Ini Baru Namanya Mainan
Berawal dari hanya main-main, lima mahasiswa yang memainkan kata-kata mendapatkan hasil bukan main: bisa memainkan perasaan banyak orang.
Stasiun Purbalingga, 1979. Suasana tidak ramai. Rangkaian kereta api baru saja masuk dari arah timur. Dengan menenteng dua koper, Paijo bergegas menaikinya. Di dalam, pemuda itu duduk berhadapan dengan pemuda asal Klaten bernama Slamet. Mereka berkenalan lalu mengobrol. Tujuan mereka sama: kuliah di Jakarta.
Jakarta tahun 1970-an sudah menjadi magnet bagi orang daerah untuk mencari kehidupan yang lebih baik atau menuntut ilmu. Paijo dan Slamet hanyalah sedikit di antaranya. Tapi mereka hanya bagian dari penggambaran realitas Jakarta kala itu. Kisah mereka hanyalah fiksi. Kehidupan mereka cuma bagian dari alur cerita film Mana Tahaaan, film perdana kelompok lawak ternama, Warkop.
Cikal-bakal Warkop bermula dari persahabatan beberapa mahasiswa Universitas Indonesia (UI) Rawamangun. Awalnya Rudy Badil dan Nanu Mulyono, lalu Kasino Hadiwibowo bergabung. Mereka sama-sama hobi naik gunung atau aktivitas alam, bermusik, dan bercanda. Yang paling kocak adalah Nanu dan Kasino. Celetukan keduanya sering bikin teman-teman mereka terpingkal. Keduanya juga sering memelesetkan lirik lagu-lagu yang lagi populer. Alhasil, duet mereka menarik mahasiswa lainnya. Nanu-Kasino sering diundang menghibur acara-acara kampus maupun pecinta alam.
Baca juga: Bang Rudy Badil Telah Berpulang
Suatu malam, Badil-Nanu-Kasino diminta mengisi acara obrolan malam di radio Prambors. Mereka mengobrolkan hal-hal seram dan kocak. Di sesela obrolan, mereka menyelipkan lagu plesetan. Sontak, banyak pendengar terbahak-bahak. Obrolan “malam Jumatan” itu menarik hati pendengar dari kalangan aktivis pecinta alam UI. Perlahan pendengarnya meluas. Mulailah mereka mengisi rutin acara pada jam sembilam malam itu. Nama acaranya pun diresmikan jadi Warung Kopi (Warkop) Prambors.
Bentuk lawakan mereka kian jelas ketika Temmy Lesanpura, pendiri Prambors, menyarankan agar mereka “bercanda otak” alias menghadirkan humor-humor cerdas. Humor andalan mereka adalah kisah warung kopi Bang Holil, sebuah obrolan yang mengisahkan keseharian di sebuah warung kopi.
Awal Juni 1975, Wahjoe Sardono alias Dono, mahasiswa Sosiologi UI, bergabung. Selang setahun kemudian masuk Indrojoyo Kusumonegoro alias Indro, yang rumahnya bersebelahan dengan radio Prambors.
Jadwal ngamen plus ngelawak mereka kian padat. Warkop Prambors sering tampil mengisi acara. Penggemarnya tersebar di mana-mana, hingga ke luar Jawa. Pada awal 1979, mereka masuk dapur rekaman. Siapa sangka jika album perdana Warkop –live dari pertunjukan Warkop di Palembang dan Pontianak– meledak. Sebanyak 180 ribu kaset terjual dalam waktu 45 hari. Total, album ini terjual 260 ribu kopi. Mereka kemudian merilis album-album berikutnya.
Kesuksesan juga mereka raih ketika main film. Film perdana Warkop, Mana Tahaaan, meledak. “Film perdana Warkop itu juga boleh dibilang telah mengubah jalan hidup para anggotanya,” tulis Eddy Suhardy, salah satu penulis dalam buku Warkop: Main-main Jadi Bukan Main.
Baca juga: Ratmi, Kiprah Bomber 29
Dalam film-filmnya, Warkop menghadirkan humor-humor cerdas yang bermuatan kritik politik, sosial, ataupun ekonomi –tentu dengan cara halus. Dalam film Mana Tahaaan, misalnya, ada ucapan Sanwani (Kasino) yang bernada kritik pada formalisme dan birokrasi Orde Baru: "Eh, serobotan aja lo. Di sini makan ada undang-undang, bab, dan pasal-pasalnya tauk." Tidak mengherankan, karena Warkop lahir ketika gelombang ketidakpuasan mahasiswa terhadap rezim Orde Baru mulai marak. Mereka juga kenal dengan aktivis-aktivis mahasiswa yang vokal macam Hariman Siregar ataun Salim Hutajulu.
Total, ada 34 film yang sudah mereka rilis. Corak film mereka pun tidak tetap alias mengikuti zaman. Sutradara dan produsernya pun beragam nama. Sebagaimana mereka katakan, seringnya penggantian sutradara adalah untuk mencari yang paling cocok. Film-film mereka selalu menuai sukses. Mereka bukan hanya mengandalkan kekuatan entertain tapi juga menggarap strategi pemasarannya dengan serius. Misalnya, mereka kerap memasarkan film di sekitar Lebaran. Tapi kritik bukannya tak menimpa mereka. Belakangan film-film Warkop mulai kehilangan greget dan humor-humor cerdasnya. Cenderung slapstik dan memamerkan cewek-cewek cantik nan seksi.
Baca juga: Slapstik, Kala Fisik Jadi Bahan Tawa
Rudy Badil kemudian lebih memilih berprofesi sebagai wartawan. Nanu meninggal dunia dalam usia muda. Formasi Warkop akhirnya tinggal Dono, Kasino, dan Indro. Namun, sinar terang masih menghinggapi Warkop. Pada 1986, manajemen mereka akhirnya pisah dari manajemen Prambors dan mengganti nama jadi Warkop DKI.
Nama mereka mulai meredup ketika stasiun televisi swasta bermunculan. Karena industri film terpuruk, Warkop akhirnya teken kontrak membuat sinetron. Tapi sinetron mereka tak sesukses film. Di tengah perjalanan, Warkop harus kehilangan Kasino yang meninggal pada 18 Desember 1997 dan Dono pada 30 Desember 2001. Sendirian, Indro tetap berjuang mempertahankan kelangsungan hidup Warkop.
Lebih dari dua dasawarsa Warkop berkarya dan mewarnai pentas sejarah hiburan di Indonesia. Perjalanan itulah yang ingin dihadirkan buku ini. Suka-duka selama berteman dan berkarya, yang tak jarang menimbulkan cekcok, hadir dalam kalimat-kalimat lugas para penulisnya. Sayangnya, porsi pemaparan profil para personel Warkop hampir tidak dapat tempat dalam buku ini. Latar belakang pribadi, kehidupan masing-masing seiring usia, keseharian semasa kuliah dan setelah berkeluarga, sedikit-banyak pasti ikut berpengaruh dalam karya-karyanya.
Warkop harus merelakan para juniornya naik pentas. Tapi main-mainan mereka telah menghasilkan dampak bukan main.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar