Saltik Tiket
Toket merupakan bahasa prokem. Dibentuk dari kata tetek bukan tiket.
Musni Umar, rektor Universitas Ibnu Chaldun, melakukan tipo atau saltik (salah ketik) saat membuat cuitan untuk mengkritisi mahalnya tiket pesawat Jakarta-Aceh yang mencapai Rp9,6 juta. Maksudnya kata tiket, malah salah ketik menjadi toket. Toket pun trending topic.
“Mahal sekali. Pantas diprotes. Ada warga Aceh yang siasati mahalnya toket Aceh-Jkt. Kalau mau ke Jakarta lewat KLAI Malaysia baru ke Jakarta. Katanya jauh lebih murah,” cuit @musniumar (29/4).
Kesalahan satu huruf membuat arti kata berubah jauh. Tiket adalah karcis kapal, pesawat terbang, dan sebagainya. Sedangkan toket adalah tetek, susu, dan payudara.
Kata toket tak ada dalam KBBI karena kata ini adalah bahasa prokem yang muncul pada 1980-an.
Baca juga:
Menurut Prathama Rahardja dan Henri Chambert-Loir dalam Kamus Bahasa Prokem, bahasa prokem sebagaimana dapat direkam di kalangan mahasiswa dan di kalangan preman di Jakarta terdiri atas sejumlah kata yang kebanyakan merupakan kata jadian berdasarkan kata-kata Indonesia/Jakarta biasa.
“Sebagian besar kata prokem (sekitar seperempatnya) dibentuk dengan imbuhan -ok-. Sistem -ok- itu sebenarnya mudah. Bagian akhir kata asal dibuang (apokope namanya) dan suku kata sebelumnya disisipi imbuhan -ok-. Sebagai contoh, bapak menjadi bap [ak dihilangkan, bap disisipi imbuhan -ok-] menjadi bokap,” tulis Prathama dan Henri.
Baca juga:
Jeremy Wallach dalam Modern Noise, Fluid Genres: Popular Music in Indonesia, 1997–2001, menyebut bahwa bahasa prokem disebut juga bahasa okem. Kata prokem sebenarnya untuk preman (kata preman menjadi prem [an dihilangkan] disisipi imbuhan -ok- menjadi prokem). Preman muda dianggap sebagai pencetus gaya bicara ini, meskipun lebih sering dikaitkan dengan siswa sekolah menengah dan mahasiswa.
Radio berperan dalam mempopulerkan bahasa prokem. Seperti acara Warkop Prambors. “Abis siaran kita kemek dulu ya. Ada berkat dari menu kelebihan katering nyokap tadi malam,” kata Indrojoyo Kusumonegoro, mahasiswa Universitas Pancasila, yang baru saja bergabung dengan Warkop.
“Saat itu kami sudah siaran memakai bahasa prokem,” kata Indro dalam Warkop: Main-main Jadi bukan Main. “Makan menjadi kemek, duit menjadi dokat, pulang menjadi poskul, bini menjadi bokin, kawin menjadi weke, pacaran menjadi cepere, perawan menjadi perokaw, sekolah menjadi sekokul, tidur menjadi gintur, jalan-jalan menjadi lojing-lojing, berak menjadi boker, kerja menjadi joker, dia menjadi doi, gua menjadi ogut, tetek menjadi toket, dan sebagainya.”
Baca juga:
Dari kata-kata prokem yang disebut Indro tidak semua bersisipan -ok-. Sebab, menurut Prathama dan Henri, sistem produksi kata prokem yang kedua, atau malah yang lebih produktif daripada sistem -ok-, ialah "bahasa balik" alias segala macam metatesis (penukaran huruf atau suku kata). Yang paling sering digunakan ialah penukaran kedua konsonan awal dari satu kata bersuku kata dua (cabo menjadi baco, bikin menjadi kibin, balik menjadi labik, dan seterusnya). Terjadi juga vokal awal pindah ke belakang konsonan yang berikutnya (abang menjadi baang, utang menjadi tuang).
Baca juga:
Lebih lanjut Prathama dan Henri menjelaskan, pada mulanya istilah prokem terbatas pada kata yang dibentuk dengan imbuhan -ok-. Namun, istilah prokem kemudian bergeser artinya mencakup sejumlah kode yang dipakai secara serentak oleh kaum remaja dan preman. Definisi bahasa prokem bukan lagi definisi linguistik (sebuah kata dianggap kata prokem menurut sesuai tidaknya dengan satu rumus tertentu), melainkan definisi sosial (prokem adalah bahasa sandi, termasuk macam-macam kode yang berlainan, yang dipakai oleh sebuah golongan masyarakat tertentu).
“Tidak dapat dielakkan konsep prokem akan tetap berlainan artinya menurut paham masing-masing penutur atau peninjaunya,” tulis Prathama dan Henri.
Baca juga:
Menurut Wallach, bahasa prokem sekarang dianggap ketinggalan zaman oleh budaya mahasiswa yang pertama kali mempopulerkannya. Prokem masih digunakan oleh beberapa pemuda kelas pekerja di Jakarta, dan beberapa kata, seperti bokap (ayah), nyokap (ibu), pembokat (pembantu –dianggap sangat menghina), bokin (istri), dan toket (payudara) telah umum digunakan di Jakarta.
Bahasa prokem diciptakan untuk suatu tujuan. “Prokem tampaknya muncul untuk memenuhi kebutuhan akan bahasa alternatif informal dari bahasa Indonesia baku, yang dapat digunakan untuk mendorong solidaritas dan keakraban dalam kelompok orang yang tidak memiliki bahasa daerah (etnis) yang sama,” tulis Wallach.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar