Duet Pengusaha Indonesia Selundupkan Senjata
Untuk alasan uang, banyak serdadu Sekutu rela menjual senjata mereka. Dimanfaatkan dua pengusaha kiblik Dasaad dan Hasjim Ning.
DI tengah misinya menyelundupkan senjata di Jakarta untuk ALRI Tegal pada 1946, Hasjim Ning, keponakan Bung Hatta yang menjadi penguasaha nasional berjuluk “Raja Mobil Indonesia”, bertemu dengan pengusaha kawakan Mutalib. Pengusaha itu memperkenalkan Hasjim pada relasi-relasi bisnisnya orang-orang India di Pasar Baru, Jakarta.
Hasjim, yang senang bergaul, tentu menyambut gembira upaya Mutalib itu. Dari pergaulannya dengan para pedagang India itulah kemudian jalan Hasjim sebagai penyelundup kiriman ALRI Tegal kian terbuka. Para pedagang India itu memperkenalkan Hasjim pada serdadu-serdadu Inggris asal India.
Sudah bukan rahasia bila banyak serdadu Inggris asal India yang membelot ke pihak Republik Indonesia. “Secara keseluruhan, ada 746 serdadu India desersi. Dari total 45.000 prajurit, ini sekitar 1,7 persen,” tulis Richard McMillan dalam The British Occupation of Indonesia: 1945-1946. Alasan desersi itu macam-macam, mulai dari tak ingin memerangi sesama Muslim, mendapatkan perempuan, hingga mencari keuntungan materiil.
Baca juga: Alasan Pembelotan Tentara India
Dari para serdadu yang mencari keuntungan itulah Hasjim membeli senjata untuk ALRI Tegal. “Senjata yang aku beli dari tentara Inggris itu umumnya dalam partai kecil-kecil saja. Mereka menjualnya karena memerlukan uang untuk plesiran,” kata Hasjim dalam otobiografinya Pasang Surut Pengusaha Pejuang.
Posisi rendah para serdadu asal India itu membuat mereka tak bisa “bisnis” dalam partai besar. “Bisnis” skala besar Hasjim yakin hanya bisa dilakukan perwira Inggris kulit putih. Hasjim tak tahu apakah ada perwira Inggris kulit putih yang rela “menjual negerinya” demi mendapat keuntungan materi.
Namun, di masa revolusi apapun bisa terjadi. Seperti sebuah undangan yang didapatnya dari pengusaha Agus Dasaad. “Suatu senja Dasaad mengundangku datang ke rumahnya. Di sana aku dapati seorang mayor Inggris. Ia datang bersama istrinya,” sambung Hasjim.
Baca juga: Amuk Inggris di Sungai Beramas
Dari pembicaraan dengan Dasaad dan si mayor itu, Hasjim menjadi tahu bahwa sang mayor akan pulang ke negerinya dan keluar dari dinas militer. Untuk itu, ia memerlukan banyak uang. “Ia punya senjata. Dan ia tahu Republik memerlukannya. Dan ia akan menyerahkan senjata itu kalau diberi uang,” kata Hasjim.
Si mayor juga mengatakan di jipnya sudah ada satu peti berisi beberapa stengun berikut pelurunya. Peti itu akan ditinggalkannya saat itu juga bila dia diberi uang. Namun keinginan mayor itu segera ditolak Dasaad dan Hasjim. “Jangan sekarang. Aku tidak bawa uang,” kata Hasjim.
Kesepakatan lanjutanpun mereka buat. Hasjim bersedia membeli lebih banyak senjata namun tak ingin senapan. Menurutnya, panjangnya senapan membuatnya sulit untuk menyelundupkannya ke Tegal mengingat pengangkutan mesti menggunakan jalur darat sementara pemeriksaan Belanda begitu ketat di berbagai tempat.
Penjelasan Hasjim membuat sang mayor bersemangat. Bukan perkara sulit baginya mengambil senjata dari gudang lantaran dia berasal dari bagian persenjataan. Selama 20 hari dengan dicicil, mayor itu terus mengantarkan senjata pesanan Hasjim ke rumah Dasaad pada waktu senja.
“Kalau aku yang datang lebih dahulu ke rumah Dasaad, pintu jipnya akan selalu tepat di dekat pintu sedanku. Kalau ia yang datang lebih dahulu, maka aku memarkir sedanku di sisi mobilnya. Peti-peti itu dipindahkan menjelang kami akan berpisah. Dasaad dengan Maria (istri mayor, red.) akan berdiri melindungi pandangan orang dari jalan sambil mengobrol. Sedang mayor itu menurunkannya dari jipnya dan aku menyambutnya dalam sedanku.”
Setelah proses pemindahan senjata selesai, Dasaad menalangi pembayarannya. Biasanya dia menyerahkan uangnya kepada Maria sambil bersalaman ketika hendak pamitan. Uang itu akan diganti Hasjim dengan cara dicicil begitu telah mendapat kiriman dari Lip Seng & Co, rekanan ALRI Tegal di Glodok.
Hasjim yang menyimpan senjata-senjata itu di berbagai tempat, akan membawanya ke Tegal dengan menumpang Keretaapi Luar Biasa (KLB). KLB akan membawa delegasi pemerintah Sjahrir berikut beberapa wartawan asing ke Ibukota Yogyakarta. “Biasanya penjagaan di stasiun akan lebih longgar.”
Namun yang jadi permasalahan buat Hasjim adalah, bagaimana membawa peti-peti berisi senjata itu ke gerbong-gerbong KLB. Hasjim pun mendiskusikannya dengan Alinoor Ludin, kawannya yang bekerja sebagai kepala bengkel keretaapi di Stasiun Manggarai. “Serahkan padaku. Aku jamin beres,” kata Alinoor.
Sesuai arahan Alinoor, dibantu beberapa kawan Hasjim pun memasukkan peti-peti senjata itu ke sebuah lokomotif rusak di Manggarai. Lokomotif itu memang direncanakan akan dikirim ke Yogya. Ia lalu dipindahkan ke Stasiun Jatinegara. Di stasiun inilah lokomotif rusak itu disambung dengan rangkaian KLB untuk dibawa ke Yogya.
Baca juga: Pengusaha Tionghoa Penyelundup Senjata
“Akan tetapi sejata itu tidak bisa aku serahkan ke Darwis Djamin di Tegal, karena beberapa bulan sebelumnya ia ditangkap sehubungan kegiatannya bersama Tan Malaka pada peristiwa 3 Juli 1946. Senjata itu aku serahkan pada Laksamana Nazir beserta laporan pertanggungjawaban keuangannya,” kata Hasjim.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar