Mengenal Pak Dal, Pencipta Lagu Bintang Kecil
Pak Dal, pencipta lagu anak-anak segenerasi dengan Ibu Sud dan Pak Kasur. Menyisipkan lagu Indonesia di radio Jepang.
Malam kian larut. Seorang lelaki menuju kamar mandi rumahnya. Dari celah-celah genting, dia melihat bintang-gemintang berpendar di langit. Satu bintang menarik perhatiannya. Sinarnya lebih cerlang daripada lainnya. Keluar dari kamar mandi, dia mengambil alat tulis dan kertas. Dia menuliskan sesuatu sembari bersenandung. Sebuah lagu tercipta.
Bintang kecil di langit yang tinggi
Amat banyak menghias angkasa
Aku ingin terbang dan menari
Jauh tinggi ke tempat kau berada
Lagu tadi berjudul “Bintang Kecil”. Liriknya asyik, nadanya sederhana, dan pesannya kuat. “Lagu yang menceritakan tentang keindahan alam semesta dan keagungan Tuhan dan sebagai fantasi anak terhadap dunia dan cita-cita masa depan,” kata Mbah Wiro Kribo, pemerhati musik dari Solo, Jawa Tengah.
Lagu “Bintang Kecil” sangat populer. Semua orang pasti pernah tahu dan menyanyikannya semasa kecil. Tapi mungkin tak banyak orang tahu tentang pencipta lagunya, Raden Gerardus Joseph Daldjono Hadisudibjo atau akrab dengan panggilan Pak Dal.
Memperkenalkan Not Balok
Pak Dal termasuk pendidik sekaligus pencipta lagu anak-anak segenerasi dengan Ibu Sud dan Pak Kasur. Mereka sama-sama produktif dan mencurahkan hampir seluruh hidupnya untuk kebaikan pertumbuhan anak-anak. Tapi tak seperti dua rekannya, nama Pak Dal relatif kurang bergaung di telinga banyak orang.
Pak Dal lahir di Playen, tak jauh dari Gunung Kidul Yogyakarta, pada 11 Juli 1909. Itu menurut K. Usman dalam Komponis Indonesia yang Kita Kenal. Sedangkan menurut catatan wikipedia, lahirnya di Surakarta pada 21 Januari 1912.
Baca juga: Ibu Sud Bahagiakan Anak Indonesia
Pak Dal menempuh pendidikan keguruan (Kweekschool setingkat SMA) di Muntilan, Jawa Tengah pada 1928. Di sini pula dia mempelajari musik melalui kelompok koor di gerejanya. Dia tampil sebagai soloist, kemudian berminat pada biola. Gurunya bernama Pater J. Awiek S.J. Berkat dorongan gurunya, Pak Dal terus mengakrabi dunia musik.
Selepas lulus dari Kweekschool Muntilan, Pak Dal mengajar musik di tiga sekolah dasar. Cara mengajarnya sangat berterima di benak anak-anak. Dia memperkenalkan not balok kepada mereka dengan cara yang mudah dicerna.
Kegiatan mengajar di sekolah mempertemukan Pak Dal dengan Siti Purnami. Keduanya menikah pada 1933. Kelak anak mereka, A. Riyanto, menjadi salah satu komponis mumpuni di Indonesia.
Mengisi Radio
Ketika Jepang menjajah Indonesia, Pak Dal mendapat kerja tambahan sebagai pengisi radio dalam sesi siaran musik. Kebijakan Jepang membolehkan penggunaan bahasa Indonesia mendorong Pak Dal menciptakan lagu berbahasa Indonesia untuk acaranya. "Ia menciptakan lagu anak-anak untuk siaran radio di Solo, Yogyakarta, dan Jakarta," kata A. Riyanto dikutip K. Usman dalam Komponis Indonesia Yang Kita Kenal.
K. Usman menyebut Pak Dal sebagai perintis-penyiaran lagu-lagu Indonesia di radio zaman Jepang. Sementara itu, Kompas, 2 Oktober 1972, menulis, “Dalam siaran lagu-lagu, Pak Dal sering menyelipkan lagu-lagu Indonesia di antara lagu-lagu Jepang.” Tapi seiring melemahnya kekuatan Jepang, Pak Dal sedikit demi sedikit menghilangkan lagu-lagu berbahasa Jepang. Seluruh acaranya berisi lagu-lagu berbahasa Indonesia.
Baca juga: Liku-Liku Hidup Ibu Sud
Pak Dal terhitung sangat produktif menciptakan lagu semasa penjajahan Jepang. Pernah dia bisa sampai menciptakan enam lagu dalam sehari. Apa rahasianya?
“Yah, memang demikian. Setiap komponis atau seniman, pasti pernah mengalami masa subur. Dalam masa subur ini, segala sesuatu yang tertangkap indra, ingin cepat-cepat saya curahkan dalam susunan nada,” terang Pak Dal.
Di sisi lain, Pak Dal juga merasa dalam masa subur itu kadangkala terburu-buru menciptakan lagu. Sekadar mengisi kekosongan siaran lagu-lagu berbahasa Indonesia. Lagu itu bukan dari inspirasi yang mendalam sehingga hasilnya kurang baik. “Transpirasi (cucuran keringat) saja,” ungkap Pak Dal.
Baca juga: Lagu Sepeda dan Pak Kasur
Ini menjadi tekanan bagi Pak Dal. Karena itu, dia belajar menahan diri sembari terus memperbaiki lagu-lagu ciptaannya pada kemudian hari. Cara ini terbukti jitu.
Pak Dal menciptakan lagu “Bintang Kecil” dengan sempurna. “Memperlihatkan kekuatan Pak Dal dalam penguasaan konsep penciptaan lagu anak-anak,” catat Karsono dalam “Nyanyian Melintas Zaman: Kajian Musikalitas Lagu Anak-anak dalam Dunia Pendidikan di Indonesia” termuat di jurnal Kumara Cendekia, Volume 2, Nomor 2 Tahun 2014.
Hubungan dengan Murid
Pak Dal tak lelah untuk belajar. Meski sudah menciptakan “Bintang Kecil” dengan sempurna, dia masih memperdalam teori musik demi penyempurnaan lagu anak-anak. Dia melakukannya seraya mengajar siswa-siswi Sekolah Pendidikan Guru (SPG) –setingkat SMA– di Yogyakarta.
Dalam pandangan Pak Dal, SPG paling berperan dalam mempopulerkan lagu anak-anak. Karena itu, dia mempersiapkan siswa-siswi SPG dengan matang. Kelak mereka akan bersentuhan langsung dengan anak-anak dan membawakan lagu anak-anak ciptaannya sendiri.
Seperti saat mengajar di sekolah dasar, Pak Dal memperoleh tempat istimewa di kalangan siswa-siswi SPG. “Enak cara mengajarnya,” ungkap seorang mantan anak didik Pak Dal kepada Kompas. Dia mengisahkan Pak Dal kerap membawa gambang kecil ke kelas untuk melatih siswa-siswinya agar lebih teliti mengenal nada. Ini membentuk ikatan erat antara mereka.
Hasilnya, hubungan Pak Dal dengan siswa-siswinya tak terputus setelah mereka berpisah. Banyak siswa-siswinya mengunjunginya untuk meminta saran dan nasihat dalam mendidik anak-anak. Tak jarang, mereka juga meminta diktat lagu-lagu ciptaan Pak Dal. “Saya jilid sendiri, saya kumpulkan sendiri, dan saya kasihkan,” kata Pak Dal.
Diktat itu berisi lebih dari seratusan lagu ciptaan Pak Dal sejak zaman Jepang. “Lagu-lagunya selalu berisi pendidikan,” tulis Tempo, 29 Oktober 1977. Sebut saja lagu “Berlabuh”, “Peramah”, dan “Sopan”.
Kepada siswa-siswinya, Pak Dal selalu mengingatkan jurus utama menciptakan lagu anak-anak. “Sederhana, lincah, dan gembira,” ujar Pak Dal.
Praktik, Praktik, dan Praktik
Meski belajar teori musik secara mendalam, Pak Dal mengkritik keras sistem pendidikan yang menekankan teori. Pendidikan harus ada praktiknya. Dia mendorong siswa-siswinya untuk berani menciptakan sendiri lagu anak-anak sebagai bagian dari praktik sebelum mereka mengajar di sekolah dasar.
Selama siswa-siswinya belum bisa menciptakan lagu anak-anak, Pak Dal mengizinkan mereka menggunakan lagu dirinya dan orang lain. Tapi siswa-siswinya sering bingung. Sebab tak banyak lagu anak-anak yang berkualitas baik.
Baca juga: Lima Dekade Lagu Anak-anak Indonesia
Pak Dal membantahnya. Lagu anak-anak yang berkualitas baik itu banyak. Tapi mereka jarang muncul di TV ataupun radio. Keduanya lebih suka memutar lagu anak-anak bercita rasa pop. Sebab lagu itulah yang menguntungkan buat mereka. Ini berakibat pada pilihan hidup para komponis. Mereka terpaksa ikut arus dengan menciptakan lagu anak-anak bercita rasa pop. Seperti itulah lingkaran setan penciptaan lagu anak-anak pada 1970-an.
Di tengah gempuran lagu anak-anak bercita rasa pop, Pak Dal wafat di Yogyakarta pada 15 Oktober 1977. Setelah itu, nama Pak Dal mulai dilupakan walau karyanya tetap bergaung. Dia sempat bercerita dukanya menjadi komponis. Anak-anak mengingat lagu dan namanya, tapi para orangtua lupa menatapnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar