut
Yayu juga berangkat dari seni pantomim bersama kelompok Sena Didi Mime (SDM) sejak 1980-an. Tapi dia sama sekali tak menjadikan Chaplin sebagai inspirasinya dalam berkesenian kendati Chaplin pernah dua kali ke tanah air.
Pantomim di Indonesia baru berkembang mulai 1970-an. Satu dekade kemudian, setidaknya ada tiga maestro pantomim internasional lain yang pernah bertandang dalam rangka menggelar pertunjukan dan lokakarya. Mereka tak hanya jadi inspirasi tapi juga jadi mentor bagi para aktor pantomim di Indonesia. Siapa saja? Inilah mereka:
Marcel Marceau
Lahir dengan nama Marcel Mangel pada 22 Maret 1923 di Strasbourg, Prancis, sosok berdarah Yahudi Polandia-Ukraina ini mengadopsi nama “Marceau” demi menghindar dari penangkapan pasukan pendudukan Nazi Jerman di Prancis terhadap orang-orang Yahudi. Karena terinspirasi film-film Chaplin, Marceau tetap melanjutkan studi teater dan pantomimnya di Paris pada era Perang Dunia II sembari ikut organisasi bawah tanah Yahudi, Armée Juive, untuk menyelamatkan kaumnya dari holocaust.
Pasca-Perang Dunia II, Marceau mulai dijuluki “Bapak Bip Pantomim” karena menciptakan karakter “Bip the Clown” atau Bip si Badut yang kemudian kondang di arena pantomim internasional. Karakternya khas dengan make up putih tebal di wajahnya, yang hingga kini masih banyak ditiru para aktor pantomim pemula.
Baca juga: Akhir Hidup Si Pemeran Hitler
Menurut Yayu, karakter Bip itu juga terinspirasi dari karakter Pierrot. Karakter Pierrot mulanya merupakan bagian dari karakter di opera jenaka Italia pada abad ke-16, Commedia dell’arte.
“Kelompoknya kayak Punakawanlah kalau di sini ya. Salah satu karakter yang keluar tu Pierrot. Ini juga yang jadi cikal bakal inspirasinya Marcel Marceau. Dia bikin karakternya dengan make up dengan topi hijaunya. Dia menyebut dirinya (karakternya) Bip,” sambung Yayu.
Marceau tercatat pernah melancong ke Jakarta dan Yogyakarta pada medio 1970. Penampilannya lantas jadi inspirasi banyak pelaku mime, di antaranya Septian Dwi Cahyo dan Jemek Supardi.
“Sewaktu di Indonesia, (Marceau) pentas di Taman Ismail Marzuki, Graha Budaya Jakarta, dan di Gedung Seni Sono Art Gallery Yogyakarta. Mementaskan lima nomor dengan tokohnya Bip. Judulnya Bip Sang Pawang, Bip Naik Keretaapi, Bip Memerankan Daud dan Goliath, dan Bip Serdadu. Selain itu juga mementaskan Pembuat Topeng, Penciptaan Dunia, Pemakan Hati, Pedang Samurai, dan Malaikat,” tulis Nur Iswantara dalam Wajah Pantomim Indonesia: Dari Sena Didi Mime hingga Gabungan Aktor Pantomim Yogyakarta.
Milan Sládek
Sládek terhitung paling sering mengunjungi Indonesia pada 1980-an. Tidak hanya tampil, Sládek seringkali menggelar lokakarya hingga kemudian jadi mentor bagi para aktor pantomim di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), khususnya kelompok SDM.
Sládek yang lahir di Streženice, Cekoslovakia (kini Slovakia) pada 23 Februari 1938, mulai mendalami pantomim sejak 1959 di Bratislava kemudian di Berlin, Jerman Timur. Ia lantas pindah lagi ke Koln untuk mengembangkan pantomim bersama kelompok yang didirikannya, Compagnie Sládek dan Theater Kefka.
“Ia penggagas dan penyelenggara Festival Pantomim Internasional Gauker. Ia pun sudah beberapa kali melawat ke Indonesia, tahun 1980, 1981, 1984, dan 1988 memberikan lokakarya mahasiswa di IKJ. Sládek dalam perkembangan pantomim mengatakan bahwasannya pantomim bukan sekadar solo art tetapi menjadi seni yang ditampilkan oleh sekelompok orang,” tulis Nur Iswantara.
Sládek bisa dekat dengan kelompok SDM lantaran sama-sama sering menampilkan pantomim secara berkelompok. Melalui Sládek pula SDM sering mendapat undangan pentas di festival internasional.
“Milan Sládek sudah kami anggap guru. Selalu datang rutin dari Jerman sejak awal 1980-an, selalu bikin workshop di sini. Ia juga melihat kita pantomim bermain bergerombol dengan banyak pemain. Itu yang membuat orang luar melalui Milan, mengundang kita ke Jerman dan beberapa negara sekitarnya untuk mentas,” kenang Yayu.
Baca juga: Pantomim, Wadah Kritik Lewat Aneka Gerak Estetik
Sládek juga menginspirasi SDM untuk tampil dengan konsep teatrikal. Entah dengan set panggung, properti, maupun ocehan-ocehan verbal.
“Karena Sládek sendiri bilang, kesenian itu enggak boleh lagi ada sekat-sekatnya. Sládek minta bahwa kita lebih bebas saja. Jadi kita bermain lebih bebas yang penting idenya ada, pesan moralnya ada dalam kesenian kami,” imbuhnya.
Sládek tercatat dua kali mementaskan pantomim bersama kelompoknya. Pertama, di Taman Ismail Mazuki (TIM) (21 Maret-2 April 1988) dan kedua, di Hotel Hilton Jakarta (25 Maret 1988). Ia dan kelompoknya memainkan nomor-nomor yang punya tema beragam, di antaranya Penolakan, Icarus, Bunga Matahari, Kefka di Satu Pesta, serta Samson dan Delilah.
“Icarus berkisah tokoh manusia dalam mitologi Yunani yang ingin bersayap agar bisa terbang. Bunga Matahari berceritakan tentang bunga matahari yang disemai dari biji sampai berbunga dan akhirnya mati kena polusi. Kefka di Satu Pesta mengekspresikan si Kefka yang malang-melintang di sebuah pesta dan cintanya ditolak wanita kelas borjuis. Samson dan Delilah berisikan parodi atas dongeng yang terkenal itu, di mana Samson digambarkan sebagai bergajul yang mencabuli Delilah si babu genit,” sambung Nur Iswantara.
David Glass
Kendati terinspirasi dari Charlie Chaplin, Marcel Marceau, dan Jerry Lewis, David Glass dalam menampilkan karya-karyanya tidak menitikberatkan pada detail gerak estetik klasik dari seni pantomim. Glass lebih mengutamakan bagaimana caranya membangun atmosfer dan komunikasi dengan penontonnya yang dijadikan salah satu inspirasi dalam karya-karya para aktor pantomim di Yogyakarta.
“Pantomimer asal Inggris ini tiada sungkan mempergunakan komunikasi secara langsung dengan penonton. Seperti salah seorang penonton diajak ke atas panggung,” tulis Nur Iswantara.
Glass pernah sekali bertandang ke tanah air untuk tampil di auditorium Fakultas Kesenian ISI Yogyakarta, 19 April 1985. Ia tampil atas prakarsa British Council, dan menampilkan empat nomor secara individu: Gymnasium, Reptile, The Thief, dan Emanations.
Baca juga: Warna-warni Kehidupan Sean Connery
Seperti tajuknya, nomor Gymnasium menampilkan gerak-gerik Glass merefleksikan seorang atlet yang sedang pemanasan jelang sebuah event olahraga, lengkap dengan beberapa propertinya. Sedangkan di nomor Reptile, Glass tampil dengan menggunakan topeng untuk memperjelas cerminan gerak-gerik hewan melata.
“The Thief berisikan kisah seorang pencuri yang tidak beruntung. Nomor ini mendapat aplaus dari penonton yang sangat majemuk. Emanations merupakan potongan-potongan kejadian yang digabung-gabungkan. Penonton pun seakan tidak merasakan kebosanan dengan adegan tempelan-tempelan itu, bahkan tepuk-sorak dengan meriah,” lanjutnya.
Di nomor Emanations itulah Glass berinteraksi dengan penonton. Selain itu di nomor tersebut, pementasan Glass tentu turut ditopang penggunaan tata suara dan sorot lampu bak adegan teater.
“Pementasan Glass memberikan pemahaman baru tentang mime di Indonesia, setidaknya di Yogyakarta. Empat nomor mime Glass yang sangat variatif itu dapat diambil arti bagaimana mengemukakan teknik, gagasan, mengembangkan premis, cara menampilkan humor, dan berkomunikasi dengan sepenuh hati dengan penontonnya,” tandas Nur Iswantara.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar