Mabuk Pisang Kiriman
Pengalaman tapol menerima kiriman dari anaknya. Lantaran terlalu lama melewati pemeriksaan, yang dikirimi paket pun kena getahnya.
Mia Bustam, pelukis yang tergabung dalam Seniman Indonesia Muda (SIM), senang bukan kepalang. Romo Verlaan, pastur yang bersama Suster Van Vliet rutin membina misa tiap minggu di Kamp Plantungan, memberinya kabar baik. “Ada paket dari Atik,” kata Romo Verlaan kepada Mia, menjelaskan Nasti (anak Mia yang tinggal di Yogyakarta) menitipkan kepadanya kiriman makanan.
Bagi tahanan politik (tapol) di Kamp Plantungan seperti Mia, kiriman makanan merupakan sebuah kemewahan. Maklum, jatah makan mereka amat minim dan tak manusiawi. Untuk mendukung kebutuhan hidup para tapol di kamp, keluarga dan orang sekitar tak jarang memberikan bingkisan.
“Tahanan politik diperbolehkan menerima surat dan kiriman dari keluarga, tapi sebelumnya harus melewati sensor dari penjaga kamp,” kata Amurwani Dwi Lestariningsing dalam buku Gerwani Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan.
Sayangnya, sensor tersebut semena-mena. Kiriman dari keluarga sering berhenti di penjaga kamp dan tidak pernah sampai ke tapol. Kebiasaan itu, kata Mia dalam memoarnya Dari Kamp ke Kamp, sebagai korupsi kecil-kecilan dan tidak hanya terjadi di Plantungan, tapi juga Wirogunan. Petugas memeriksa kiriman dari keluarga tapol sambil mencomoti barang yang terlihat menarik.
Baca juga: Makanan para Tahanan
Hal itu dialami Sri Kayati, tapol lain di Kamp Wirogunan. Beras yang dikirimi keluarganya berhenti di petugas. Sri tak pernah menerimanya. Tapi ketika keluarganya mengirim nasi aking, kiriman itu sampai dalam kondisi utuh.
Maka, begitu Mia mendapat kabar dari Romo Verlaan, dia amat senang dan tak sabar untuk segera mendapat panggilan dari petugas kamp sekaligus khawatir kiriman dari Nasti tak akan sampai. Pasalnya, Nasti sebelumnya pernah menitipkan surat sepanjang 9 halaman ke Romo Verlaan. Surat itu tak langsung sampai ke Mia. Komandan kamp membaca surat itu bolak-balik di rumahnya sebelum menyerahkan ke Mia.
Panggilan yang Mia tunggu tak kunjung datang. Takut hal serupa terulang, Mia menghampiri petugas. Benar saja. Paket sudah habis dibagikan, kata petugas. Mia pun mengejar Romo Verlaan dan Suster van Vliet yang hendak pulang diantar komandan kamp.
“Romo, tadi katanya ada kiriman tapi kok kata petugas tidak ada,” kata Mia. Seketika Romo Verlaan dan Suster berpandangan.
Baca juga: Ranjau di Setiap Suapan
Benar saja, Suster van Vliet yang dipasrahi membawa kiriman ternyata lupa. “Oh, pasti ketinggalan di kamar lain (di susteran, red.),” kata Suster van Vliet sambil memegang kepala.
“Sudahlah, Suster. Kirim saja paket itu ke rumah saya di Ambarawa. Dua minggu lagi saya akan pulang, jadi paket itu bisa saya bawa kemari,” kata komandan kamp.
Dua puluh hari kemudian paket itu datang. Untung isinya bahan-bahan kering seperti teh, gula pasir, susu, dan lauk kering. Tapi 10 buah pisang rebus dalam plastik kadung berenang dalam air. Mia tetap membukanya. Eman, pikirnya. Ia cicipi sedikit dan ternyata rasanya manis sekali. Ketika airnya ia seruput sedikit demi sedikit sampai habis, seketika Mia kliyengan. “Air pisang itu telah beralkohol rupanya, seperti liquor pisang,” kata Mia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar