Memahami Sejarah lewat Lukisan
Lukisan bertema sejarah bisa menjadi dokumentasi dan rujukan penelusuran sejarah.
SAMBIL menunggangi kuda hitamnya, Pengeran Diponegoro mengacungkan jari telunjuk. Tangannya yang lain memegangi tali untuk mengendalikan kuda.
Penggambaran adegan itu terdapat dalam lukisan Diponegoro karya Basuki Abdullah yang dibuat tahun 1949. Tak ada satu pun potret wajahnya namun hal ini jadi kesempatan bagi para pelukis untuk mengabadikan profil dan kisah-kisahnya secara visual. Ada berbagai versi lukisan Diponegoro. Ada profilnya pakai blangkon dan surjan, atau potret setengah badan.
“Lukisan Diponegoro yang paling populer yakni Diponegoro naik kuda karya Basuki Abdullah meniru gaya Napoleon Crossing the Alps (1801) karya Jacques Louis David,” kata Mikke Susanto ketika memaparkan makalahnya di Seminar Sejarah Nasional (3/12).
Penggambaran Diponegoro lewat lukisan merupakan satu wujud dokumentasi sejarah ketika tokoh atau peristiwa sejarah tak sempat terekam dalam foto. Lukisan tentang potret pahlawan terus diproduksi pascakemerdekaan. Sukarno yang menggemari seni lukis, memajang lukisan potret para pahlawan di Istana Merdeka dan Bogor.
Pada dekade 1980-an, potret pahlawan karya Basuki Abdullah menjadi paling populer. “Ratusan potret pahlawan direproduksi besar-besaran. Padahal Basuki Abdullah (ketika melukis Diponegoro, red.) tidak bersumber dari foto, dia dari imajinasi,” kata Mikke.
Selain sebagai wujud dokumentasi, lukisan juga bisa menjadi rujukan dalam penulisan sejarah. Keberadaan seni lukis, tulis Agus Burhan dalam artikel “Ikonografi dan Ikonologi Lukisan Djoko Pekik: ‘Tuan Tanah Kawin Muda’” yang dimuat dalam Jurnal Panggung, tidak bisa sekadar dilihat sebagai ungkapan artistik saja. Lebih dari itu, seni lukis bisa dipandang sebagai produk sosiokultural. Suatu karya yang diproduksi, dalam konteks sejarah, melibatkan kondisi sosiokultural yang membangunnya. Maka, Agus melanjutkan, seni lukis bisa menjadi rujukan yang memberi gambaran kondisi di masa tersebut.
Ada lima aliran lukisan sejarah. Lukisan sejarah agama, mitologi, alegori, sastra, dan lukisan sejarah peradaban. Namun, tak semua lukisan bisa dijadikan rujukan dalam penulisan sejarah. “Kalau sebuah karya menganut konsep lukisan sejarah peradaban, lukisan itu bisa dipakai sebagai rujukan. Setidaknya memberikan gambaran tentang masyarakat di masa itu,” kata Mikke.
Lukisan sejarah rata-rata beraliran realis, yang memudahkan orang mendapat gambaran atas hal yang ditampilkan. Pun sejak awal perkembangannya, lukisan sejarah diawali dengan gambaran yang paling mendekati wujud aslinya, baru kemudian berkembang lukisan sejarah dengan gaya non-realis.
Di tangan Pablo Picasso, misalnya, lukisan sejarah disajikan dengan gaya kubistis yang berkembang di tahun 1930-an. Guernica (1937) karya Picasso punya konteks kesejarahan dengan peristiwa pengeboman di Kota Guernica pada April 1937 oleh tentara Nazi Jerman di tengah perang sipil Spanyol. Korban pengeboman yang mayoritas perempuan dan anak –karena para pria sedang pergi berperang– menggungah Picasso untuk membuat karya sebagai sikap protes. Lukisan itu selesai dibuat dua bulan setelah peristiwa. Guernica, seperti ditulis situs resmi pablopicasso.org, menjadi karya politis Picasso yang paling terkenal.
Di Indonesia lukisan sejarah bisa dijumpai dalam karya Affandi Laskar Rakyat Mengatur Siasat (1946). Lukisan Affandi memberi gambaran para rakyat pejuang berkumpul dan mengatur strategi untuk melawan Belanda di masa revolusi. “Lukisan Affandi bisa dipakai sebagai sebuah rujukan untuk memberi gambaran bagaimana orang berkumpul di satu titik untuk membahas penyerangan,” kata Mikke.
Karya lain yang bisa dijadikan rujukan, ialah Tuan Tanah Kawin Muda (1964) karya Djoko Pekik. Karya yang menampilkan seorang lelaki tua berbaring ditunggui seorang perempuan muda ini menjadi gambaran penindasan laki-laki pada perempuan lewat kekuasaan berupa modal ekonomi, sosial, dan kultural. Agus juga menilai Tuan Tanah Kawin Muda sebagai gembaran pertikaian kekuasaan laki-laki penguasa dengan perempuan rakyat jelata, dalam seting budaya feodal.
Namun demikian, tak semua karya lukis bisa dijadikan sumber sejarah dan memerlukan kritik dengan membandingnya dengan fakta-fakta sejarah. Lukisan Raden Saleh berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857) misalnya. Ada beberapa gambaran yang tidak sesuai dengan fakta sejarah seperti lokasi penangkapan. “Kalau dilihat pakaiannya benar, tapi tempatnya tidak seperti yang dilukisan. Jadi lukisan karya Raden Saleh pun perlu dikritik. Tidak semua lukisan sejarah benar adanya tapi bisa digunakan sebagai rujukan atau alat pembelajaran sejarah,” kata Mikke.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar