Pergaulan Ahmad Subardjo dengan Teosofi
Bermula dari hasrat ingin memperdalam agama, Ahmad Subardjo berkenalan dengan aliran Teosofi. Dia belajar bahwa bagi aliran Teosofi ‘tak ada agama yang lebih tinggi dari kebenaran’
SETELAH menamatkan sekolah menengah pada 1917, Ahmad Subardjo segera menentukan sekolah lanjutan yang akan ditempuhnya. Dia berkeinginan belajar di sebuah universitas. Sementara di dalam negeri pendidikan tinggi semacam itu masih sangat terbatas. Sehingga dia pun memilih pergi ke Belanda, melanjutkan pendidikan di fakultas hukum.
Namun pada tahun tersebut, perang masih berkobar di Benua Biru. Akses masuk menjadi sulit. Ditambah kekhawatiran keluarga, yang makin memberatkan langkah Subardjo pergi ke Negeri Kincir Angin. Akhirnya dia memutuskan menunda sampai perang berakhir. Sambil menunggu, Subardjo mempergunakan waktunya untuk belajar bahasa Latin dan Yunani. Keduanya amat dibutuhkan dalam proses belajar nanti, mengingat pendidikan hukum kala itu masih menggunakan teks-teks berbahasa klasik.
“Mereka yang keluaran gymnasium di Negeri Belanda, diperbolehkan segera masuk Fakultas Hukum, karena mereka telah mendapatkan pelajaran dalam bahasa-bahasa klasik tersebut. Tetapi bagi mereka yang berasal dari sekolah menengah umum, seperti kami, harus menempuh ujian tambahan dalam bahasa-bahasa itu,” kata Subardjo.
Baca juga: Tugas Berat Ahmad Subardjo
Bersama dua orang kawan yang sama-sama berencana ke Negeri Belanda, Nazir Datuk Pamuntjak dan Andries Alex Maramis, Subardjo meminta bekas guru sejarah di sekolah menengahnya dahulu, Tuan Green, untuk mengajarkan bahasa klasik. Diceritakan dalam otobiografinya, Kesadaran Nasional: Sebuah Otobiografi, selama dua kali dalam seminggu ketiganya menerima pelajaran tambahan dari Tuan Green. Khusus bagi Subardjo, perkenalan dengan bahasa-bahasa itu telah membangkitkan minatnya kepada aliran Teosofi.
Antara 1917-1919, Subardjo mencoba mengetahui sejauh mana ketertarikannya terhadap aliran itu. Dia lalu berkenalan dengan Zainal Arifin, seorang hakim daerah yang menjadi bagian dari masyarakat Teosofi. Arifin bersama kelompok Teosofi di Batavia menempati sebuah kawasan di Koningsplein-West (sekarang Merdeka Barat) bernama Blavatsky-park.
Subardjo berkali-kali berkunjung ke sana untuk mencari informasi tentang tujuan dan obyek Teosofi. Dia mendapati bahwa organisasi itu bersifat internasional dengan pengaruh yang amat luas. Dengan tak berprasangka terhadap agama-agama lain dan aliran-aliran kepercayaan apapun, isi pada praktek-praktek Teosofi menarik perhatian Subardjo.
Baca juga: Kisah Penangkapan Ahmad Subardjo
“Arifin merasa senang, bahwa aku menjadi anggota masyarakat Teosofi itu, terutama ketika aku pindah dari rumah ke villanya yang menyenangkan itu, serta menjalankan tugas-tugas dan kewajiban seorang Teosofis. Aku baru memutuskan setelah aku mempelajari dengan cermat latar belakang sejarah dari Teosofi itu,” uajarnya.
Sejak tinggal di Blavatsky-park, Subardjo mulai berkenalan dengan orang-orang terpandang di kelompok Teosofi itu, seperti B. Fournier, seorang pejabat tinggi Belanda di Jawatan Pos, Telepon, dan Telegraf. Dalam berbagai kesempatan makan malam di kediaman Fournier, Subardjo semakin memperdalam pengetahuannya akan ilmu Teosofi, terutama tentang pengaruh-pengaruhnya bagi perkembangan jiwa manusia.
Ada juga pertemuan mingguan yang rutin diadakan pemuka-pemuka Teosofi di Batavia. Jumlah peserta yang ikut pun tidak main-main. Mereka berasal dari berbagai kalangan, baik Eropa maupun bumiputra. Bagi Subardjo, pertemuan yang bertajuk kuliah umum itu lebih mirip khotbah. Isinya banyak memperingatkan para peserta untuk melakukan meditasi secara teratur dan membaca karangan-karangan mengenai Teosofi, serta berusaha mempraktekan ajaran Teosofi di kehidupan nyata agar dapat menjaga moral baik di masyarakat.
“Sebenarnya, dalam kecenderungan untuk mengetahui diri sendiri, berterus terang kepada diri sendiri, ternyata yang mendorongku ke Teosofi hanyalah perasaan ingin tahu, bukan agama. Naluriku terhadap agama adalah berdasarkan agama Islam, sesuai dengan agama yang secara turun-temurun kudapatkan dari nenek moyangku dari Aceh,” kata Subardjo.
“Sedangkan, ajaran-ajaran Teosofi berisikan lebih banyak unsur agama Hindu, daripada ajaran-ajaran agama Islam,” lanjutnya.
Masyarakat Teosofi, imbuh Subardjo, memiliki semboyan: Tak ada agama yang lebih tinggi dari kebenaran. Mereka berpegang kepada keyakinan bahwa kebenaran harus dicari melalui penyelidikan, renungan, kesucian hidup, dan berbakti untuk cita-cita yang luhur. Kalangan mereka juga menganggap bahwa kepercayaan seharusnya merupakan hasil dari penyelidikan atau naluri sendiri, dan bukan karena suatu yang terjadi dulu, dan seharusnya berdasarkan pengetahuan, bukan pada pernyataan.
Ada begitu banyak hal di dalam keyakinan masyarakat Teosofi yang membuat kagum Subardjo. Tetapi ada banyak pula syarat-syarat yang dipaksakan kepada anggotanya. Seperti kewajiban bermeditasi, dan mendengarkan khotbah mingguan yang tidak bisa diterima Subardjo. Meski rasa haus akan pengetahuan agama begitu kuat dalam diri Subardjo, namun dia merasa ilmu Teosofi tidak bisa secara penuh menyegarkannya.
“Mungkin sekali aku tak berbakat untuk mendapat pengetahuan yang inti dalam bentuk seperti yang diterangkan oleh peraturan-peraturan dari masyarakat tersebut. Akhirnya aku menyerah dalam usahaku untuk menjadi seorang anggota Teosofi yang baik, dan pindah dari Blavatsky-park untuk kembali berkumpul dengan keluargaku,” kata Subardjo.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar