Lagu Sepeda dan Pak Kasur
Bersepeda menginspirasi Pak Kasur membuat lagu sarat muatan pendidikan. Hidupnya untuk kebaikan pertumbuhan anak-anak.
Tren bersepeda di Jakarta tumbuh pesat sepanjang masa Pembatasan Sosial Berskala Besar Transisi, Juni 2020. Institute for Transportation and Development Policy melaporkan peningkatan jumlah pesepeda di jalan utama Jakarta. Di luar jalan utama, pesepeda juga terlihat lebih banyak daripada masa sebelumnya. Jakarta serasa menjadi kota pesepeda.
Tahukah anda seorang pendidik pernah mengolah kekariban orang dengan sepeda menjadi lagu anak-anak yang sarat muatan pendidikan? Lagu itu sangat terkenal. Judulnya “Kring Kring Ada Sepeda”. Dibuat oleh Surjono alias Pak Kasur pada 1950-an, lagu itu mengungkap keriangan anak-anak memperoleh sepeda sebagai hadiah setelah rajin belajar.
Pak Kasur kesohor piawai dalam mengolah keseharian dan kesukaan anak-anak menjadi lagu yang sarat muatan pendidikan. Dia menggunakan lagu-lagu ciptaannya sebagai pengiring anak-anak untuk belajar di Taman Kanak-Kanak (TK) asuhannya. TK Pak Kasur bermotto “bermain sambil belajar”. Ini berkembang menjadi metode dalam mendidik anak-anak. Metode itu lestari sampai sekarang dan diterapkan di banyak TK.
“Lagu anak adalah cara untuk menyampaikan ilmu atau pelajaran dengan cara yang menyenangkan. Karena caranya menyenangkan, anak-anak mudah menerima pembelajaran. Sejatinya anak usia TK bermain sambil belajar,” kata Elza Dwi Yulia (26), guru TK Cendekia, Depok, Jawa Barat, mengakui keampuhan metode Pak Kasur. Dia sendiri menggunakan metode itu di TK-nya.
Tak Sengaja
Kepiawaian Pak Kasur dalam mengembangkan metode pendidikan anak-anak tertempa oleh pengalaman hidupnya. Pak Kasur lahir dengan nama Surjono di Serayu, Jawa Tengah, pada 26 Juli 1912. Dia mulai bersentuhan dengan dunia pendidikan anak-anak sejak lulus MULO (Meer Uitgebreid Laager Onderwijs, setara SMP) pada 1930-an.
Persentuhan Surjono dengan dunia anak-anak terjadi secara tak sengaja. Setamat dari MULO, dia ingin bekerja sebagai pegawai kantoran. Masa itu ijazah MULO sudah cukup buat melamar kerja kantoran. Tapi resesi ekonomi menerpa Hindia Belanda. Kantor-kantor merumahkan atau memotong gaji pegawainya. Perekrutan pegawai baru tertunda. Rencana Surjono pun berantakan.
Dalam situasi sulit, tawaran mengejutkan untuk Surjono datang dari gurunya. “Ada seorang guru yang meminta Pak Kasur untuk membantu mengajar di HIS (Hollandsch Inlandsche School, setara SD, red.) Arjuna School, Bantul, Yogyakarta,” catat Kompas, 28 Juli 1992.
Surjono menyabet tawaran itu. Cara mengajarnya memikat kalangan murid dan rekan guru lainnya. Guru senior bahkan menyarankannya melanjutkan pendidikan ke sekolah guru HIK (Hollandsch Inlandsche Kweekschool) di Gunungsari, Bandung.
Surjono menamatkan pendidikan HIK pada 1937. Dia kemudian menjadi guru di Bandung dan punya banyak kawan. Menurut H. Kadar dalam Pak Kasur dengan Taman Kanak-Kanaknya, Surjono punya sifat riang dan supel. Tapi teman-temannya memanfaatkan keriangan dan kesupelannya. Mereka enteng saja mengejek namanya.
“Mereka memanggil dia ‘Susur’, ‘Susur’, ‘Susur’. Tapi Surjono tidak marah. Malah turut ketawa-ketawa,” catat Minggu Pagi, 30 Januari 1955. Dari sinilah dia mulai menamakan dirinya ‘Kasur’.
Sifat supel Surjono ditopang kemampuan berbahasa dan minat belajar yang luas. Dia fasih berbahasa Belanda, Jawa, dan Melayu. Minat belajarnya mencakup pedalangan, sandiwara, tari, olahraga, sampai musik. Segala pengetahuannya tentang seni dan olahraga menjadi modal praktik mendidik anak-anak.
Keluarga Kamar Tidur
Selama di Bandung, Kasur membuka TK. Dia mengumpulkan anak-anak usia 3–6 tahun saban sore. “Anak-anak itu diberinya pelajaran nyanyi yang digubahnya. Nyanyian-nyanyian itu sangat sederhana dan mengandung pendidikan,” catat Minggu Pagi. Tema lagu dan liriknya berangkat dari hal-hal sederhana yang dekat dengan keseharian anak-anak.
Kasur juga mengisi siaran khusus untuk anak-anak di radio NIROM (Nederlandsch-Indische Radio Omroep) dan VORL (Vereniging Oostersche Radio Lustraas). Melalui dua radio itu, nama Kasur mulai tersebar luas. “Para pendengar NIROM dulu tahu dan kenal itu. Nama Kasur sudah begitu terkenalnya,” ungkap Minggu Pagi.
Baca juga: Lima Dekade Lagu Anak-anak Indonesia
Kasur pindah ke Yogyakarta untuk menikah dengan Sandiah, kelak menjadi Bu Kasur, pada Juli 1946. Keadaan saat itu cukup pelik. Belanda berupaya menduduki Indonesia kembali. Sebagai pelepas ketegangan, dia mengaku pernah memanggil istrinya dengan sebutan “Bu Guling” dan menyapa anaknya sendiri dengan “Bantal”. Kasur, Guling, dan Bantal. Semua merujuk pada peralatan di kamar tidur. Saling melengkapi untuk membuat tidur orang lebih nyenyak.
Kasur dan istrinya ikut berjuang mempertahankan kedaulatan Indonesia dari serangan tentara Belanda. Kasur masuk badan perjuangan, sedangkan Sandiah bergabung ke Palang Merah sebagai relawan.
Perjanjian Renville memaksa pejuang Republik hengkang dari beberapa wilayah Republik. Yang paling terkenal adalah hengkangnya pasukan Siliwangi dari Jawa Barat menuju Yogyakarta. Mental sebagian besar pasukan sempat turun. Mereka tak percaya harus mengikuti isi perjanjian itu. Tapi Kasur membuat suasana jadi lebih terang.
Baca juga: Ibu Sud Bahagiakan Anak Indonesia
Kasur mengubah lirik lagu “Lili Marleen” untuk menyemangati para pejuang Republik di garis depan. “Lili Marleen” merupakan lagu favorit tentara Jerman dan Inggris pada Perang Dunia II. Di tangan Kasur, liriknya berganti sebagai berikut:
Oh beginilah nasibnya soldadu
Diosol-osol dan diadu-adu
Tapi itu tidak apa asal untuk negri kita
Naik dan turun gunung hijrah pun tak bingung
Ismi Nur Solikhati, lulusan Program Studi Sejarah Universitas Indonesia yang pernah meneliti peranan Pak Kasur, mengatakan lagu itu menambah daya juang pasukan Siliwangi. “Bagi pasukan Siliwangi ada kekuatan tersendiri yang menunjukkan semangat mereka tetap ada,” kata Ismi kepada Historia.
Lagu “Lili Mauren” ala Kasur populer bukan hanya di kalangan pejuang Republik di garis depan, tapi juga sampai ke anak-anak. Nana Nurliana (82), pensiunan pengajar di universitas negeri, mengingat jelas masa kecilnya di Yogyakarta dan tumbuh bersama lagu “Lili Mauren”. Menurutnya, lagu itu makin membuat nama Kasur terkenal. Sejak itulah sapaan “Pak” bersanding dengan nama Kasur.
Menghapus Rendah Diri
Pak Kasur tinggal di Jakarta sejak awal 1950-an. Dia bekerja sebagai penyiar RRI. Di sini dia mengisi siaran khusus untuk anak-anak setiap Selasa dan Jumat pada pukul 17.00 WIB. Salam pembukanya khas. Diambil dari potongan lirik lagu ciptaannya, “Selamat Sore Bu, Selamat Sore Pak”.
Dalam setiap siarannya, Pak Kasur menyertakan anak-anak ke studio bersama orangtuanya. “Programanya diisi oleh sejumlah bocah-bocah yang tidak terbatas,” tulis Aneka, 10 Desember 1953. Dia mendorong anak-anak itu agar berani menyanyi. Jika itu terjadi, berarti dia telah berhasil menyentuh anak-anak.
Baca juga: Liku-Liku Hidup Ibu Sud
“Yang saya pentingkan bukan show-nya, tapi menanam keberanian dalam hati anak-anak yang saya asuh,” kata Pak Kasur dalam Minggu Pagi. Lewat caranya itu, dia berusaha menghapus rasa rendah diri pada anak-anak.
Pak Kasur mengembangkan pendidikan di TK-nya berdasarkan pada spontanitas, keberanian, dan hasrat anak-anak. Dia percaya pada kemampuan anak-anak sehingga membiarkan mereka berperilaku selaiknya anak-anak. Dia tidak pernah secara langsung menyuruh anak-anak untuk bertindak ini-itu. Kalaupun harus menyuruh, dia menuangkannya dalam lagu. Seperti lagu “Bangun Tidur” berikut ini.
Bangun tidur ku terus mandi
Tidak lupa menggosok gigi.
Habis mandi kutolong Ibu
Membersihkan Tempat Tidurku
Pak Kasur sadar kehadirannya sebatas untuk mendorong anak-anak bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur yang berlaku secara umum di Indonesia. Pernah dia sengaja memberikan permen lebih sedikit daripada jumlah anak-anak. Beberapa anak tak kebagian. Anak lainnya mengetahui dan berkata kepada Pak Kasur, “Saya kasih punya saya satu, boleh, Pak?” Itulah anak-anak hasil pendidikan Pak Kasur.
Pak Kasur menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk kebaikan pertumbuhan anak-anak. Dia telah menciptakan banyak lagu dan teladan bagi anak-anak. Dia pergi dari dunia yang dicintainya pada 26 Juli 1992. Tapi karya dan amalnya tetap tinggal dari generasi ke generasi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar