Sengkarut Dongeng Putri Salju
Dongeng Putri Salju faktanya terinspirasi dari banyak kisah, salah satunya hikayat Melayu. Kini imej klasiknya di layar lebar berubah drastis.
GADIS anggun si Putri Salju terbaring di peti kaca. Kecantikannya tak memudar meski dalam keadaan kaku gegara menggigit sebutir apel beracunnya Ratu Jahat. Tujuh kurcaci di sekelilingnya tenggelam dalam isak tangis sampai akhirnya datang seorang pangeran yang mampu membangunkan si Putri Salju berbekal ciuman.
Begitulah kisah yang melekat dalam memori para penggemar dongeng Putri Salju di kolong langit sejak lama, yang berasal dari film animasi Disney Snow White and the Seven Dwarfs (1937). Namun memori itu bisa berubah 180 derajat karena Disney punya pendekatan yang terbilang radikal lewat produksi film musikal barunya, Snow White. Film besutan sineas Marc Webb itu direncanakan rilis pada Maret 2024.
Imej akan sosok Putri Salju yang polos sejatinya sudah pernah “dimodifikasi” menjadi sosok yang maskulin dan terampil bertarung. Tepatnya dalam dua produksi keluaran Universal Pictures, Snow White and the Huntsman (2012) dan sekuelnya, The Huntsman: Winter’s War (2016). Tapi keduanya tak mendapat sambutan positif di khalayak maupun para kritikus.
Baca juga: Bersahabat dan Bertualang dengan Landak Super
Kini untuk versi Disney 2024 garapan Webb itu, Putri Saljunya yang diperankan aktris blasteran Kolombia-Polandia, Rachel Zegler, imejnya cenderung feminis. Dalam beberapa pernyataannya perihal komparasi dengan versi animasi 1937, Zegler tak hanya bangga memerankan Putri Salju pertama yang berkulit cokelat tapi juga mengolok-olok karakter versi 1937 dan itu yang memicu kegegeran di publik dan penggemar Snow White klasik.
“Kartun aslinya tayang di 1937, dan terbukti sangat…terdapat fokus yang besar pada kisah cintanya dengan seorang cowok yang sebenarnya stalker. Aneh! Aneh! Jadi kami tak melakukannya kali ini,” kata Zegler dikutip The Independent, 15 Agustus 2023.
Zegler juga sesumbar bahwa Putri Salju versi baru ini akan lebih independen alias sama sekali tak butuh lelaki untuk membuatnya bahagia. Putri Salju juga ingin pemimpin karena karakter kepemimpinan tak pernah ditonjolkan dalam berbagai adaptasi Putri Salju yang lain.
“Kami betul-betul menulis sosok Putri Salju yang…dia tidak akan diselamatkan oleh pangeran dan dia tidak akan bermimpi tentang cinta sejati; dia akan bermimpi jadi pemimpin yang dia sadar bahwa dia mampu sebagaimana nasihat ayahnya dan dia akan jadi sosok yang tak kenal takut, berani, adil, dan jujur,” imbuhnya.
Baca juga: Tiga Wajah Willy Wonka
Namun soal ingin mewujudkan emansipasi sebagai sosok pemimpin, mungkin ia alpa bahwa dalam versi 1937 pun karakter Ratu Jahat sudah jadi pemimpin sebuah kerajaan dengan kekuasaan absolut. Sementara perkara mimpi akan cinta sejati yang dianggapnya sudah usang juga kemudian direspon netizen dan menuding sang aktris sebagai sosok pseudo feminist.
“Jatuh cinta, menikah, jadi ibu rumah tangga, menjadi sosok lembut bukanlah anti-feminis. Tak satupun dari hal itu membuat nilai Anda berkurang sebagai perempuan,” ungkap netizen di akun TikTok @CosyWithAngie yang posting-annya itu punya 10 juta view.
Bahkan, David Hand yang ayahnya merupakan asisten sutradara film versi 1937, ikut angkat suara. Kepada The Telegraph, 18 Agustus 2023 ia mengatakan, “remake ini penghinaan dan mungkin ayah saya dan bahkan Walt Disney bisa bangkit dari kuburnya.”
Pihak Disney sendiri masih bungkam. Yang belakangan terjadi, sebagaimana dikutip Dexerto, Selasa (5/9/2023), Disney malah menarik film animasi versi 1937 itu dari berbagai platform OTT (over-the-top) seperti Disney Plus, Netflix, dan HBO Max. Alasannya versi 1937 itu akan lebih dulu direstorasi 4K sebelum dirilis kembali di layanan-layanan streaming itu pada Oktober 2023.
Mula Putri Salju
Dari beragam rupa versi animasi maupun film layar lebar, dongeng tentang Putri Salju senantiasa berhulu dari satu sumber yang diadaptasi. Kisahnya berasal dari salah satu kumpulan dongeng Kinder-un Hausmärchen (terj. Children’s and Household Tales) atau lebih dikenal dengan Grimm’s Fairy Tales edisi pertama tahun 1812 karya sastrawan Jerman bersaudara, Jacob dan Wilhelm Grimm.
Kumpulan dongeng edisi pertama itu berisi 86 cerita fantasi. Selain kisah Putri Salju juga ada kisah kondang lainnya seperti Hansel dan Gretel, serta Rapunzel. Menariknya dalam cerita Putri Salju yang di edisi aslinya bernama Sneewittchen (terj. Snow White), ending kisahnya sama sekali berbeda dengan yang diadaptasi Disney pada versi 1937.
Menilik plot orisinil Grimm Bersaudara, si Putri Salju yang mengalami koma usai memakan apel beracun Ratu Jahat tidaklah siuman karena dicium sang pangeran. Kisah demikian, di mana seorang gadis jelita yang akhirnya sadarkan diri usai dicium seorang pangeran, adalah kisah asli Putri Tidur alias La belle au bois dormant (terj. Sleeping Beauty) yang terdapat dalam sebuah roman Prancis pada 1340, Perceforest.
“Sang pangeran diperbolehkan oleh tujuh kurcaci untuk membawa Putri Salju di peti kacanya ke istana ayahnya. Tapi saat Putri Salju dipindahkan, salah satu pelayannya pangeran tersandung dan jatuh. Hal itu menyebabkan potongan apel beracun yang tersangkut di kerongkongan Putri Salju keluar, secara ajaib membangunkannya,” ungkap pakar sastra Jerman, Prof. Jack Zipes dalam The Original Folk and Fairy Tales of the Brother’s Grimm.
Baca juga: Petualangan Gereget Pria Berusia 100 Tahun
Terlepas dari itu, edisi pertama yang dirilis Grimm Bersaudara –meski bertajuk untuk anak-anak– sejatinya lebih suram dari yang tergambar saat ini. Di antaranya terdapat plot yang menggambarkan seksualitas dalam cerita Rapunzel, atau perubahan tokoh antagonis dari ibu kandung menjadi Ratu Jahat si ibu tiri dalam kisah Putri Salju. Pada akhirnya kedua versi merevisi edisinya pada 1854 agar lebih ramah anak.
“Dalam edisi pertamanya tokoh jahat yang cemburu saat bertanya kepada kaca ajaib: siapa yang paling cantik di dunia, adalah ibu kandung Putri Salju. Di versi berikutnya diubah tokoh jahatnya adalah ibu tiri (Ratu Jahat, red.) untuk menyesuaikan ceritanya kepada anak-anak,” tulis Maria Tatar dalam The Hard Facts of the Grimms’ Fairy Tales.
Kendati begitu, Grimm Bersaudara juga tidak 100 persen orisinil melahirkan tokoh-tokoh maupun beberapa bagian plot cerita dalam kumpulan dongengnya, melainkan mengadaptasi. Maka cerita-ceritanya mirip dengan dongeng-dongeng terdahulu baik di Jerman sendiri, beberapa negera di Eropa, atau bahkan sampai ke negeri Melayu.
Cerita dongeng lain yang juga mirip dengan kisah Putri Salju antara lain kisah Richilde dalam kumpulan dongeng Volksmärchen der Deutschen (1782) karya Johann Karl August Musäus di Jerman. Atau kisah Marquise Giovanna Gianna Zazzera dalam kumpulan dongeng Il Pentamerone (1643) karya penyair Italia Giambattista Basile, hingga kisah Bidasari dalam manuskrip hikayat Melayu dari tahun 1807, Syair Bidasari.
“Tidak diketahui dari daerah mana tepatnya Syair Bidasari berasal tapi kisah ini begitu populer di abad ke-18 dan 19 di Asia Tenggara mulai dari Minangkabau (kini Sumatera Barat, Indonesia) hingga Kepulauan Mindanao (Filipina),” ungkap Julian Millie dalam Bidasari: Jewel of Malay Muslim Culture.
Baca juga: Sri Asih, Adisatria Pertama Indonesia dalam Komik dan Film
Kumpulan puisi dalam hikayat itu mengisahkan kehidupan Bidasari, seorang anak raja dari negeri Nousa Antara yang terbuang dan dirawat pasutri rakyat jelata. Ia tumbuh jadi gadis cantik setelah jiwanya dibagi ke dalam seekor ikan.
Tetapi Ratu Lila Sari, istri Raja Djouhan Mengindra dari Kesultanan Indrapura cemburu dengan kecantikannya. Ratu Lila Sari pun menyekap Bidasari dan insyaf bahwa ia dulunya anak raja yang jiwanya dibagi ke dalam tubuh seekor ikan.
Ikannya pun diburu dan ditangkap sang ratu. Ketika ikannya mati dan bangkainya dikalungi, tetiba Bidasari mengalami koma. Raja Djouhan yang akhirnya mengetahui cerita itu, merampas kalung ikan di leher Ratu Lila Sari dan seketika itu juga siuman. Sang raja yang terpesona kecantikannya, akhirnya memilih menikahi Bidasari dan sang ratu memilih melarikan diri.
Sekilas tentu terdengar mirip tapi terlepas dari itu semua, dongeng-dongeng Grimm Bersaudara, tak hanya melekat di memori banyak orang tapi juga diakui dunia. Pada 2015 Kinder-un Hausmärchen masuk dalam daftar Memory of the World (MoW) atau Memori Dunia yang diakui UNESCO atau Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Sains, dan Kebudayaan.
“Dongeng-dongeng Grimm Bersaudara masih beresonansi dengan kita di hari ini karena mereka mengindikasikan betapa kita sebenarnya bisa mengubah diri sendiri dan kondisi-kondisi di sekeliling kita demi kehidupan yang lebih baik. Sebagai filolog, kolektor, penerjemah, peneliti, editor, dan mediator, Grimm Bersaudara berkarya dengan harapan dongeng-dongeng mereka bisa bermanfaat dalam banyak cara dan tentu saja, harapan ini masih bisa terasa ketika kita membaca dan mendengarkan dongeng-dongeng mereka,” tulis Zipes dalam kolomnya, “How the Grimm Brothers Saved the Fairy Tale” di kolom majalah Humanities edisi Maret/April 2015.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar