Kapur Barus, Agen Persebaran Agama di Nusantara
Lewat perdagangan kapur barus, beragam agama masuk ke Nusantara.
Pada Maret 2017, Presiden Joko Widodo meresmikan Kilometer 0 Peradaban Islam Nusantara di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatra Utara. Sejak lama, Barus menjadi tempat persinggungan pedagang antarbangsa. Mereka datang dari berbagai tempat terutama untuk mendapatkan kapur barus yang berguna untuk mengawetkan mayat.
Keramik dan piring yang ditemukan di situs Lobu Tua membuktikan pedagang dari Tiongkok dan Arab pernah datang ke Barus. Selain untuk mendapat kapur barus, para pedagang juga singgah untuk menunggu perjalanan berikutnya.
“Orang-orang seringkali menunggu selama beberapa bulan untuk menunggu angin yang cocok untuk pelayaran mereka,” kata arkeolog Agus Widiatmoko dalam diskusi buku Gerbang Agama-Agama Nusantara di Museum Nasional, Jakarta, 25 Oktober 2017.
Pejabat di Direktorat Sejarah Kemendikbud itu mencontohkan, I Tsing ketika hendak menuju Nalanda (India) harus singgah di Swarna Dwipa selama enam bulan.
“I Tsing belajar tentang tata bahasa Sanskrit sebelum memperdalam ajaran Budha di Nalanda. Untuk menunggu angin ke barat, ia harus nunggu enam bulan,” kata Agus. Menurutnya, ada kemungkinan I Tsing berangkat ke India melalui Barus karena letak Pantai Barat Sumatera yang berdekatan dengan India.
Dengan adanya kontak dagang dan waktu singgah yang cukup lama, interaksi antara masyarakat lokal dengan orang asing terjalin. Dari interaksi inilah agama-agama luar masuk ke Nusantara melalui Barus, kemudian menyebar ke wilayah lain.
“Sampai abad ke-17, perairan di utara Sumatera belum bisa ditempuh karena Malaka dikuasai perompak,” kata Rusmin Tumanggor, penulis buku Gerbang Agama-Agama Nusantara.
Bukti-bukti hadirnya beragam agama di Barus juga bisa dilihat dari mantra-mantra yang digunakan dalam pengobatan tradisional di sana. Menurut Rusmin, dari semua jenis mantra pengobatan, mantra Hindu yang paling mula ada.
“Hindu yang masuk di sana tidak begitu progresif menghindukan, siapa yang mau masuk saja. Jika benar Hindu di Bali dari India, tidak akan mungkin bisa sampai ke Bali tanpa transit terlebih dahulu di Barus," kata Rusmin.
Rusmin mengurutkan berdasarkan temuannya: Hindu yang pertama kali masuk ke Barus, diikuti Yahudi, Kong Hu Cu, Islam, kemudian Kristen. Masuknya Yahudi ke Barus bisa ditemukan dari mantra pengobatan berbahasa Ibrani yang dia temukan di Pustaha Batak. “Ben somerlah bi rahaman bi rahamin…” yang artinya “dengan Tuhan yang dermawan dan penyayang.”
Agama Kong Hu Cu masuk melalui Barus sejak 250 SM. Selain temuan arekologis berupa pecahan keramik Tiongkok di Lobu Tua yang ditemukan Denys Lombard, hal yang menjadi pembukti ialah mantra pengobatan yang ditujukan pada Dewa Kwan Khong –dewa penentu orang hidup di batas Nirwana dalam agama Ru, cikal-bakal Kong Hu Cu– yang ditemukan Rusmin. Mantra itu berbunyi “Hong, ulosi aha on songon tumbaga huling, palua sahitna, hipashon imana…” Artinya, kurang lebih “Hong, sematkan ulos ke tubuhnya, seperti Tumbaga Huling, sembuhkan sakitnya, kelegaan baginya.”
Sementara, Islam masuk melalui Barus diperkirakan jauh sebelum masuk ke Samudra Pasai. “Pada 1963 Hamka mengatakan Islam awalnya bukan di Samudra Pasai pada abad ke-15 tapi masuk beberapa dasawarsa ketika Nabi Muhammad SAW mengajarkan Islam di Jazirah Arab, tempat itu adalah Barus,” kata sejarawan JJ Rizal yang menjadi moderator diskusi.
Catatan dari masa Dinasti Tang (abad ke-7 sampai abad ke-10), Hsin Tang Shu, menyebutkan bahwa di pesisir Sumatera terdapat permukiman Islam. Bukti lain, temuan berupa makam Syekh Rukunuddin, bertarikh 672 M, di Makam Mahligai, Barus.
Ketika Van Der Tuuk, utusan Perkumpulan Alkitab Belanda, masuk ke Barus pada 1851 untuk mengkristenkan Batak, sudah ada Islam di pesisir pantai. Van der Tuuk, menurut Rusmin, akhirnya memilih untuk menyebarkan Kristen ke daerah pedalaman karena di daerah pesisir sudah banyak pemeluk Islam.
Meski beragam agama masuk melalui Barus, Rusmin menjelaskan bahwa pluralisme tetap terjaga. Ketika Islam masuk ke Barus, orang-orang yang sudah memeluk agama lain tidak dipaksa untuk masuk Islam.
“Hindu yang sudah ada tidak diotak-atik. Hanya dijelaskan ada agama baru. Hal serupa juga terjadi ketika para misionaris masuk ke Barus,” kata Rusmin.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar