Senandung Andung, Mengenang yang Berpulang
Kisah tembang duka pengiring seremoni kematian bagi orang Batak.
Raungan tangis acap kali memecah dalam perkabungan orang suku Batak. Ratapan ini pun biasanya mengalunkan kata demi kata mirip puisi yang dilagukan. Di kalangan sub etnis Batak Toba, senandung ratap demikian dikenal dengan istilah andung.
“Dulu selalu dikumandangkan setiap ada upacara kematian,” kata etnomusikolog Rizaldi Siagian kepada Historia.
Andung berasal dari tradisi lisan warisan leluhur Batak kuno. Tak diketahui persis ihwal andung bermuasal. Namun, ia merupakan produk kebudayaan Batak pra-Kristen.
Dalam Kamus Budaya Batak Toba yang disusun M.A. Marbun dan Idris Hutapea, andung berarti ungkapan atau nyanyian; senandung kesedihan yang dinyanyikan. Melagukan andung (mangandung) adalah cara mengungkapkan rasa duka, solidaritas, harapan, atau permohonan ketika meratapi kematian sanak terkasih.
Menurut Rizaldi, andung masuk kategori music vokal, lament (ratapan). Seorang yang melagukan andung disebut pangandung. Sembari meratap, si pangandung akan menuturkan semua kesedihan dan duka lara dengan kata-kata khusus yang disebut bahasa andung.
“Ia bagian dari kebudayaan dan terintegrasi didalamnya,” ujar Rizaldi. “Yang menentang justru yang datang dari luar kebudayaan bersangkutan.”
Bikin Belanda Gentar
Di zaman kolonial, tembang andung pernah membuat Belanda gemetar. Sebisa mungkin ratapan itu dihindari. Bagaimana bisa?
Kisahnya bermula ketika Sisingamangaraja XII yang menentang kekuasaan kolonial gugur di Dairi pada 1907. Pemerintah Belanda sengaja menyembunyikan jenazah raja Batak itu dari keluarganya. Pun waktu dimakamkan di Tarutung, tak satupun anggota keluarga yang menyaksikan. Mereka baru dapat melihat pusara Sisingamangaraja setelah gerakan pejuang Batak secara total dilumpuhkan.
Pasca kematian Sisingamangaraja, pihak Belanda dilingkupi perasaan risau. Sejarawan cum teolog Walter Bonar Sidjabat mengungkap alasan dibalik kekhawatiran ini. Sekiranya ada keluarga Sisingamangaraja yang turut hadir menyemayamkan jenazah dan mangandung, maka dapat timbul reaksi yang membahayakan Belanda.
Baca juga: Kado Natal 1000 Gulden
Menurut Sidjabat, bagi masyarakat Batak, andung diucapkan sambil menangis sekaligus meluapkan kenangan tentang sifat-sifat khusus orang yang ditangisi. Ini kemudian memberikan interpretasi oleh orang yang menangisi tentang riwayat dan arti orang yang meninggal. Dalam hal Sisingamangaraja, tentu akan bertalian erat dengan perjuangannya.
“Kata-kata andung itu pasti akan menimbulkan rasa iba dan emosi di kalangan rakyat, dan mungkin sekali pada saat itu akan membangkitkan perlawanan spontan terhadap Belanda sekiranya mereka mengizinkan anggota keluarga hadir pada saat pemakaman yang bersejarah itu,” tulis Sidjabat dalam Ahu Si Singamangaraja: Arti Historis, Politis, Ekonomis, dan Religius Si Singamangaraja XII.
Kearifan Lokal yang Terpental
Menurut antropolog Togar Nainggolan, tradisi mangandung menjadi kebiasaan yang mendorong orang Batak Toba berbakat dalam menyanyi. Andung dapat membuat pendengarnya terpana, terpesona, bahkan terpantik untuk menitikkan air mata. Pangandung yang lihai biasanya menutupi kepalanya dengan kain ulos sehingga mimik wajah ataupun gelagatnya menangis tersamar.
“Walau tak terikat dengan syair yang beraturan, bahasa andung sangat spesial dan jarang diucapkan dalam bahasa sehari-hari. Kata-katanya terpilih. Hal ini masih terasa dalam banyak lagu trio modern,” tulis Togar Nainggolan dalam “Strategi Komunitas Batak Toba untuk Penguatan Karakter Bangsa” termuat di kumpulan tulisan Karakter Batak: Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan.
Kendati demikian, fungsi andung sebagai kidung ratapan mulai tergeser seiring zaman. Penetrasi zending yang menyiarkan kristenisasi menggerus praktik kebudayaan lama yang mendekati animisme. Tradisi mangandung tak terkecuali ikut tergilas.
Menurut Rizaldi Siagian, ada semacam resistensi terhadap andung ditengah-tengah pemeluk agama samawi. Resistensi ini terutama pada kalangan Kristen di Toba. “Karena dianggap paganisme,” kata Rizaldi.
Sebagai salah satu warisan budaya yang pernah hidup dan berperan kuat dalam masyarakat Batak Toba, kini ratapan andung kian jarang dilantunkan. Ia bahkan hampir tak ditemui lagi pada masa berkabung orang Batak yang menganut Kristen. Hanya orang tua-tua tertentu saja yang masih dapat menguasai bahasa andung.
Pendeta Gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) terkemuka, Darwin Lumbantobing mengemukakan bahwa senandung andung telah diganti dengan himne gereja yang termaktub dalam Buku Ende (kitab lagu) HKBP. Bila anggota jemaat mengalami kemalangan, maka pelayan gereja yang hadir akan mengiringi acara duka lewat nyanyian Buku Ende. Para pelayat pun ikut serta menyanyikan lagu-lagu rohani sebagai kebaktian penghiburan.
“Tindakan seperti itulah yang membuat posisi andung tergeser dan menghilang dari kehidupan masyarakat Kristen Batak, karena digantikan Ende Huria (Lagu Gereja),” tulis Darwin Lumbantobing dalam “Menemukan Jati Diri dalam Sejarah yang Dilalui” termuat di Konsepku Membangun Bangso Batak: Manusia, Agama, dan Budaya suntingan Bungaran Antonius Simanjuntak.
Kendati demikian, tradisi andung tak sepenuhnya mati. Ia pun tak selalu kumandang ketika ada yang meninggal. Andung beralih ke lagu-lagu pop Batak dengan melodi dan lirik yang sedih ataupun cukup hanya dengan alunan seruling.
Baca juga:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar