Mementaskan Pantomim di Hadapan Jenderal hingga Pemabuk
Aktor watak Yayu Unru mengenang masa-masa menggali “rasa” bersama Sena Didi Mime.
KAMPUS Institut Kesenian Jakarta (IKJ) sepi Sabtu, 10 Desember 2022 petang itu. Hujan belum lama reda tapi sejuknya hawa masih tersisa. Suasana itu mengiringi perasaan sendu aktor watak Andi Wahyuddin Unru alias Yayu Unru saat mengingat dua sosok almarhum senior sekaligus mentornya dalam seni peran, khususnya mime atau pantomim: Sena Adiatmika Utoyo dan Didi “Petet” Widiatmoko.
Yayu terduduk di ujung anak tangga di muka Teater Luwes. Di sisi kanan bidang tembok teater itu menampakkan wajah Sena A. Utoyo dalam bentuk mozaik yang terbuat dari lakban hitam sederhana, lengkap dengan tanggal lahirnya, 7/7/53 (7 Juli 1953) dan tanggal wafatnya, 7/11/98 (7 November 1998).
Mozaik serupa di sebelah kiri dari pintu utama teater membentuk wajah Didi Petet, juga dengan tahun kelahiran, 1956, dan tahun mangkatnya, 2015. Keduanya merupakan aktor cum dosen IKJ yang mendirikan salah satu kelompok yang mempopulerkan seni pantomim di Indonesia pada era 1980-an, Sena Didi Mime (SDM).
Baca juga: Pantomim, Kritik Lewat Aneka Gerak Estetik
Sebagaimana mendiang Sena A. Utoyo dan Didi Petet, Yayu jadi satu di antara sejumlah aktor watak senior yang malang melintang di jagat perfilman berangkat dari seni pantomim. Pun juga aktor-aktor lain seperti Ray Sahetapy, Krissno Bossa, Mathias Muchus, Eeng Saptahadi, Subarkah, Epy Kusnandar, dan Ence Bagus, semua mendalami mime sebelum terjun ke perfilman. Kendati langka, Yayu dan beberapa seniman tetap masih concern dan bermain pantomim di tengah kesibukan di industri film atau industri seni lain.
“Saya malah dulu pernah dinasihatin, diminta untuk terus setia terhadap (mime) ini, ketika saya diajak jalan Mas Didi naik mobil VW-nya ke bioskop Megaria (kini bioskop Metropole). Saya bilang, ‘eh, filmnya Mas Didi main.’ Dia bilang, ‘Yu, kamu terus main pantomim ya. Itu memudahkan saya mainin (film) itu. Memudahkan untuk menghayati perannya’,” kenang Yayu kepada Historia, sambil sesekali menengok mosaik Didi Petet di sebelahnya.
Oleh karenanya, sejak jadi mahasiswa di IKJ pada 1982 hingga sekarang, ia tetap membina pantomim sebagai penerus tongkat estafet di Sena Didi Mime sepeninggal Sena A. Utoyo dan Didi Petet. Padahal, Yayu setidaknya sudah membintangi lebih dari 50 serta memenangi dua Piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI) 2014 dan 2017.
“Walau sekarang lagi ada kendala, kami enggak boleh lagi pake (nama) Sena Didi Mime. Karena ada yang komplain nama itu dari pihak keluarga. Tapi ya kita maklumi saja. Ya sudahlah pakai nama lain saja, Regu Kerja Didi Petet. Kan guru saya juga,” lanjut aktor yang juga masih mengajar program studi seni teater di IKJ itu.
Sesekali juga Yayu menoleh ke kanannya. Tepat ke arah mosaik Sena A. Utoyo tadi berada. Ada perasaan yang berat saat ia mencerna memori tentang sosok Sena A. Utoyo di kepalanya.
“Mas Sena itu juga guru saya yang…ya buat saya pribadi, dia orang baik. Buat saya dia itu sudah surga,” Yayu menyambung kenangannya.
Baca juga: Mengenang Dwitunggal Pembaharu Tari Sunda
Asam Garam Sena Didi Mime
Mengalir saja seperti air. Begitu setidaknya Yayu menjalani kehidupannya sebagai aktor. Sosok kelahiran Makassar, 4 Juni 1962 itu tak pernah punya ambisi muluk namun ia selalu merasa beruntung bisa terus berkiprah di dunia seni peran.
“Ya karena ada saja tawaran yang datang. Saya enggak ngerti karena rezeki ada saja yang datang. Belum lama ini saya dari luar negeri untuk syuting sama orang luar,” kata Yayu lagi.
Yayu menjalani debut di perfilman pada 1985 lewat film Demam Tari garapan sineas Nawi Ismail. Sekian lama tak muncul, ia baru tampil lagi pada era 2000-an melalui film Mengaku Rasul (2008). Termasuk film Mangkujiwo 2 (2023), sudah 55 film ia bintangi. Dua Piala Citra berhasil diraihnya, yakni kategori pemeran pendukung pria terbaik untuk film Tabula Rasa (2014) dan Posesif (2017).
Baca juga: Tabula Rasa yang Menggugah Selera
Yayu turut viral setelah ikut membintangi film maupun film seri orisinal Netflix, The Night Comes for Us (2018), A Perfect Fit (2021), dan serial The Last of Us bersama aktris senior Christine Hakim di episode 2 bertajuk “Infected”. Selain menjadi aktor, jasa Yayu sebagai konsultan dan pelatih akting laris-manis di perfilman Indonesia.
Padahal, Yayu mengaku tak punya darah seni dari keluarganya. Ia hanya ingat kata-kata mendiang Didi Petet di atas, bahwa seni pantomim yang ia geluti sejak 1980-an memudahkannya mendalami peran dan karakter yang diberikan kepadanya.
“Kebetulan dari kecil saya kan orangnya pemalu. Jadi saya selalu memilih banyak gerak dibanding ngomong. Ngomong itu sulit buat saya. Waktu masuk (IKJ) di tahun 1982, pelajaran saya yang menonjol itu olah tubuh karena itu kan enggak pakai suara, cuman bergerak. Nah Mas Sena (Adiatmika Utoyo) ngeliat saya bawaannya punya potensi di bidang gerak,” tambahnya lagi.
Sena dan Didi Petet merupakan mentor pertama Yayu dalam seni teater, terutama perihal olah tubuh, mengingat kedua seniornya itu turut mempelopori seni pantomim di IKJ. Mengutip Nur Iswantara dalam Wajah Pantomim Indonesia: Dari Sena Didi Mime hingga Gabungan Aktor Pantomim Yogyakarta, Sena dan Didi membentuk kelompok Sena Didi Mime (SDM) yang mengembangkan seni pantomim dengan skala teater pada 1987.
Sebelumnya, seni pantomim lebih sering ditampilkan secara individu di acara-acara kecil atau sekaliber festival. Sena sendiri sudah mendalaminya sejak 1970-an.
“Sena A. Utoyo sejak memenangkan Festival Pantomim I Jakarta tahun 1979, sering mendapat kesempatan mewakili Indonesia dalam beberapa festival pantomim di luar negeri. Pernah ia mewakili Indonesia dalam Asian Pantomime Festival di Seoul pada 1980, tahun 1982 mengikuti Expo 82 di Vancouver, Kanada,” tulis Nur Iswantara.
Baca juga: Negara Teater dan Teater Negara Bung Karno
SDM dibentuk Sena dan Didi Petet pada 1987 bersama 50 rekannya, termasuk Yayu. SDM jadi pelopor kelompok pantomim yang tampil dengan produksi berskala besar dan sangat dominan unsur teaternya.
“Yang paling unik dari SDM ini, dianggap unik di dunia ketika kita tampil bisa sampai 70 orang. Ketika di 1980-an rutin datang (maestro pantomim) Milan Sládek yang selalu bikin workshop di sini, dia juga kaget melihat pantomim yang tampil gerombolan begitu. Nah itu juga yang membuat mereka mau ngajak kita, melalui Milan, mengundang kita ke Jerman dan beberapa negara sekitarnya untuk mentas,” jelas Yayu.
Unsur teater lain yang juga sangat kentara di SDM adalah penggunaan properti, set panggung atau dekorasi, kostum yang kreatif, hingga celotehan-celotehannya. Membuat dasar pantomim SDM adalah akting.
“Memang ada yang mempertahankan (pantomim klasik, red.), seperti Septian Dwi Cahyo, misalnya, yang masih percaya dengan teknik. Mas Djemek (Supardi) juga masih setia dengan teknik. Tetapi Milan yang selama ini punya pengaruh besar buat kami, dia minta bahwa kita lebih bebas saja. Yang penting idenya ada, pesan moralnya juga ada dalam kesenian kami. Karena dia juga sendiri bilang, kesenian itu enggak boleh lagi ada sekat-sekatnya atau dibatasi,” tutur Yayu.
Tentu latihan olah tubuh jadi salah satu yang diprioritaskan Yayu dkk. di SDM. Karena dengan olah tubuh, seorang aktor bisa menyampaikan sebuah rasa kepada penontonnya.
“Karena aktor yang baik adalah aktor yang mampu menarik realitas penonton masuk ke dalam realitas permainannya. Karena Mas Didi selalu bilang bahwa aktor itu bekerja dengan rasa. Yang dijual dari sebuah pementasan atau film itu adalah rasa,” urainya.
Dari semua itu, SDM mengemas banyak karya satir maupun kritik, tak hanya terhadap rezim Orde Baru (Orba) namun juga terhadap masyarakat. Dengan kemasan seni pantomim yang apik serta gerakan-gerakan estetik itulah SDM menghadirkan kritik tapi sama sekali seperti tak menyinggung pihak-pihak yang jadi sasaran kritik. Di antara karya-karya SDM yang mengandung kritik adalah Beca (1987), Stasiun (1988), Soldat (1989), Beca B Complex (1990), Lobi Lobi Hotel Pelangi, Sekata Kaktus du Fulus (1992), Jakarta Jakarta (1993), Se Tong Se Teng Gak (1994), Gangster dan Temanmu (1995), dan Kaso Kastro (1999).
“Karya Beca menceritakan tentang nasib Sukimin penarik becak yang sudah tidak beroperasi lagi karena becak dihapuskan. Lobi-Lobi Hotel Pelangi berisikan tentang bell boy hotel yang sehari-hari hanya melihat kemewahan dunia sementra ia mempunyai dunia yang miskin, jauh dari kelayakan hidup. Se Tong Se Teng Gak dipentaskan dalam rangka Festival Pantomim Internasional II yang isi ceritanya tentang manusia yang menyalahgunakan wewenang, jabatan, dan kekuasaannya,” sambung Nur Iswantara.
Sedangkan Soldat, kenang Yayu, ceritanya agak “ngeri-ngeri sedap” karena berisikan tentang lika-liku seorang tentara. Meski mulanya cemas lantaran berpotensi ditangkap, Yayu cs. nekat mementaskannya di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ).
“Yang nonton ada jenderal-jenderal, wah kita jiper. Karena di situ ada (cerita) orang bagi-bagi uang, ada yang main golf, pokoknya yang kocak-kocak tentang tentara. Tapi kita lihat penontonnya tepuk tangan dan ketawa. Setelahnya ada seorang jenderal ke belakang (ruang ganti), pas kita hapus-hapus make-up. Dia bilang, ‘wah keren pementasannya. Selamat. Nanti kalau ulang tahun Kopassus, kalian ngisi ya.’ Kita dikasih uang dan bener, kita main di Cijantung walau harus kita sesuaikan karena panggungnya lebih kecil,” Yayu mengingatnya.
Tetapi ada juga pihak yang tak berkenan dengan repertoire yang dipentaskan SDM. Gubernur DKI Jakarta periode 1987-1992, Letjen (Purn) Wiyogo Atmodarminto, salah satunya.
“Pernah kita lagi mainkan (karya) Beca 2 tahun 1988 di Graha Bakti Budaya, yang nonton ada Pak Wiyogo. Kita kaget pas Pak Wiyogo mau nonton. Kita sudah mengira dia bakal ngamuk, sementara Pak Wiyogo kan waktu itu mensubsidi IKJ juga. Benar saja, enggak sampai 10 menit (pementasan), dia keluar. Enggak tahan sama kritiknya," ucap Yayu.
Baca juga: Perempuan dalam Teater Bung Karno
Namun semaraknya seni pantomim bukan berarti SDM bisa terus-menerus menyajikan pementasan dengan produksi besar. Ada kalanya mereka harus “ngamen” hanya untuk menyambung hidup sembari menyelesaikan kuliah.
“Waktu 1980-an saya masih main di jalanan. Kadang di Pasar Baru, main di hotel, di mana-mana. Dari situ kita bisa makan waktu kuliah. Mas Sena, Mas Didi atau saya juga kadang tampil tunggal atau mereka tampil berdua di night club, menghibur orang mabuk. Kalau enggak lucu disuruh turun (panggung). Tapi kita main di depan orang mabuk jadi melatih mental juga dengan penonton yang keras-keras, yang lempar gelas. Wah zaman itu kencang (kerasnya),” ujar Yayu sambil geleng-geleng kepala.
Saat itu, lanjut Yayu, masih sangat sulit bagi seorang aktor pantomim jika hanya menggantungkan hidup dari pantomim belaka. Tak ayal banyak anggota SDM, termasuk dirinya, akhirnya juga terjun ke industri film. Pun sepeninggal Sena dan Didi, Yayu mengaku kesulitan untuk membangkitkan gairah pantomim seperti dahulu.
“Ke depannya iya (ingin pentas lagi), cuma ketika (SDM) turun ke saya, karena enggak seperti zaman dulu lagi, agak sulit. Dulu kita bisa berdarah-darah. Dulu semua mahasiswa kan. Kalau konsumsinya hanya bubur kacang hijau dan teh manis sudah bikin kita bahagia. Sekarang enggak mungkin lagi. Makanya ketika bikin repertoire, saya sudah harus berpikir bagaimana mereka makan. Minimal makan dulu, gaji belum. Belum bisa kayak Teater Koma yang sudah digaji,” tandas Yayu.
Baca juga: Lantai Dansa John Travolta
Tambahkan komentar
Belum ada komentar