Rotterdam Pulangkan 68 Artefak Jarahan ke Indonesia
Rotterdam jadi kota pertama di Belanda yang mengembalikan benda-benda bersejarah Indonesia, dari artefak hasil jarahan Lombok hingga Bali Selatan.
LAGI, sebanyak 68 benda bersejarah asal Indonesia yang dirampas di masa kolonial akan direpatriasi dari Belanda. Kali ini puluhan benda itu berasal dari koleksi Gemeente (pemerintah kota) Rotterdam, membuat kota pelabuhan itu jadi kota pertama di Belanda yang mengembalikan rampasan dari negeri jajahan.
Laman resmi Gemeente Rotterdam mengatakan Senin (25/11/2024), pengembalian benda-benda bersejarah itu menjadi bagian penting dari implementasi kerangka kebijakan nasional terkait koleksi dari negeri jajahan. Ke-68 benda itu meliputi 66 objek dari Bali Selatan (Badung) dan dua patung singa dari Lombok.
“Rotterdam mengakui bahwa benda-benda seni yang dikembalikan hari ini bukanlah milik kami melainkan milik Indonesia. Dengan repatriasi ini, kami mengambil langkah penting dalam memperbaiki ketidakadilan kolonial. Langkah ini menjadi gestur dari rasa hormat terhadap kebudayaan Indonesia dan sejarah yang kita bagikan,” ujar Wakil Walikota Rotterdam merangkap anggota Dewan Kota bidang pendidikan dan kebudayaan Said Kasmi.
Pengembalian ke-68 benda tersebut akan dibantu Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Kerajaan Belanda melalui Wereldmuseum Rotterdam. Tidak hanya dalam memeriksa benda-bendanya, pihak Wereldmuseum Rotterdam juga akan mengatur pemindahannya dari Belanda ke Indonesia.
“Kami sangat senang benda-benda ini akan dipulangkan ke Indonesia. Benda-benda ini memiliki nilai budaya yang signifikan bagi masyarakat Indonesia dan memang tidak seharusnya berada di sini. Kami bersyukur dengan adanya kolaborasi antara pihak Indonesia (Kedutaan Besar RI, red.), pemerintah kota Rotterdam, dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan dalam mewujudkan pengembalian ini,” timpal Direktur Jenderal Wereldmuseum Rotterdam Marieke van Bommel.
Ke-68 benda itu menambah jumlah artefak yang sudah dipulangkan dari “Negeri Oranje” tahun ini. Pada 20 September 2024, pemerintah Indonesia yang diwakili Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid dan pemerintah Belanda yang diwakili Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Eppo Egbert Bruins menandatangani peresmian serah terima 288 benda cagar budaya yang meliputi 284 benda koleksi Puputan Badung, tiga arca Candi Singhasari, dan satu arca Ganesha dari Lereng Semeru.
“(Ke-68) benda-benda ini lebih dari sekadar objek bersejarah; benda-benda itu adalah simbol identitas dan kegigihan dan benda-benda itu adalah perwujudan warisan budaya Indonesia yang kaya. Semoga pengembalian ini mengingatkan kita akan repatriasi kebudayaan yang merupakan tanggungjawab kolektif dan menjadi langkah penting dalam hal rekonsiliasi dengan masa lalu,” ungkap Duta Besar RI untuk Belanda Mayerfas.
Rampasan Berdarah dari Lombok dan Bali Selatan
Ke-68 artefak yang dikembalikan itu adalah benda-benda jarahan pasukan Belanda dalam serangan-serangannya ke Lombok dan Bali Selatan. Menilik dokumen Wereldmuseum yang diterima Historia.ID, dua benda dari Lombok itu adalah patung-patung singa bersayap yang ditengarai dirampas saat penyerbuan ke Puri Cakranegara pada 18 November 1894.
Singa bersayap jadi salah satu makhluk mitologi Hindu-Buddha yang banyak ditemui di berbagai bangunan sakral masyarakat Bali. Dalam mitologi Hindu, singa adalah penjelmaan Dewa Wisnu. Sementara dalam Buddha, singa acap jadi tunggangan Buddha saat duduk di singgasananya sebagai simbol konsistensi, kekuatan, dan kebajikan.
“Wujudnya singa bersayap yang disebut juga ‘Singa Ambara Raja’. Patung singa bersayap untuk keagungan. Patung yang juga difungsikan untuk sendi alas tugeh seperti patung Garuda. Digunakan pula untuk sendi alas pada tiang-tiang struktur atau tiang-tiang jajar,” ungkap I Nyoman Suendi dalam Arsitektur Tradisional Daerah Bali: Selayang Pandang.
Baca juga: Banjir Darah di Puri Smarapura
Kemungkinan besar, dua patung singa bersayap itu jadi rampasan serdadu Belanda ketika menyerbu ke Puri Cakranegara di Mataram, Lombok 130 tahun lampau. Sejak 1839, Pulau Lombok dikuasai para raja Bali-Mataram atau kadang disebut Kerajaan Mataram Karangasem. Rupa-rupa kebudayaan dari Bali pun menyebar di Lombok.
“Pada 1843 pemerintah Hindia Belanda memiliki perjanjian dengan raja-raja Bali-Mataram yang menyebutkan pulau (Lombok) itu merupakan wilayah Hindia Belanda meski pemerintahan lokalnya diserahkan kepada para raja. Kendati begitu, Belanda selalu menaruh curiga dan khawatir mereka beraliansi dengan Inggris karena para raja Bali-Mataram memiliki kapal-kapal uap dan senjata api yang dibeli dari Singapura,” tulis Carsten Stahn dalam Confronting Colonial Objects: Histories, Legalities, and Access to Culture.
Dengan dalih pasifikasi pemberontakan Suku Sasak, ekspedisi militer dikirim Gubernur Jenderal Carel Herman Aart van der Wijck pada 30 Juni 1894. Konfrontasi langsung meletup kala ribuan serdadu tentara kolonial KNIL pimpinan Mayjen Jacobus Augustinus Vetter mulai mendarat di pesisir Lombok pada 5 Juli 1894.
Superioritas persenjataan Belanda membuat mereka dapat menembus kubu-kubu pertahanan pasukan raja-raja Bali-Mataram hingga terjadinya Pengepungan Puri Cakranegara (19 Oktober-17 November 1894). Keesokan harinya, pasukan Belanda menyerbu masuk ke dalam puri dan menewaskan ribuan rakyat serta pasukan Bali-Mataram berikut Raja Anak Agung Ketut.
Seiring operasi-operasi “pembersihan” hingga Desember 1894, serdadu Belanda merampok dekorasi-dekorasi dan beraneka harta kerajaan dari Puri Cakranegara. Sebagian dijual untuk menyantuni keluarga pasukan KNIL yang tewas, sebagian lagi diangkut ke Belanda dan dua di antaranya adalah patung-patung singa bersayap tersebut.
Sementara itu, 66 benda lainnya tercatat berasal dari serbuan berdarah ke Bali Selatan. Tepatnya ke Denpasar dan Tabanan seiring Puputan Badung pada 1906.
Baca juga: Pembantaian di Puri Cakranegara
Menurut dokumen Wereldmuseum, ke-66 benda yang teridentifikasi dari Denpasar dan Badung itu meliputi 1 lembaran emas, 1, gelang emas, 1 helai tirai tempat tidur, 1 kotak sirih, 1 dekorasi pura, 2 pemotong pinang, 2 cincin emas, 2, hiasan sesajen, 3 sisir, 2 sabuk pakaian, 2 helai kemban, 5 hiasan tusuk rambut, 5 mangkuk sesajen, dan 22 helai kain endek. Lainnya merupakan persenjataan, berupa 1 bilah pisau, 2 sarung keris, 2 hiasan tombak, 3 bilah tombak, 4 bilah keris, dan 4 keris lain yang lengkap dengan sarungnya.
Ke-66 benda itu ditengarai dirampas serdadu KNIL dalam serbuannya ke Kesiman, Denpasar, dan Tabanan pada 118 tahun lampau. Gara-garanya Raja Badung I Gusti Ngurah Made Agung, Raja Klungkung Dewa Agung Jambe II, dan Raja Tabanan Cokorda Ngurah Rai menolak tuntutan ganti rugi Belanda pasca-kasus hak tawan karang kapal Sri Kumala yang terdampar di pesisir peratasan Badung-Gianyar pada 27 Mei 1904.
“Alhasil, pada Juni 1906 Belanda memblokade pesisir-pesisir pantai Badung dan Tabanan sementara mereka mengumpulkan pasukan ekspedisi. Pada Ekspedisi Militer ke-6 itu pasukan Belanda dipimpin Jenderal Ross van Tonningen dengan kekuatan tiga batalyon infanteri (KNIL/Tentara Kerajaan Hindia Belanda), satu detasemen kavaleri, dua baterai artileri, serta sokongan angkatan laut yang kuat,” ungkap Willard Anderson Hanna dalam Bali Chronicles: Fascinating People and Events in Balinese History.
Pasukan ekspedisi itu mendarat di Pantai Sanur pada 14 September 1906. Pada 19-20 September, pasukan KNIL menggelar operasinya ke Puri Agung Kesiman, salah satu puri Kerajaan Badung di Desa Kesiman dekat Denpasar yang lebih dulu diserang dengan pemboman meriam dari angkatan laut Belanda. Ketika Puri Agung Kesiman ditinggalkan Pangeran Gusti Ngurah Gede Kesiman, serdadu-serdadu Belanda yang merangsek masuk tidak hanya merampas meriam-meriam era VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) tapi juga sejumlah harta dan dekorasi puri.
Pada 20 September 1906, pasukan Jenderal Tonningen bentrok dengan laskar Badung pimpinan Raja I Gusti Ngurah Made hingga terjadilah Puputan Badung di muka gerbang Puri Agung Denpasar. Selain laskar, sebanyak 18 anggota keluarga raja, para istri, anak-anak dan kerabat lainnya yang juga berpakaian serba putih ikut melawan bersenjatakan keris dan tombak. Pasukan Belanda merespons dengan rentetan tembakan senapan dan meriam.
Sekitar 1.800 jiwa melayang dalam Puputan Badung itu. Rupa-rupa benda jarahan pun dikumpulkan dan diidentifikasi asisten residen Badung, HJEF Schwartz dengan dibantu I Gusti Putu Djelantik dari Buleleng.
Bersamaan dengan harta jarahan lain dari Puri Pemecutan dan Puri Tabanan yang diserbu pada akhir September 1906, benda-benda itu lantas dikirim ke Batavia (kini Jakarta) pada November 1906 dan dikumpulkan lagi di Bataviaasch Genootschap. Berangsur-angsur pada musim panas 1907 ratusan benda rampasan itu diangkut ke Belanda.
Baca juga: Penjarahan Usai Puputan Badung
Tambahkan komentar
Belum ada komentar