Perempuan dalam Dunia Seni Rupa Indonesia
Patriarki, sumber hambatan bagi kemunculan perempuan perupa dan popularitas mereka.
DALAM dunia seni rupa Indonesia, hanya ada sedikit nama perempuan perupa. Budaya patriarki yang memposisikan perempuan di bawah lelaki menjadi penyebab utama dalam upaya pembentukan karier perempuan. Lelaki, yang dianggap sebagai pencari nafkah lebih diutamakan dalam urusan pendidikan dan akses aktualisasi diri. Lebih jauh, hal itu juga menjauhkan perempuan dari akses pada pendidikan dan peralatan seni. Tak heran bila seni rupa Indonesia begitu seret dengan kemunculan perempuan perupa.
Namun seiring dengan perbaikan zaman, perlahan perempuan perupa bermunculan. Setelah Emiria Soenassa sang pionir, beberapa nama baru bermunculan seperti Sriyani, Zaini, Rahmayani, Yaniar Ernawati, Kartika Afandi, dan beberapa perempuan perupa yang tergabung dalam Grup Sembilan: Ratmini Soedjatmoko, Betsy Lucas, Charlotte Panggabean, Timur Bjerknes, Umi Dahlan, dan Roelijati.
Baca juga: Emiria Sunassa, perupa perempuan genius
“Sesudah dibukanya sekolah seni rupa di ITB dan ASRI, nama perupa perempuan makin bermunculan. Salah satunya Umi Dahlan dari mazhab Bandung yang menampilkan karya bergaya abstrak,” kata Toeti Heraty, ketua Dewan Kesenian Jakarta dekade 1980-an, kepada Historia kala ditemui di kediamannya.
Senada dengan Toeti, Astri Wright dalam tulisannya, Indonesia Heritage: Visual Art, juga menilai jumlah perempuan perupa mulai naik pada 1980-an sebagai imbas dari berdirinya institusi pendidikan seni. Banyak perempuan perupa yang telah mendapatkan pendidikan seni, melanjutkan kariernya setelah lulus.
Namun, kemunculan banyak perempuan perupa tak otomatis membuat peran perempuan dalam seni rupa tanah air jadi melonjak. Perempuan dalam seni rupa, kata Astri, merupakan generasi tersembunyi. Karier mereka pun tak selalu gemilang. Kartika Affandi misalnya, pada awalnya khawatir dianggap sebagai epigon ayahnya, pelukis Affandi.
Baca juga: Emiria Sunassa menolak pandangan lelaki lewat lukisan
“Di awal kariernya Kartika pernah mengadakan pameran di TIM, memajang lukisan hitam putih. Sayang sekali tidak ada yang laku. Lalu dia bilang ke saya ndak bisa pulang ke Yogya, akhirnya saya ambil satu lukisannya untuk ditukar dengan tiket ke pulang,” kata Toeti.
Tapi Kartika terus mencoba mengembangkan diri tanpa bayang-bayang sang ayah. Dia berhasil.
Selain Kartika, ada pula Trijoto Abdullah, putri Abdullah Suriosubroto yang juga adik Basoeki Abdullah. Trijoto disebut-sebut sebagai perempuan pematung pertama Indonesia. Mulanya, Trijoto melukis seperti ayah dan kakaknya. Namun ketika belajar dengan Prof. Tierfelder dan Prof. Schoemaker guru besar ITB, dia mulai mendalami seni patung. Sejak itu namanya lebih dikenal sebagai pematung.
Muncul pula nama Ruliyati, yang banyak melukiskan kehidupan rakyat jelata. Setelah itu, nama-nama baru bermunculan, seperti Ida Hajjar, Sri Yunnah, Farida Srihadi, Reni Hoegeng, Ardha, Heyi Ma’mun, Nanik Mirna, Titis Jabaruddin, dan Nunung Ws. Pada dekade terakhir abad XX, Indonesia telah punya lebih dari 100 perempuan perupa.
Baca juga: Lukisan Nyai Roro Kidul koleksi Istana memakan korban
Namun, menurut Agus T. Darmawan dalam tulisannya "Wanita Seni Rupa Indonesia", di Suara Karya 1991, hingga tahun tersebut belum memunculkan nama perempuan perupa yang sepopuler lelaki perupa. Sementara lelaki perupa seperti Affandi atau pematung Edhie Sunarso namanya sudah dikenal dunia internsional, menurut Darmawan dunia seni rupa perempuan Indonesia masih adem-adem saja hingga seolah perempuan dalam seni rupa hadir semata sebagai pelengkap.
“Wanita memang tak nampak menggebu di dunia seni rupa, tapi tetap menunjukkan spirit emansipasi yang tak lekang waktu,” tulis Darmawan. Kemunculan perupa perempuan di samping itu juga secara khas membicarakan keperempuanannya. Mereka memiliki tujuan politis akan identitas diri dan karya dalam medan seni.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar