Cornel Simanjuntak, Komponis yang Bertempur
Komponis yang turut bertempur di masa revolusi. Pernah tertembak di paha, meninggal di usia muda.
Merantau dari Pematang Siantar ke Magelang, Cornel Simanjuntak awalnya mengambil pendidikan guru. Tapi di sekolah, ia justru memperdalam kemampuan bermusiknya. Ia kemudian menjadi komponis andal sekaligus pejuang.
Pemuda kelahiran tahun 1921 ini belajar musik ketika menempuh pendidikan di Holandsche Indische Kweekschool (HIK) St. Xaverius College, Magelang. Melalui ekstrakulikuler musik, ia bergabung dengan paduan suara, memimpin orkes, dan mulai menciptakan lagu. Ia belajar dari Pastor J. Schouten.
Kemampuan di bidang musik di kemudian hari menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan dari Cornel. Ia terus mencipta lagu dan bermusik ketika Jepang masuk ke Indonesia hingga tahun-tahun tak menentu pasca Proklamasi kemerdekaan.
Di Bawah Jepang
Ketika Jepang mulai menduduki Indonesia pada 1942, kehidupan di Magelang menjadi kacau. Kegiatan sekolah dihentikan dan para pastor ditawan Jepang. Cornel hendak melaksanakan ujian dianggap sudah lulus.
Cornel sempat menjadi guru di Magelang tapi tak lama. Ia berhenti dan sempat tak ada kabar. Binsar Sitompul, adik kelasnya di Xaverius College, menyebut bahwa suatu ketika ia mendengar lagu-lagu yang disiarkan oleh Jepang begitu mirip dengan lagu-lagu gubahan Cornel. Ternyata benar, lagu-lagu itu ciptaan Cornel.
Baca juga: Jejak Komponis Mochtar Embut
Awalnya Binsar heran, mana mungkin Cornel mau tunduk dan bekerja untuk kepentingan propaganda Jepang. Belakangan ia tahu bahwa Cornel memanfaatkan Jepang untuk tetap berkarya.
“Cornel membuat lagu-lagu propaganda Jepang hanyalah untuk menjaga agar kesempatan mencipta tetap terbuka, sesuai dengan keinginannya sendiri. Selain itu juga agar tetap terbuka saluran baginya untuk menyiarkan hasil-hasil karyanya kepada masyarakat luas melalui radio,” tulis Binsar dalam Cornel Simanjuntak, Komponis, Penyanyi, Pejuang.
Selain itu, Cornel juga memanfaatkan paduan suara yang mendapat subsidi pemerintah Jepang. Ia menerima imbalan dari lagu-lagu yang dibuatnya untuk keperluan hidup pada masa sulit itu.
Baca juga: Ismail Marzuki, Komponis dari Betawi
Cornel bekerja di Keimin Bunka Shidosho atau Pusat Kebudayaan bagian musik. Pada masa ini pula, ia banyak berkesenian dengan tokoh-tokoh sezaman. Ia bergabung dengan perkumpulan sandiwara Maya bersama Usmar Ismail, Chairil Anwar, Rosihan Anwar, hingga S. Sudjojono.
“Melalui lakon-lakon yang dipentaskan, tampak jelas warna sebenarnya perkumpulan ini, yaitu cita-cita kemerdekaan, bebas dari penjajahan,” sebut Binsar.
Turut Bertempur
Merujuk J.A. Dungga dan Liberty Manik, Ensiklopedia Musik Volume II menyebut bahwa kerja-kerja Cornel sebagai komponis setidaknya bisa ditinjau dalam tiga masa kreatif. Pertama, Cornel membuat lagu-lagu yang menggunakan melodi baru namun dengan interval yang sederhana. Komposisi ini dapat didengar dari lagu Asia Sudah Bangun dan Indonesia Merdeka yang lebih dikenal dengan judul Sorak-Sorak Bergembira.
Kedua, masa ketika Cornel berkompromi dengan selera radio yang lagunya berpola setengah klasik dan setengah hiburan. Lagu seperti Citra dan Mekar Melati yang penah menjadi lagu untuk festival film nasional masuk dalam masa ini.
Ketiga, masa di mana Cornel semakin diakui kredibilitasnya sebagai komponis. Lagu seperti O, Angin, Kemuning, dan Pinta Lagi yang berangkat dari puisi yang dimusikalisasi termasuk dalam masa ini.
Pasca Proklamasi, Cornel bergabung dengan Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang bermarkas di Menteng 31. Pada akhir Desember 1945, ia turut bertempur melawan serdadu Belanda di Tangsi Penggorengan.
Cornel juga disebut memimpin pasukan di daerah Tanah Tinggi. Menurut Binsar, ketika baku tembak di daerah Senen, peluru menembus paha Cornel sehingga harus dilarikan ke rumah sakit.
Selang beberapa hari, tersiar kabar Belanda hendak menggeledah rumah sakit dan menangkap pemuda-pemuda yang terluka. Cornel lalu mengungsi ke Karawang, kemudian pindah ke Yogyakarta.
Di Yogyakarta, kesehatan Cornel menurun dan mulai mengidap penyakit paru-paru. Meski demikian, ia tetap menulis tentang musik dan menciptakan lagu. Setelah delapan bulan dirawat, Cornel meninggal dunia pada 15 September 1946. Cornel mendapat anugerah Satya Lencana Kebudayaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 1962.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar