Menemukan Wong Osing
Proses pencarian identitas etnis dan kultural. Membawa kepentingan politik dan komodifikasi wisata.
PEMANDANGAN tak biasa akan Anda jumpai ketika mendarat di Bandar Udara Internasional Banyuwangi. Tak seperti bandara lainnya di Indonesia, terminal di bandara Banyuwangi mengusung konsep hijau dan ramah lingkungan –yang pertama di Indonesia.
Terminal bandara mengedepankan konsep rumah tropis dengan penghawaan dan pencahayaan alami. Semilir angin dan sinar matahari masuk lewat kisi-kisinya yang terbuat dari kayu ulin bekas. Desain interior yang minim sekat juga memperlancar sirkulasi. Selain itu, kolam-kolam ikan di setiap sudut terminal membuat suasana lebih nyaman dan sejuk.
Sementara di atap gedung terminal terhampar rerumputan hijau nan luas. Ventilasinya dihiasi tanaman menjuntai. Menariknya lagi, ia mengadopsi konsep atap rumah Osing atau ada yang menuliskannya Using, suku asli Banyuwangi. Terdapat dua atap dengan arah berlawanan, yang menandakan keberangkatan dan kedatangan. Lalu terdapat pula killing, kincir angin khas Osing, di depan bandara.
Banyuwangi memang membuat banyak perubahan. Citranya kian mentereng. Jika dulu hanya dikenal sebagai kota singgah sebelum bertolak ke Bali, kini menjadi kota incaran para pelancong. Salah satunya karena puluhan festival yang menghadirkan ragam budaya, seni, dan tradisi di Banyuwangi yang multikultural.
Banyuwangi sejak masa lalu memang dihuni beragam etnis. Sebagaimana daerah pesisir, Banyuwangi mendapat pengaruh kebudayaan dari para pendatang yang kemudian menetap di sini. Namun Suku Osing, yang diyakini sebagai pewaris kultural Blambangan masa lalu, merupakan aktor penting dalam membentuk identitas Banyuwangi masa kini.
“Peneguhan identitas Osing tak bisa tak dipengaruhi oleh politik kebudayaan Orde Baru awal 1970-an, berkaitan dengan revitalisasi tradisi dan kebudayaan lokal,” ujar Wiwin Indiarti, pengajar PGRI Banyuwangi, kepada Historia.
Identitas yang Samar
Suku Osing menempati beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi bagian tengah dan utara. Terutama di Kecamatan Banyuwangi, Rogojampi, Sempu, Glagah Singojuruh, Giri, Kalipuro, dan Songgon. Ia memiliki bahasa sendiri, yakni bahasa Osing.
Namun, sebelum abad ke-20, Osing adalah identitas yang samar. Bahkan Osing sebagai identitas etnis tak pernah dipakai untuk menyebut masyarakat “asli” di wilayah ujung timur Jawa ini.
Dalam manuskripnya yang terbit tahun 1849, Franz Epp, dokter berkebangsaan Jerman yang pernah bertugas di Banyuwangi, menyebut penduduk asli sebagai “orang Jawa” dan sebutan lainnya, yakni Blambangers (orang Blambangan). Begitu pula dalam hal bahasa.
Hal itu dicatat Tjandranagara, seorang bangsawan yang juga penulis kisah perjalanan, yang mengunjungi daerah Banyuwangi pada 1860-an. Dia menulis bahwa penduduk setempat berbahasa Jawa walaupun dengan cara desa. Sementara lebih dari tiga dekade kemudian, ahli bahasa HN van der Tuuk memasukkan kekhasan bahasa itu yang disebutnya sebagai “dialek Banyuwangi” serta “Balambangansch Javaansch”.
Baca juga: Mencari Jejak Kejayaan Blambangan
Istilah Osing untuk menyebut bahasa di Banyuwangi dan penuturnya kali pertama muncul dalam tulisan C. Lekkerkerker berjudul “Balambangan” yang terbit di De Indische Gids tahun 1923. Dia memberi deskripsi mengenai mereka yang disebut “orang Using” (Oesingers). Lekkerkerker juga mencatat bahwa “kepribadian, bahasa, dan adat orang Using berbeda dari orang Jawa lainnya”.
Kendat demikian, “Pada zaman itu, kelompok ini dianggap –dan kemungkinan besar menganggap dirinya– orang Jawa,” tulis Bernard Arps dalam “Terwujudnya Bahasa Using di Banyuwangi dan Peranan Media Elektronik di Dalamnya (Selayang Pandang, 1970-2009)” pada buku Geliat Bahasa Selaras Zaman.
“Sampai kira-kira tahun 1970 mereka masih lazim digolongkan sebagai orang Jawa, dan sekarang pun kategorisasi ini masih terdengar, terutama di lingkungan pedesaan.”
Istilah Osing untuk penduduk “asli” Banyuwangi dibuat oleh para imigran dari Jawa Tengah, Madura, Bali, Bugis dan Mandar. Mereka didatangkan Belanda untuk bekerja di perkebunan-perkebunan. Kata “osing” sendiri dalam bahasa Osing berarti “tidak”; merujuk pada keengganan mereka dikaitkan dengan orang Jawa atau Bali.
Baca juga: Blambangan dan Kuasa di Ujung Timur Jawa
Orang-orang Banyuwangi sendiri saat itu lebih suka disebut Wong Wetanan (orang timur) sementara para pendatang disebut Wong Kulonan (orang barat) –sebutan yang masih dipakai hingga kini.
“Hal ini mengindikasikan bahwa istilah Osing pada mulanya merupakan cemoohan atau olok-olok, sebentuk diskriminasi terhadap kelompok lain yang dikonstruksi sebagai liyan (bukan bagian dari kelompok),” tulis Wiwin Indiarti dalam “Wong Osing: Jejak Mula Identitas dalam Sengkarut Makna dan Kuasa” di laman Matatimoer Institute.
Pada 1970-an, seiring kebijakan politik budaya Orde Baru untuk merevitalisasi tradisi sebagai counter terhadap westernisasi budaya dan kampanye antikomunis, ada upaya menemukan identitas lokal di Banyuwangi. Pencarian dimulai dari aspek bahasa. Dimulai dari penerbitan buku Selayang Pandang Blambangan tahun 1976.
“Pada era itu aktor-aktornya adalah seniman atau budayawan yang notabene pegawai pemerintah,” ujar Wiwin Indiarti.
Salah satu yang memainkan peranan kunci adalah Hasan Ali, yang kala itu menjabat kepala bagian Kesra Kabupaten Banyuwangi. Dia bertanggungjawab atas bab bahasa dalam buku Selayang Pandang Blambangan, yang meneguhkan bahasa Osing sebagai bahasa tersendiri dan bukan bagian dari dialek bahasa Jawa.
Baca juga: Blambangan Tak Lagi Antah Berantah
Argumentasi Hasan Ali diperkuat disertasi Suparman Herusantoso di Universitas Indonesia tahun 1987 berjudul Bahasa Using di Banyuwangi. Disertasi itu menyimpulkan, berdasarkan perbandingan kosakata, bahasa Osing dan Jawa sejajar secara genealogis bahasa. Keduanya merupakan perkembangan dari bahasa Jawa Kuno. Artinya, bahasa Osing memiliki status sama dengan bahasa Jawa.
Keberadaan bahasa Osing diteguhkan dengan terbitnya Tata Bahasa Baku Bahasa Using (1997) dan Kamus Bahasa Using (2002). Lalu, mendapat legitimasi dengan terbitnya Perda Kabupaten Banyuwangi No. 5 tahun 2007 mengenai pembelajaran bahasa daerah pada jenjang pendidikan dasar yang “mengakomodasi bahasa Osing sebagai bahasa utama”.
“Perubahan ini adalah hasil sebuah proses politik yang mengambil waktu beberapa dasawarsa. Bagi orang dan lembaga yang memprakarsai dan memotorinya, proses ini boleh disebut sebuah perjuangan,” tulis Bernard Arp dalam “Terwujudnya Bahasa Using di Banyuwangi dan Peranan Media Elektronik di Dalamnya” pada buku Geliat Bahasa Selaras Zaman.
Menguatkan Identitas
Selain bahasa, peneguhan identitas Osing menyentuh aspek kultural lainnya. Dari seni, tradisi, ritual, hingga pakaian adat. Hal ini bukan tanpa alasan. Masyarakat Osing memiliki kekayaan seni budaya dan tradisi.
“Mereka benar-benar memberdayakan bahasa Using dalam kehidupan sehari-hari. Banyak sekali karya seni baik berupa puisi, mantra, macapat, atau lagu yang ditulis dengan menggunakan bahasa Using sehingga menimbulkan kesan tertentu yang sangat kuat. Karya seni ini semakin mempertebal rasa cinta mereka terhadap identitas kedaerahannya,” tulis Arif Izzak dkk dalam Pesona Jawa Timur.
Baca juga: Kuda Lumping Gaya Banyuwangi
Pada 1970-an, banyak seniman Banyuwangi mulai berani menciptakan dan merekam lagu-lagu berbahasa Osing. Sejumlah kesenian tradisional seperti gandrung pun digiatkan dan direvitalisasi. Stigma kiri yang pernah menerpa kesenian Banyuwangi perlahan luntur.
Identitas Osing menemukan momentumnya ketika Samsul Hadi, bupati Banyuwangi (2000-2005). mengeluarkan kebijakan Banyuwangi Jenggirat Tangi alias “kebangkitan Banyuwangi”. Dari istilahnya saja ini bernuansa Osing-sentris. Salah satunya diwujudkan dengan penetapan gandrung, kesenian khas Osing, sebagai maskot pariwisata. Maka dimulailah secara masif pembangunan patung gandrung di sudut-sudut kota dan berbagai titik utama di Banyuwangi.
Hal itu berlanjut pada era Bupati Abdullah Azwar Anas yang menjadikan kesenian gandrung sebagai proyek komodifikasi budaya dalam bentuk pentas kolosal bertajuk Gandrung Sewu. Anas juga mengubah citra Banyuwangi menjadi daerah destinasi wisata berjuluk The Sunrise of Java. Hal ini didukung oleh pesona bentang alam, seni, dan tradisi lokal di wilayah ini.
Baca juga: Buto Menari di Banyuwangi
Keindahan alam dan budaya juga dihadirkan dalam event tahunan Banyuwangi Festival sejak 2012. Pada event itu banyak ritual dan kesenian Osing dihadirkan. Identitas Osing makin kental dengan banyaknya pembangunan, dari bandara hingga pabrik kereta api, yang mengusung arsitektur ala Osing.
“Era otonomi daerah pascareformasi adalah semacam perayaan bagi identitas Osing,” ujar Wiwin Indiarti.
Tertarik untuk melihat lebih banyak kekhasan seni dan budaya Osing di Banyuwangi? Semoga Anda tak menjawab “tidak”.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar