Orang-Orang Rawagede
Bagaimana pengalaman orang-orang yang lolos dari suatu operasi militer yang brutal pada penghujung 1947. Mencoba berdamai dengan masa lalu.
Hawa panas menyengat kawasan Pantai Sadari Karawang siang itu. Deretan pohon bakau melambai-lambai kala disapa angin. Suara debur ombak pantai utara terdengar lembut bersanding dengan bau anyir ikan dari arah kampung nelayan setempat.
Di sebuah rumah usang yang terletak dekat pantai, kendaraan yang saya tumpangi berhenti. Dari dalam, seorang perempuan uzur muncul. Tertatih-tatih dia menyambut saya. Tubuhnya gemetaran karena pengaruh usia.
“Kita bicara di luar saja ya, di dalam gelap…” jawabnya dalam bahasa Sunda berlogat pesisir.
Wanti nama perempuan tua itu. Dia adalah salah satu janda korban pembantaian militer Belanda di Dusun Rawagede pada 1947. Bersama seorang korban, anak korban dan tujuh janda korban Rawagede lainnya, pada 2011 dia menggugat pemerintah Belanda ke Pengadilan Tinggi di Den Haag. Setelah melalui jalan berliku, upaya mereka berhasil. Namun apakah itu menjadikan hidup mereka lebih baik?
*
Selasa, 9 Desember 1947…
Tar! Tar! Tar! Dum! Dum! Dum!
Orang-orang Rawagede dikejutkan oleh suara stengun dan brengun yang menyalak tiba-tiba dari arah timur pagi itu. Demi mendengar tembakan-tembakan tersebut, kontan para laki-laki yang belum sempat berangkat ke sawah berhamburan ke arah Kali Balong sedang kaum perempuan dan anak-anak justru memilih bertahan di rumah.
Baca juga:
Wanti yang saat itu tengah hamil tua memilih bersembunyi di bewak (bekas lubang perlindungan zaman Jepang) yang ada di bawah rumah panggungnya. Begitu juga dengan nenek dan kakeknya. Saat berlindung tetiba dia teringat Sarman, suaminya yang beberapa jam lalu sudah pergi sawah. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa.
Dalam kondisi penuh ketegangan, tetiba seorang tentara Belanda berseragam loreng masuk ke lingkungan rumah Wanti. Sambil membawa senjata, dia langsung membuka pintu bewak dan membentak dalam bahasa Melayu: “Kemana laki-lakinya?”
“Tidak ada Tuan”, jawab Wanti dalam nada gemetar.
“Pergi ke mana?!”
“Ke sawah, Tuan.”
Serdadu bule itu kemudian menunjuk dua orang tua yang saat itu tengah sembunyi di kolong meja.
“Ini siapa?”
"Ini kakek saya, Tuan. Itu nenek saya, Tuan.”
Setelah menggeledah seluruh sudut ruangan, sang serdadu pun berlalu.
Sementara itu di tempat lain, Telan melakukan langkah seribu ke arah Kali Balong. Pemuda yang dikenal sebagai anggota Lasykar Hizbullah itu lantas berjalan menyisir tepi kali untuk mengamankan diri ke arah Desa Mekarjaya, yang bertetangga dengan Dusun Rawagede.
“Suasana sangat mencekam kala itu. Suara tembakan terdengar diringi jeritan kaum perempuan dan anak-anak kecil,” ujar lelaki kalahiran Rawagede itu.
Beberapa waktu kemudian, rombongan serdadu-Belanda berpakaian macan tutul memasuki Rawagede. Mereka adalah anggota Yon 3-9-RI Divisie 7 December, sebagian kecil prajurit 1e Para Compagnie dan 12 Genie Veld Compagnie (keduanya merupakan brigade cadangan dari pasukan parakomando Depot Speciale Troepen) pimpinan Mayor Alphons J.H. Wijnen.
Begitu memasuki dusun, mereka langsung beraksi. Sebagian berjaga-jaga di mulut dusun, sedang sebagian lagi menyebar, mendobrak pintu rumah (termasuk rumah Wanti) dan memerintahkan secara kasar agar para penghuninya keluar.
“Para perempuan dan anak-anak mereka biarkan begitu saja, tapi kaum lelaki yang tak sempat lari dikumpulkan dalam beberapa kelompok,” kenang almarhum Sai, salah seorang penduduk Rawagede yang belakangan lolos dari maut.
Satu kelompok yang yang berisi 15 laki-laki lantas dijejerkan. Seorang sersan berkulit putih lantas menanyai satu persatu orang-orang tersebut dalam nada membentak.
"Ekstrimis ya?!”
“Bukan, Tuan”
“Kamu tahu di mana itu Laskar?! Kamu tahu Lukas?!”
“Tidak tahu, Tuan…"
Mendengar jawaban kompak para lelaki yang tertangkap, tanpa banyak bicara lagi, seorang serdadu Belanda yang berdiri di bagian belakang para tawanan lantas mengokang senjatanya.Tratatatatatatat...Tratatatatatat…Tratatatatatat. Darahpun berhamburan, mengental merah mewarnai bumi Rawagede.
*
Beberapa jam setelah pembantaian itu…
Langit Rawagede dibekap mendung. Suara ratusan burung gagak mengoak, bersanding dengan teriakan pilu dan tangisan sekelompok perempuan yang kehilangan anak dan suami. Bau mesiu masih menyengat, bercampur dengan bau anyir darah yang tercecer di tanah, dedaunan dan sisa-sisa kayu bekas bangunan yang terbakar.
Di beberapa sudut kaum perempuan mengorek tanah dengan golok. Sekuat tenaga, mereka berupaya memakamkan secara layak mayat suami, anak ataupun ayah mereka. Usai menguburkan jasad-jasad itu di dalam lobang yang dangkal, mereka lantas menumpuk makam-makam itu dengan daun jendela, kayu bakar, daun pintu yang merupakan sisa puing-puing rumah mereka yang dibakar militer Belanda.
Wanti adalah salah satu dari ratusan perempuan tersebut. Bersama ayah dan ibu mertuanya, ia memakamkan jasad Sarman tepat di di halaman rumahnya.
“Setelah mencari kesana kemari, saya menemukan tubuh kaku suami saya tertelungkup di daerah Sumur Bor dengan kepala dan tengkuk berlubang penuh darah…” kenangnya.
Telan termasuk yang kehilangan keponakan dan kakak: Sewan dan Natta. Begitu juga ratusan orang Rawagede lainnya. Tidak saja di dalam dusun, di Kali Cibalong pun ratusan pemuda Karawang yang meregang nyawa terbawa hanyut. Telan, masih menyaksikan Tong Wan (pemuda Tionghoa yang bergabung dengan Hizbullah) sekarat lalu dibawa hanyut air Kali Balong yang saat itu tengah banjir.
“Sebelum ditembak, ia sempat berteriak: merdeka! “ ujar lelaki tua yang pada 2019 baru saja meninggal itu.
*
Hawa panas yang menyengat kawasan Pantai Sadari Karawang sudah mulai tak terasa. Tapi deretan pohon bakau masih melambai-lambai disapa angin laut sore. Wanti tua kembali melangkah masuk diringi Sopia, salah satu putrinya yang tersisa. Dia kemudian duduk di kursi butut tanpa meja sambil menghadap saya.
“Hingga sekarang, Emak tak pernah mengerti mengapa suami Emak dibunuh. Dia hanya seorang petani, bukan tentara atau laskar,” ujar Wanti dalam nada lirih.
Sebagai konsekuensi dari kekalahannya di Pengadilan Tinggi Den Haag, Pemerintah Belanda akhirnya meminta maaf dan memberikan sejumlah uang kompensasi (jika dirupiahkan sebanyak Rp. 240.000.000,00) kepada para penggugat. Apakah uang kompesasi tersebut sampai kepada mereka?
“Ya sampai. Walaupun saya hanya menerima uang utuhnya ke tangan sekitar 40 juta rupiah, tapi Alhamdulillah saya sendiri bisa membeli rumah ini dan satu televisi untuk hiburan,” kata nenek dari beberapa cucu itu.
Wanti sendiri tidak pernah mempersoalkan haknya yang terpotong oleh berbagai pihak. Dia malah merasa bersyukur bahwa di masa tuanya bisa menerima kemurahan Tuhan dengan memiliki rumah sendiri, kendati kondisinya sangat memprihatinkan (ketika awal 2019 saya ke Pantai Sedari, rumah Wanti sudah hancur dimakan abrasi). Bagi salah satu saksi sejarah yang masih tersisa ini, kehilangan suami dan dihantui rasa trauma sejatinya tak bisa terbayar oleh uang sebanyak apapun.
“Saya selalu berusaha melupakan kejadian itu. Tapi kalau lagi sendiri kadang bayangannya muncul begitu saja, membuat saya kembali bersedih…” ujarnya dalam nada pelan. Setitik air bening meleleh di kulit pipinya yang keriput.
Tulisan ini dibuat untuk mengenang Bu Wanti dan Pak Telan, yang beberapa waktu lalu baru saja mangkat…
Tambahkan komentar
Belum ada komentar