Harem, antara Fantasi Erotis dan Kenyataan
Eksotisme dan erotisme harem dalam fantasi orientalisme dan propaganda imperialisme.
Dua perempuan, yang satu telanjang, yang satu setengah telanjang, tengah bersantai di sebuah permandian mewah bergaya Timur Tengah. Seorang pelayan berkulit gelap dengan pakaian menutupi seluruh tubuhnya berbicara kepada mereka. Masing-masing kedua tangannya membawa satu pipa hookah. Di belakang ketiganya terletak kolam permandian. Lima perempuan telanjang lainnya sedang bersantai di tepian kolam itu.
Adegan itu dituangkan Jean Leon Gerome (1824–1904), seniman orientalis dari Paris, dalam lukisannya yang berjudul “Pool in a Harem” pada sekira 1876. Gerome adalah salah satu dari seniman abad ke-19 yang kerap mengangkat tema negeri Timur dalam karyanya, khususnya kehidupan di dalam harem.
Sebagaimana lukisan Gerome, dalam imajinasi orang Barat, harem adalah rumah berisi banyak perempuan yang dikumpulkan dari banyak negeri oleh lelaki yang berkuasa. Harem difantasikan berisi perempuan-perempuan telanjang yang ada untuk memuaskan tuan penguasa.
Menurut Wendy M.K. Shaw, profesor sejarah seni budaya Islam di Free University, Berlin, dalam tulisannya di Al-Jazeera, penggambaran harem semacam ini hanyalah imajinasi orientalis Barat atas dunia Timur. Itu pun baru berkembang pada sekira abad ke-19.
Fantasi Erotis
Shaw berpendapat, fantasi sensual orang Barat tentang harem terpicu setelah karya 1001 Malam diperkenalkan kepada orang-orang Eropa pada sekira awal abad ke-18. Orang yang bertanggung jawab adalah Antoine Galland, orientalis asal Prancis, yang menerjemahkannya ke dalam bahasa Prancis. Karya ini terbit pertama kali pada 1704.
Ditambah kemudian pada 1798 pasukan Prancis yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte menyerbu dan menduduki Mesir hingga 1801. Sebagaimana disebut Jennifer Meagher, senior kataloger di Departement of European Paintings, The Metropolitan Museum of Art, di New York, Amerika Serikat, bahwa kehadiran orang Eropa di Mesir pun menarik para pelancong Barat ke wilayah Timur Dekat hingga Tengah.
“Banyak di antara mereka yang menuangkan kesan mereka ke dalam karya seni,” tulis Meagher dalam “Orientalism in Nieteenth-Century Art” di Heilbrunn Timeline of Art History.
Baca juga: Memahami Sejarah lewat Lukisan
Pada 1809, pemerintah Prancis juga menerbitkan jilid pertama dari 24 volume Description de l’Égypte (1809–22). Karya ini menggambarkan topografi, arsitektur, monumen, kehidupan alam, dan populasi Mesir. Menurut Meagher, Description de l'Égypte merupakan yang paling berpengaruh dari banyak karya lainnya yang mendokumentasikan budaya Mesir.
“[Description de l'Égypte] membawa pengaruh yang mendalam pada arsitektur Prancis dan seni dekoratif periode itu, sebagaimana dibuktikan dalam dominasi motif Mesir di gaya kekaisaran,” jelas Meagher.
Sementara banyak orang Eropa mengandalkan catatan perjalanan dan literatur resmi seperti Description de l'Égypte dalam membangun kesan terhadap dunia Timur, para seniman justru melakukan satu atau lebih perjalanan ke wilayah tersebut. Mereka di antaranya Eugene Delacroix (1798–1863), Jean-Léon Gérôme (1824–1904), Théodore Chassériau (1819–1856), Alexandre-Gabriel Decamps (1803–1860), dan William Holman Hunt (1827–1910).
“Lukisan orientalis pada abad ke-19 sangat dipengaruhi oleh pengalaman langsung seniman dalam kehidupan sehari-hari di kota dan permukiman di Timur Dekat,” tulis Meagher.
Baca juga: Kisah Aneh tentang Turki Usmani di Nusantara
Penggambaran tentang harem termasuk dalam beberapa adegan yang paling populer. Namun soal ini, kata Meagher, seniman pria sangat bergantung pada desas-desus dan imajinasi. Mereka mengisi interior harem dalam kanvas dengan dekorasi mewah, juga budak atau selir perempuan, yang berwajah orang Eropa, tengah berbaring telanjang atau dalam balutan pakaian bergaya Timur.
Misalnya, lukisan karya pelukis Prancis, Jean Auguste Dominique Ingres (1780–1867), berjudul “The Turkish Bath”. Di sana ia menggambarkan suasana permandian dengan banyak perempuan telanjang. Ada yang sedang bermain musik, menari, dan berbaring. Semuanya lebih mirip perempuan Eropa alih-alih orang Timur Tengah.
Baca juga: Kesultanan Aceh Pernah Minta Jadi Vasal Turki Usmani
Dalam menciptakan karyanya itu, Ingres bahkan tak pernah melakukan perjalanan ke Timur. “Ia menggunakan latar harem untuk menuangkan angan-angan erotisnya,” jelas Meagher.
Pada masa berikutnya banyak pelukis dan novelis orientalis mengembangkan repertoar harem yang lebih fantastis lagi. Ini makin meningkat terutama dengan erotisasi tari perut yang ditampilkan dalam Pameran Dunia (Exposition Universelle) di Paris pada 1889.
Propaganda Imperialisme
Menurut Laurel Ma, sejarawan University of Pennsylvania, penggambaran harem dalam seni lukis orientalis perlu ditelusuri. Khususnya dalam dunia Islam, lingkungan harem sangat terlarang bagi orang asing, terlebih jika itu laki-laki.
“Istilah harem berasal dari kata Arab yang dilafalkan haram, yang berarti terlarang atau suci,” tulis Laurel Ma dalam “The Real and Imaginary Harem: Assessing Delacroix’s Women of Algiers as an Imperialist Apparatus”, termuat dalam Penn History Review.
Meagher menyebut ada maksud terselubung di balik lukisan orientalis pada awal abad ke-19. Itu dimaksudkan sebagai propaganda untuk mendukung imperialisme Prancis. Lukisan itu sengaja menggambarkan dunia Timur sebagai tempat terbelakang, barbar, di mana pelanggaran hukum kerap terjadi, yang kemudian oleh Prancis berhasil dicerahkan dan dijinakkan.
Baca juga: Kolonialisme Hancurkan Kedudukan Perempuan
Sementara itu, Ma berpendapat, ada dua mitos yang saling menguatkan tentang harem. Pertama adalah versi harem sebagai tempat mewah di istana Turki di mana sejumlah besar selir dan budak wanita dengan cemas menunggu kembalinya tuan atau suami mereka, yakni sultan. Kedua adalah penjara di rumah tangga muslim di mana wanita tunduk pada kendali mutlak suaminya yang bertentangan dengan keinginan mereka.
Mitos ini tidak hanya diterapkan pada lingkungan domestik muslim, tetapi juga kepada perempuan yang mengenakan cadar. Kebiasaan itu dipahami dan disebarluaskan oleh orang Eropa sebagai simbol penindasan di bawah suami dan masyarakat tirani mereka.
“Definisi harem bermasalah karena lebih mencerminkan fantasi seksual orang Eropa tentang perempuan Timur daripada realitas domestik yang seharusnya digambarkannya di wilayah itu,” tulis Ma.
Peran Penting dalam Politik
Kenyataannya, para perempuan di harem memainkan peran yang jauh lebih besar daripada sekadar menghibur sultan atau suami secara umum. Beberapa bahkan memiliki andil dalam perpolitikan Kekaisaran Ottoman yang kuat.
Sejak 1299 hingga 1920, harem sultan Ottoman terdiri dari istri, pelayan, kerabat perempuan sultan, dan selir. Murat Iyigun menjelaskan, di kesultanan itu, harem memegang otoritas politik yang cukup besar, terutama selama periode yang dikenal sebagai “Kesultanan Wanita”, yakni sekira 1533–1656. Masa ini kemudian membawa harem kepada kekuasaan yang lebih besar dari sebelumnya.
Baca juga: Para Sultanah di Kesultanan Aceh
“Anggota harem dengan latar belakang etnis atau agama yang berbeda sering melobi sultan untuk mempengaruhi penaklukkan Ottoman,” tulis Murat dalam “Lessons from the Ottoman Harem on Culture, Religion, and Wars”, termuat dalam Economic Development and Cultural Change.
Adapun Kekaisaran Ottoman memiliki pengaruh besar di Eropa, Timur Tengah, dan Afrika Utara. Itu pada puncak kekuasaannya, yakni antara 1453 dan 1699.
Ruang Privat dalam Rumah Tangga
Bagaimanapun, kata Shaw, harem sebenarnya hanyalah bagian pribadi dari sebuah rumah tangga. Misalnya, seperti juga ditulis dalam dailysabah, pada setiap rumah orang Turki, baik di desa maupun di kota biasanya memiliki dua bagian, harem dan selamlik. Harem adalah bagian dari sebuah rumah yang diperuntukkan bagi perempuan, dan hanya kerabat laki-laki yang diizinkan masuk. Selamlik, sebaliknya, adalah tempat para tamu laki-laki dijamu.
Seperti rumah tangga mana pun, bangsawan atau bukan, harem adalah ruang pendidikan, dan perempuan dari berbagai status sosial mempelajari tugas-tugas dasar rumah tangga, membaca, dan mempelajari al-Quran. Untuk perempuan di kalangan elite, mereka biasanya berpartisipasi dalam lingkungan sosial budaya yang mencakup pembacaan puisi hingga urusan administrasi warisan dan properti.
Baca juga: Perempuan-Perempuan Bersenjata
Harem menjadi ruang bagi perempuan untuk mendapat akses yang sama ke pendidikan dan partisipasi publik. “Harem bukanlah seperti yang Anda pikirkan. Itu hanyalah bagian pribadi dari rumah tangga yang cukup besar, untuk membedakan antara tempat pribadi dan umum,” tulis Shaw.
Sementata di balik erotisme para seniman orientalis, adegan tentang harem juga membangkitkan rasa keindahan banyak orang Barat. Cita rasa seni budaya Timur dalam motif arsitektur, furnitur, seni dekoratif, dan tekstil, selanjutnya semakin banyak dicari oleh kalangan elite Eropa.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar