Tentang Anjay dan Kata-kata Umpatan
Tiga kategori kata-kata umpatan. Saat kata-kata umpatan dirasa kasar, maka dibuatlah pelesetannya. Lahirlah anjay.
Warganet ramai-ramai mencuit kata "anjay" sehingga menjadi trending topic. Mereka merespons siaran pers dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) yang mengajak untuk menghentikan penggunaan kata "anjay".
Kata "anjay" biasa digunakan dalam percakapan di antara teman sepergaulan untuk menunjukan suasana keakraban. Namun, menurut Komnas PA, jika kata "anjay" atau "anjing" digunakan kepada orang yang tidak dikenal dan lebih dewasa bisa mengandung unsur kekerasan verbal (bullying) dan merendahkan martabat seseorang, sehingga dapat dilaporkan sebagai tindak pidana.
Seperti zaman Majapahit saja yang menghukum orang yang melakukan penghinaan atau caci maki (wakparusya). Pada umumnya dihukum denda berupa uang kecuali wakparusya yang dilakukan seorang candala kepada brahmana (pendeta), diancam dengan hukuman mati. Candala adalah masyarakat dari lapisan sosial paling rendah, di bawah sudra, jadi tergolong paria atau tanpa kasta.
Baca juga: Hukuman bagi Penjahat pada Zaman Kuno
Susanto Pudjomartono, mantan wartawan dan diplomat, dalam tulisan bahasa berjudul "Bangsat" di majalah Tempo, 2 Juni 2002, membagi kata-kata umpatan dalam tiga kategori.
Kategori pertama adalah kata-kata umpatan yang paling sering dipakai yaitu nama binatang yang dianggap rendah atau nista. Dalam kategori ini, anjing tidak sendirian. Binatang-binatang yang senasib dengan anjing di antaranya babi, monyet, kunyuk, bangsat (kutu busuk), kambing, kucing, kerbau, kampret, dan lain-lain; belakangan buah dari persaingan politik, umpatan kampret punya lawan yaitu cebong.
Tidak puas dengan hanya umpatan binatang itu, manusia menambahkan predikat tertentu, misalnya "(dasar) tampang monyet", "kerbau dungu", "kambing congek", dan "kucing kurap" (koreng).
"Umpatan babi dan anjing paling populer, mungkin karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, yang menganggap kedua binatang tersebut najis," tulis Susanto.
Baca juga: KH Mas Mansyur Pelihara Anjing
Sastrawan Hasif Amini dalam tulisannya "Fauna Bahasa" di majalah Tempo, 12 Februari 2017, menambahkan bahwa kata "binatang" sendiri dalam beberapa pemakaian berkonotasi negatif, misalnya "binatang ekonomi" dan "binatang politik". Begitu pula kata "hewan" yang terasa lebih ilmiah dan netral, tak jarang menunjuk kualitas negatif, misalnya dalam frasa "sifat-sifat hewani".
Konotasi positif atau negatif bisa berbeda-beda antara satu lingkungan budaya dan yang lain. Hasif menyontohkan kata dog tak menjadi umpatan yang lazim dalam Bahasa Inggris karena dalam lingkungan itu, anjing umumnya binatang piaraan yang patuh, setia, dan disayangi. Bahkan, kata dog mengandung makna positif, misalnya dalam ungkapan working like a dog yang berarti kerja keras tak kenal lelah. Kalau di Indonesia, belakangan muncul ungkapan "kerja keras bagai kuda" yang sepertinya diambil dari lirik lagu Koes Plus berjudul "Ku Jemu".
Baca juga: Asal Usul Kata Sontoloyo
Dog memang tidak lazim jadi kata umpatan, tapi dalam Bahasa Inggris (slang) ada kata bitch (jalang) yang secara harfiah artinya "anjing betina". Kata umpatan ini digunakan untuk merendahkan perempuan. Menurut Oxford English Dictionary, istilah bitch berasal dari kata Inggris Kuno, bicce atau bicge, yang berarti "anjing betina". Leluhur kata itu kemungkinan dari Bahasa Norse Lama atau Bahasa Skandinavia Kuno, yaitu bikkja, yang juga berarti "anjing betina". Akar sejarah bagaimana anjing digunakan untuk merendahkan perempuan dapat dilacak sampai zaman Yunani Kuno.
Kategori kedua adalah kata-kata umpatan yang berhubungan dengan seks. Misalnya, kata umpatan khas Jawa Timuran, jancuk atau jancok dari kata diancuk (ancuk artinya bersetubuh). Karena dirasa kasar, jancuk atau jancok kemudian dipelesetkan menjadi jangkrik.
Baca juga: Asal Usul Umpatan Jangkrik
Ada yang percaya kalau jancuk atau jancok berasal dari kata "Jan Cox" yang tertulis pada badan sebuah tank ketika Belanda berusaha menduduki kembali Indonesia. Padahal, menurut penelusuran komunitas Surabaya Tempo Dulu+, Jan Cox adalah nama seniman Belanda yang dijadikan nama tank Stuart M3 yang merupakan kendaraan Kapten Nix, komandan Eskadron 1 Vechwagens KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Eskadron ini mulai beroperasi pada 1946 di wilayah Jawa Barat dan Jakarta.
Sebelumnya, ketika Belanda masih menguasai Indonesia, orang-orang Belanda menyamakan orang pribumi dengan anjing. Di tempat-tempat keramaian yang hanya untuk kalangan Belanda, Eropa, dan Jepang, biasa tertulis: Verboden voor Honden en Inlanders (dilarang masuk untuk anjing dan pribumi).
Baca juga: Salah Anjing Apa?
Kategori ketiga adalah kata-kata umpatan yang berasal dari sesuatu yang dianggap hina atau merugikan, seperti setan, laknat, bajingan, goblok, bodoh, sialan, dan lain-lain.
Saat kata-kata umpatan dirasa kasar, maka dibuatlah pelesetannya. Susanto menyontohkan sastrawan Danarto yang dikenal santun selalu menulis "siwalan" (buah lontar) sebagai pelesetan dari "sialan".
Bacalah di bukunya, Catatan Perjalanan Haji Danarto, Orang Jawa Naik Haji: "Tiba-tiba sepercik pikiran menyelinap di benak: ingin saya mencuri Alquran. Habis, bergeletak bertumpuk-tumpuk begitu banyak. Saya pikir bagus sekali untuk kenangan, Alquran curian dari Masjid Nabi, hmmm, nggak apa deh biar buta huruf juga. Saya pikir, pikiran ini muncul akibat pergaulan buruk di Taman Ismail Marzuki, yang seenak udelnya saja mengarang-ngarang fatwa: mencuri buku adalah seindah-indahnya perbuatan. Siwalan bener! (He, he, he, orang lain disalah-salahin...)."
Bila Danarto memelesetkan "sialan" jadi "siwalan", bukankah anak-anak muda juga memelesetkan "anjing" jadi "anjay". Barangkali tak ada binatang yang dijadikan umpatan selain anjing yang paling banyak pelesetannya. Dengan mengubah tiga huruf terakhir dari kata anjing, lahirlah kata anjir, anjim, anjrit, anjrot, dan lain-lain. Jadi, bila "anjay" dilarang, penggantinya masih banyak.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar