Kisah Tanah Kuno Leluhur Barus
Lobu Tua pernah dihuni oleh orang-orang dari Timur Dekat yang meninggalkan banyak artefak di sana.
BERTEMPAT di antara dua muara kuno, Aek Busuk dan Aek Maco, Lobu Tua mendiami daerah pesisir di kawasan pantai barat pulau Sumatera. Keberadaannya amat penting dalam mengungkap jaringan laut internasional abad ke-6 hingga ke-11 di Nusantara.
Para peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional Indonesia, bekerja sama dengan École française d’Extrême-Orient tahun 1995-2000, telah membuka kurang lebih lahan seluas 1000 m² di situs Lobu Tua. Mereka pernah menemukan ribuan benda kuno, seperti perhiasan, emas, mata uang, prasasti, keramik, kaca, tembikar, dan lain sebagainya.
“Dari jumlah pecahan, artefak kaca merupakan salah satu jenis temuan yang paling banyak di Lobu Tua. Jumlah seluruh temuan kaca mendekati seribu buah,” tulis Calude Guillot dan Sonny Ch. Wibisono dalam “Temuan Kaca di Lobu Tua: Tinjauan Awal” dimuat Lobu Tua Sejarah Awal Barus.
Baca juga: Jejak Peradaban Barus
Dahulu Lobu Tua adalah sebuah kota berbenteng yang memiliki luas area dalam sekitar 14 hektar. Dengan 7,5 hektar di antaranya digunakan sebagai tempat bermukim. Sementara sisanya digunakan untuk parit dan dinding yang menjadi pertahanan kota.
Benteng pertahanan Lobu Tua di masa lalu membentang hingga ke tebing di bibir pantai. Namun sebagian besar dindingnya telah hilang, terkikis oleh mata air di sekitar kota maupun longsor di sekitar tebing. Kini hanya tersisa jejak-jejak fondasi benteng yang pernah membelah kota menjadi dua bagian.
“Sistem pertahanan sejenis ini sering ditemukan di dunia Melayu barat, khususnya di Sumatera dan di Semenanjung Melayu. Sebaliknya, ciri ini jarang sekali ditemukan di Jawa, kecuali Banten Girang,” tulis Claude Guillot dalam Barus Seribu Tahun yang Lalu.
Hasil penggalian di sana menunjukkan bahwa pemukiman masyarakat Barus tidak hanya terbatas di dalam benteng saja. Mereka menemukan sisa-sisa pemukiman di luar benteng dalam bentuk yang lebih kecil.
Diperkirakan kawasan luar benteng itu dihuni oleh para pedagang yang tinggal sementara di wilayah Barus. Namun tidak menutup kemungkinan digunakan oleh masyarakat pedesaan dengan status sosial lebih rendah, ataupun buangan dari dalam benteng. Sehingga jika ditotal, keseluruhan wilayah kota kuno Lobu Tua mencapai 200 hektar. Meliputi pusat pemukiman di dalam benteng hingga desa-desa kecil di sekitar muara Aek Busuk dan Aek Maco.
Wilayah kota, baik di dalam maupun di luar benteng, dipenuhi oleh bangunan kayu beratap daun yang menjadi ciri khas rumah-rumah di Melayu pada waktu itu. Di Lobu Tua tidak ada satupun rumah yang dibuat dari bahan permanen (batu bata, semen, atau beton), kecuali satu bangunan yang digunakan sebagai tempat beribadah.
Keberadaan tempat ibadah itu memperkuat kedudukan para pedagang Tamil di Barus. Menurut laporan pemerintah Hindia Belanda di Barus, pada abad ke-19 ditemukan prasasti Tamil dan arca dari granit yang digambarkan sebagai Bodhisatwa. Saat ditemukan pertama kali, keadaan bangunan itu telah hancur, tetapi arca dan prasastinya masih dalam kondisi yang cukup baik.
“Jika hipotesis kami benar, kecuali tempat ibadat yang kecil, maka semua bangunan lain terbuat dari bahan-bahan organik,” tulis Claude.
Selain struktur pemukiman, Lobu Tua juga meninggalkan jejak pelayaran yang amat penting. Di sekitar Aek Busuk dan Aek Maco ditemukan bekas kanal yang langsung mengarah ke laut. Karena dahulu letaknya tidak di pinggir pantai seperti sekarang, Lobu Tua memiliki akses berlabuh bagi kapal-kapal dagang di sepanjang kanalnya tersebut.
Walau tidak diperuntukan bagi kapal besar, tetapi akses kanal daerah itu cukup untuk menjadikan Lobu Tua sebagai pusat peradaban Barus di jaringan dagang interasional. Setiap tahunnya Lobu Tua hanya menerima 3 kapal dagang dari Gujarat. Namun meski begitu, satu kilogram kamper memiliki nilai yang sama dengan satu kilogram emas. Sehingga tidak heran jika kamper wilayah Barus tekenal hingga ke Jazirah Arab.
Pada 1856, Herman Neubronner van der Tuuk, seorang ahli bahasa dari Belanda, melakukan sebuah pengamatan di Barus. Dalam laporannya, van der Tuuk menyebut wilayah pantai barat Barus, terutama di Karesidenan Tapanuli, dikuasai oleh orang-orang Tionghoa dan Koromandel (orang Keling). Mereka mendominasi sebagian besar sektor perdagangan di sana.
Penelitian van der Tuuk itu membuka fakta bahwa Barus tidak hanya dihuni oleh orang Batak dan Melayu saja. Melainkan banyak suku bangsa yang membangun peradabannya di sana. Bahkan masyarakat Tionghoa terbilang baru jika dibandingkan orang Keling yang telah membangun pemukiman berabad-abad sebelumnya. Dalam Sejarah Raja-Raja Barus: Dua Naskah dari Barus, Jane Drakard mengatakan bahwa kemajuan Barus banyak disebabkan oleh orang-orang India.
Hal itu dibuktikan dengan banyaknya perkakas dan tembikar bermotif yang biasa ditemukan di kawasan Asia Selatan. Mereka membawanya langsung dari India untuk kebutuhan sehari-hari karena di Lobu Tua tidak ada kebudayaan membuat tembikar.
“Singkatnya, dari semua unsur ini dapat disimpulkan bahwa kotanya bersuasana India dan Barus muncul sebagai satu tempat perdagangan India di Sumatera,” tulis Claude.
Tidak hanya orang-orang dari India, Lobu Tua dahulu dihuni oleh penduduk dari Timur Dekat. Salah satu bukti paling kuat adalah temuan “wadah darah”, yang di Timur Tengah digunakan para tabib untuk menampung darah saat mengobati pasiennya. Selain itu nama “Fansur” yang ditulis dalam beberapa teks berbahasa Arab semakin memperkuat keberadaan orang-orang dari Timur Dekat.
Claude meyakini bahwa orang-orang Timur Dekat itu didominasi oleh penduduk dari Teluk Persia. Wilayah Siraf, Oman, Mesopotamia, Tus, dan Neyshabur cukup mudah mencapai Barus. Mereka dapat melakukan pelayaran melalui Basrah. Sehingga terciptalah jalur perdagangan dan pelayaran besar menuju pantai Sumatera. Beberapa temuan artefak kaca dan perhiasan pun mengarah langsung ke wilayah-wilayah tersebut.
Baca juga: Air Kapur Barus Minuman Ahli Surga
Selain penduduk asing, orang-orang Jawa pun banyak menetap di Lobu Tua. Dari hasil temuan prasasti berbahasa Jawa Kuno di Barus, diketahui bahwa orang Jawa menempati wilayah tersebut pada abad ke-11. Pengaruh terbesar Jawa di Barus adalah peredaran mata uang emas berukirkan bunga cendana yang saat itu menjadi ciri mata uang kerajaan-kerajaan di Jawa.
Berbeda dengan keberadaan orang-orang asing yang cukup mudah dianalisis berkat peninggalannya, para peneliti kesulitan menggambarkan penduduk lokal di Lobu Tua. Tetapi mereka meyakini bahwa mayoritas berasal dari Minangkabau dan Batak.
“Dalam legenda mengenai pendirian kotanya, kronik Batak mencatat bahwa kerja sama cepat terjalin, bahkan orang asing tidak keberatan mengakui kekuasaan raja Batak,” tulis Claude.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar