Secuil Cerita Jenaka dari Cianjur Semasa Pendudukan Saudara Tua
Secuil cerita perjuangan pergerakan kemerdekaan semasa pendudukan Jepang dari pengalaman seorang pengusaha di Cianjur.
Gempa bumi berkekuatan 5,6 skala Richter memporak-porandakan sejumlah kawasan di Cianjur pada Selasa, 21 November 2022. Selain menyebabkan longsor, gempa juga merusak banyak bangunan, rumah, dan fasilitas umum. Lebih dari 50 ribu rumah rusak, mulai dari ringan hingga berat.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga 25 November 2022 tercatat jumlah korban jiwa mencapai 310 orang. Sementara, korban luka mencapai lebih dari 2000 orang dan lebih dari 60 ribu lainnya mengungsi.
Cianjur, yang berada di kawasan pegunungan, memang kerap dilanda gempa. Sejak abad ke-19 hingga kini tercatat setidaknya ada 14 gempa merusak di Cianjur. Selain gempa kali ini, yang juga menimbulkan kerusakan parah adalah gempa tahun 1879.
Namun di sisi lain, Cianjur bertanah subur. Kopi Cianjur merupakan kopi pertama yang berhasil dipanen ketika Kongsi Dagang Hindia Timur VOC berupaya membudidayakan tanaman itu di beberapa tempat di Jawa. Selain kopi, beras Cianjur dikenal tinggi mutunya sejak lama. Beras Cianjur itulah yang selalu dijadikan buah tangan oleh Hasjim Ning, keponakan Bung Hatta yang kemudian dijuluki “Raja Mobil Indonesia”, ketika hilir-mudik Cianjur-Jakarta semasa akhir pendudukan Jepang.
“Aku tidak hanya mengurus beras di pabrikku, tetapi aku pun telah sering pula muncul di Jakarta. Setiap ke Jakarta, tidak lupa aku membawa beras Cianjur yang terkenal itu dalam bagasi sedanku. Untuk aku bagi-bagikan kepada siapa yang, menurut aku patut diberi. Lebih-lebih kepada mereka yang bergerak di bawah tanah, yang tidak memperoleh catu beras dari manapun,” kata Hasjim dalam otobiografinya yang ditulis AA Navis, Pasang Surut Pengusaha Pejuang.
Hasjim memang berkawan dengan para pemuda pergerakan di Jakarta, baik yang bermarkas di Menteng 31 maupun Prapatan 10. Selain membawakan oleh-oleh, ketika berkunjung ke Jakarta Hasjim juga berperan penting membantu kelancaran aktivitas pergerakan di sana lewat dananya. Bahkan, urusan pribadi seperti pengobatan keluarga para aktivis juga acap ditopang uang pribadi Hasjim.
Baca juga: Duet Pengusaha Indonesia Selundupkan Senjata
Salah satu aktivis yang paling karib dengannya yakni Chairul Saleh, yang kelak berperan penting dalam penculikan Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok. Atas permintaan Chairul yang hobi pencak silat, Hasjim pernah mendirikan perguruan silat di Cianjur juga demi perjuangan kemerdekaan.
“Wadah yang didirikan ini adalah merupakan taktik saja untuk menghadapi pemerintah pendudukan Jepang, dimana sebenarnya kegiatannya merupakan kegiatan tersamar dari organisasi yang bergerak di bawah tanah untuk melawan kekuatan pemerintah Jepang,” kata Hasjim dalam testimoninya, “Mengenang Almarhum Chairul Saleh”, yang termuat dalam buku tulisan Irna HN Soewito berjudul Chairul Saleh Tokoh Kontroversial.
Namun, di Jakarta Hasjim biasanya hanya sebentar. Selebihnya, ia menetap di Cianjur, yang telah ditinggalinya sejak menjelang kolonialis Belanda jatuh. Ia dipercaya mengurus pabrik teh milik keluarganya. Ketika masa pendudukan Jepang, pabrik teh itu berganti menjadi pabrik beras lantaran produksi teh berhenti selama pendudukan Jepang.
Baca juga: Tinju Chairul Hampir Mendarat di Wajah Aidit
Sambil mengurus pabrik, Hasjim aktif bergaul dengan kalangan pergerakan. Ia ikut dalam rapat-rapat awal rencana pendirian Peta (Pembela Tanah Air). Ia pula yang mendanai pembelian seragam barisan Pemuda Pelopor ketika dibentuk oleh Kuswaya, keponakan tokoh nasionalis Gatot Mangkoepradja.
Ketika Peta sudah didirikan, Hasjim diangkat menjadi perwira Peta yang diperbantukan kepada Karesidenan Bogor. Ia lalu dipercaya oleh pemerintahan militer Nippon mengkoordinir pabrik –teh yang diubah menjadi pabrik– beras di seluruh Cianjur-Bogor untuk memproduksi beras bagi kepentingan militer Jepang.
“Tak lama kemudian memang aku mendapat surat tugas sebagai perwira Peta yang diperbantukan kepada Karesidenan Bogor dengan pangkat shodanco tokobetsu. Dari Gunseibu Bogor aku memperoleh surat keterangan yang aku perlukan, agar tidak seorang pun berhak menyetop dan memeriksa aku, walaupun orang Jepang. Terkecuali Kempeitai. Aku pun mendapat sehelai kertas yang bertuliskan kanji untuk ditempelkan di kaca mobilku, agar aku dapat pergi ke mana saja dan juga dapat mengambil bensin seberapa aku perlukan,” kata Hasjim, dikutip Navis.
Baca juga: Cerita dari Museum PETA
Posisi itu membuat Hasjim leluasa bergerak, yang kemudian dimanfaatkannya untuk kepentingan perjuangan kemerdekaan. Ia mulai sering mondar-mandir Cianjur-Jakarta untuk mendukung para pemuda pejuang di Menteng 31 maupun Prapatan 10.
Dengan posisi sebagai perwira Peta dan tinggalnya di Cianjur, Hasjim acap diminta mengantar Sutan Sjahrir –yang masih tinggal di Bandung– ke Jakarta. Suatu ketika, Hasjim dibuat dagdigdug ketika mengantar Sjahir. Di daerah Puncak, mobilnya disetop Kempeitai. Setelah menunjukkan surat-suratnya dan dinyatakan aman, Hasjim diminta personel Kempeitai yang memeriksa untuk membuka bagasi mobilnya.
Baca juga: Ketika Bung Sjahrir Pergi
“Wah, jantungku berdebar-debar,” kata Hasjim.
Hasjim amat ketakutan karena dia tahu Sjahrir menyelendupkan sebuah pesawat radio di bawah tumpukan buah dalam keranjang di bagasi. Radio merupakan alat penting Sjahrir dalam memimpin pergerakan melawan fasis Jepang.
Berbeda dari Sjahrir yang tenang-tenang saja, Hasjim amat tegang. Matanya terus mengamati personel Kempeitai memeriksa isi bagasi mobilnya sambil mulutnya terus merapalkan doa apa pun yang dia ingat.
Entah karena apa, personel Kempeitai yang memeriksa tidak sampai menggeledah keranjang buah seluruhnya. Buah yang menutupi pesawat radio Sjahrir tidak tersentuh. Radio pun tetap terlindung dari pandangan mata. Hasjim selamat. Mobilnya dipersilakan melanjutkan perjalanan.
“Sambil tersenyum, ketika kendaraan kami telah jalan lagi, Bung Sjahrir berkata, ‘Risiko berjuang banyak sekali, Bung Hasjim. Minimal rasa cemas seperti itulah.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar