Omar Rodriga, Aktor Sandiwara di Medan Laga
Pemain sandiwara dan aktor film yang turut dalam kemelut revolusi kemerdekaan. Gugur ketika bertempur di Malang.
Nama Omar Rodriga tak begitu populer dalam sejarah perfilman Indonesia. Ia hidup pada era sandiwara dan generasi awal film Indonesia, sezaman dengan artis kenamaan Fifi Young (1915-1975). Omar juga absen dari sorot kamera semenjak turut dalam perjuangan revolusi kemerdekaan.
Omar Rodriga bernama asli Karel Rodriguez. Ia berasal dari Ambon. Sejak kecil ia mendapat pendidikan layak sehingga fasih berbahasa Belanda dan Inggris. Sebelum Perang Dunia II meletus, Karel muda bergabung dengan rombongan sandiwara Fifi Young’s Pagoda yang dipimpin oleh Njoo Cheong Seng.
“Dalam waktu singkat ia dapat memainkan peran-peran penting, seringkali peran utama didampingi Fifi Young. Ia selalu hidup dalam tiap-tiap peran dari segala macam jenis dan corak peran sebagai pahlawan dan peran sebagai pejahat,” tulis Tanu TRh. dalam Majalah Djaja, 17 Agustus 1963.
Njoo Cheong Seng kemudian memberi nama baru pada Karel: Omar Rodriga. Nama baru ini kemudian menjadi terkenal di dunia sandiwara.
Baca juga: Yang Pertama dalam Sejarah Film dan Bioskop
Pada 1939, Njoo Cheong Seng dan Fifi Young bergabung dengan Oriental Film Company. Mereka memulai debut film dalam Kris Mataram (1940). Film ini ditayangkan perdana pada 29 Juni 1940 di Bioskop Rex, Batavia.
“Kris Mataram merupakan film pertama buat pasangan ini yang dibuat tahun 1940, di mana Fifi Young menjadi pemeran utama, sementara NCS (Njoo Cheong Seng –red.) menduduki posisi sutradara,” tulis Heri Kusuma Tarupay dalam Gagaklodra Makassar, Detektif Nasionalisme Njoo Cheong Seng.
Dalam Kris Mataram, Omar Rodriga didapuk sebagai pemeran utama pria berpasangan dengan Fifi Young. Omar juga kembali dipercaya dalam film-film Njoo berikutnya, seperti Zubaidah (1940) dan Pantjawarna (1941) yang disebut sebagai film musikal Indonesia pertama.
Menurut Taufik Abdullah, Misbach Yusa Biran dan S.M. Ardan dalam Film Indonesia: Bagian I (1900-1950), Omar Rodriga termasuk dalam jajaran artis yang tergabung dalam Sarikat Artist Indonesia (SARI) yang diketuai Ferry Kock. Beberapa tokoh ternama yang juga terlibat dalam SARI antara lain M. Sardi, Roekiah, dan Kartolo (orangtua Rahmat Kartolo), hingga Dewi Mada. SARI merupakan embrio dari Persatuan Artis Film dan Sandiwara Indonesia (Persafi); sejak 1956 hingga kini menjadi Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI).
Aktivitas Omar di dunia sandiwara dan film semakin berkurang sejak Jepang menduduki Indonesia. Omar juga memiliki pengalaman buruk dengan tentara Jepang yang membuatnya membenci segala bentuk penjajahan. Kisahnya terjadi di tahun 1943, kala Omar datang ke hotel Dharma Nirmala (kini menjadi Bina Graha) untuk menemui petugas perihal pemberitahuan akan diadakannya suatu pertunjukan. Namun saat itu petugas yang dicarinya tidak ada di tempat. Seorang kempeitai lalu memanggil Omar dan tiba-tiba memukulnya. Omar juga ditampar dan ditendang.
Baca juga: Jejak Sutradara Kotot Sukardi
“Omar sakit hati dibuatnya, lebih-lebih karena ia tidak merasa telah berbuat kesalahan. Ia menaruh dendam dan bertekad untuk menuntut balas. Kalau tidak dapat kepada yang memukul dan menendangnya, boleh juga kepada orang Jepang manapun. Di matanya tiap orang Jepang pada waktu itu adalah personifikasi daripada kekuasaan fasistis yang menindas rakyat Indonesia,” tulis Tanu TRh.
Suatu malam, Omar betemu seorang serdadu Jepang dalam keadaan mabuk di lokalisasi Gang Sadar, Jakarta. Tak pikir panjang, Omar langsung menyerang serdadu itu dengan sebuah palang pintu. Ia juga sempat menggoreskan pisau di sisi muka serdadu dan membuatnya jatuh terkapar. Beruntung, peristiwa itu tidak menyeret Omar berurusan lebih lanjut dengan militer Jepang.
Pasca-proklamasi, Omar memilih aktif dalam perjuangan bersenjata mempertahankan kemerdekaan ketimbang melanjutkan karier keaktorannya. Pada akhir 1945, Omar telah turut dalam pasukan bersenjata meski masih tergabung dalam sandiwara Pantjawarna.
Omar masih turut dalam rombongan Pantjawarna ketika bermain di Bojonegoro pada 1946. Dari Bojonegoro mereka menggunakan keretaapi menuju Solo. Sebuah kejadian menegangkan lalu menimpa Omar dan rombongan Patjawarna.
Belum lama menjauh dari stasiun, di tengah persawahan keretaapi mereka dihentikan oleh pasukan Republik. Gerbongpun diperiksa. Omar dan sejumlah artis seperti Basuki Djailani, A.R. Tantos, Corry de Jong hingga Mippi Maringga diperintahkan turun. Mereka kemudian digiring dan ditahan di sebuah rumah tua oleh pasukan Bambu Runcing.
“Sangkaan yang dijatuhkan kepada mereka: mata-mata Nica. Yang paling disangka justru Omar,” tulis Tanu.
Beruntung, beberapa orang kemudian mengenal mereka. Salah satu dari mereka ternyata adalah aktor S. Poniman. Akhirnya merekapun dibebaskan dan melanjutkan perjalanan ke Solo.
Baca juga: Riwayat Tan Sing Hwat
Setelah secara resmi bergabung dengan Polisi Tentara (PT), tampaknya Omar melepaskan kegiatan-kegiatannya di dunia sandiwara. Omar pernah ditugaskan menyusup ke Jakarta yang tengah dikuasai NICA. Omarpun diburu NICA karena informasi bocor sehingga ia harus menyamar sebagai anggota Palang Merah Internasional.
Ketika Pantjawarna hendak mengadakan pertunjukan di Magelang pada 1947, Omar menyempatkan untuk berkunjung. Omar pun diminta untuk turut bermain dan menyanggupi karena kawan-kawannya berharap dia bisa bermain sandiwara untuk terakhir kalinya. Omar bermain dengan ciamik. Penampilan itu menjadi klimaks dari karier kesandirawaan Omar.
“Empat hari kemudian, kami menerima kabar bahwa ia gugur dalam pertempuran terhadap tentara Belanda di Kepanjen, Malang,” kata Djamaluddin Malik kepada Tanu.
Omar disebut mengepalai satuan yang menyerbu Kepanjen. Karena terhimpit, Omar nekat masuk ke dalam gudang mesiu musuh dan meledakkannya. Omar tewas dalam peristiwa itu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar