Anak-anak Nonton Film di Zaman Kolonial Belanda
Seiring dengan munculnya bioskop, menonton film menjadi hiburan yang digemari anak-anak. Namun, film-film action yang dipenuhi adegan kekerasan dikhawatirkan berpengaruh pada anak-anak.
DI awal kemunculannya di Hindia Belanda pada penghujung abad ke-19, film telah menarik perhatian banyak orang, tak hanya orang dewasa tetapi juga anak-anak. Kala itu, film yang disebut gambar idoep ditayangkan di bioskop yang lokasinya berpindah-pindah. Tak jarang pemutaran film dilakukan di ruang terbuka hingga melahirkan istilah bioskop misbar (gerimis bubar). Sementara bioskop permanen mulai muncul di beberapa kota pada periode awal abad ke-20.
Menurut M. Sarief Arief dalam Politik Film di Hindia Belanda, ketika itu film telah menjadi sarana hiburan yang diminati oleh penduduk lokal. Salah satu pemicunya yakni meningkatnya kebutuhan akan tempat hiburan saat malam hari. “Pada setiap malam Minggu pertemuan remaja pria dan wanita sering diadakan yang dilanjutkan dengan acara menonton pertunjukan film di bioskop,” tulis Arief.
Guna menjaring lebih banyak penonton dari berbagai kalangan dan kelompok umur, sejumlah bioskop mengadakan pertunjukan khusus untuk anak-anak. Biasanya pertunjukan itu diselenggarakan seminggu sekali dengan harga tiket masuk lebih murah dan sudah termasuk tiket pendampingnya. Bahkan, sebuah bioskop di Sidoarjo pernah memberikan hadiah hiburan gratis menonton film bagi murid-murid sekolah. Murid yang berhasil meraih peringkat tertinggi mendapat tempat duduk kelas VIP.
Dukut Imam Widodo dan Henri Nurcahyo dalam Sidoardjo Tempo Doeloe menulis, kegiatan yang diselenggarakan oleh pengelola Deca Bioscoop dengan Syarikat Islam itu diberitakan dalam surat kabar Oetoesan Hindia. “Kejadiannya tanggal 16–17 Desember 1914, pukul 5.30 sore, murid-murid sekolah Islam MAI sudah disiapkan di alun-alun, laki dan perempuan, sejumlah 286 anak. Mereka kemudian berbaris dan berjalan bersama menuju gedung bioskop yang jauhnya 0,25 pal,” tulis Widodo dan Nurcahyo.
Setibanya di depan gedung bioskop, murid-murid bertepuk tangan dan bersorak sorai. Sembari memegang karcis, mereka dikelompokkan menurut peringkat oleh guru sekolah. Murid yang mendapat peringkat tertinggi mendapat tempat duduk Loge. Sedangkan ranking dua mendapat kelas satu, ranking ketiga di kelas dua, dan ranking keempat mendapai kursi di kelas tiga. Selain sebagai bentuk hadiah atas prestasi yang telah diraih para murid, kegiatan ini diharapkan dapat memberi motivasi bagi mereka untuk lebih giat belajar.
Di masa lalu, menonton film di bioskop merupakan suatu kemewahan. Kala itu, bioskop dibagi menjadi beberapa kelas. Bioskop kelas satu khusus bagi orang-orang Eropa dan kalangan atas. Harga tiket masuknya paling mahal. Meski harga tiket bioskop rakyat lebih murah, tetapi bagi banyak orang masih tetap mahal. Namun, orang-orang dengan uang terbatas memaksakan diri demi menonton bioskop. Seperti Sukarno kecil.
Ketika kecil, Sukarno gemar sekali menonton film. Namun, karena uang yang dimilikinya pas-pasan, dia hanya mampu membeli tiket bioskop yang paling murah. Alih-alih duduk di depan layar, tiket yang dimiliki pria kelahiran Surabaya, 6 Juni 1901 itu tempat duduknya di belakang layar bioskop. Selain itu, sebelum tahun 1930-an, kebanyakan film yang diputar di bioskop adalah film bisu yang beberapa di antaranya dilengkapi dengan teks berbahasa Belanda yang memuat dialog para pemeran. Dengan demikian, untuk memahami film yang tengah ditontonnya, Sukarno kecil harus membaca teks tersebut secara terbalik dari kanan ke kiri.
Baca juga:
“Aku tidak peduli, karena tak ada cara lain yang lebih baik. Bagaimanapun, aku bersyukur karena masih bisa menontonnya. Satu-satunya yang membuat aku frustrasi adalah bila di pertunjukan film adu tinju. Aku tak pernah bisa menebak kepalan tangan siapa yang melakukan pukulan,” kenang Bung Karno dalam otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Kala itu, film-film action yang dipenuhi adegan kekerasan menjadi favorit masyarakat termasuk anak-anak. Biasanya anak-anak memperagakan kembali adegan-adegan film yang mereka tonton. Mereka bermain aksi koboi-koboian dengan membuat kuda-kudaan dari pelepah pisang, mengubah tali jemuran menjadi laso, dan bermain tembak-tembakan. Anak-anak tak lagi meniru Gatot Kaca, melainkan memeragakan aksi Tom Mix, Eddie Polo, dan aktor Barat lain yang mereka lihat di film.
Hal ini menjadi perhatian pemerintah kolonial Belanda. Pasalnya, kebanyakan penonton di pedesaan menikmati film hanya melalui gambar. Mereka tak bisa memahami alur cerita yang seringkali dituliskan dalam teks berbahasa Belanda. “Untuk meredam perluasan film cerita bisu impor yang menggambarkan citra ‘negatif’ perilaku orang Barat ini, maka pemerintah kolonial menetapkan bahwa kerja Komisi Sensor adalah menggunting film yang dikategorikan sebagai film-film yang dianggap merusak kesusilaan umum…yang dapat berpengaruh pada lingkungan,” tulis Arief.
Selain itu, sebagai upaya mencegah perubahan perilaku terhadap anak-anak akibat menonton film orang dewasa, Komisi Sensor memberlakukan pembatasan umur penonton, yaitu film khusus 17 tahun ke atas dan film khusus untuk penonton berusia 17 tahun ke bawah.
Baca juga:
Pada 1940, sebuah peraturan baru disusun oleh pemerintah kolonial terkait dengan pembagian usia. Dalam peraturan itu disebutkan pertunjukan film yang disaksikan oleh anak yang belum mencapai usia 13 tahun, maka film itu tak diperkenankan diputar kecuali telah mendapat izin tayang dari Komisi Film.
Selain itu, pertunjukan film yang tidak memberlakukan ketentuan anak-anak di bawah usia 13 tahun dan lebih tua atau sudah mencapai 17 tahun, maka ia tidak diperbolehkan menonton kecuali Komisi Film memperbolehkannya. “Bagi yang melanggar peraturan ini, baik penonton maupun pemutar film akan dikenakan denda sebesar f5000 atau pun hukuman penjara selama enam bulan,” jelas Arief.
Kebijakan pemerintah kolonial terkait pemutaran film sesungguhnya tak semata-mata demi anak-anak maupun penduduk. Melainkan untuk menjaga citra mereka sebagai negara yang beradab di mata penduduk.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar