Kisah Sedih dari Peristiwa Cikini
Bagaimana seorang korban Peristiwa Cikini harus hidup dengan serpihan granat di paru-parunya. Mesti rela melepaskan cita-citanya untuk menjadi seorang pilot tempur.
Potongan peristiwa malam itu teramat jelas di ingatannya. Kata demi kata ia rangkai untuk menggambarkan bagaimana pilunya situasi 63 tahun lalu, saat sebuah granat meledak tepat dua meter di depannya. Ledakan yang sebenarnya diarahkan kepada presiden pertama RI itu ternyata malah berujung pada kisah sedih baginya dan ratusan orang yang hadir dalam perayaan hari jadi ke-15 Perguruan Cikini pada 1957.
Budiono Kartohadiprojo (74 tahun), usianya baru 11 tahun saat peristiwa berdarah itu terjadi. Kala itu ia bersama kakaknya sedang bermain di area wahana permainan. Namun sayang kupon permainan milik Budiono telah habis sehingga ia tidak bisa bermain lagi, sementara kakaknya masih sibuk menikmati permainannya. Saat itulah ia mendengar pengumuman bahwa Presiden Sukarno hendak pulang.
“Saya itu orang yang senang dengar sesuatu yang agak ribut-ribut. Jadi saya ingin dengar suara Harley Davidson milik pengawal Sukarno,” kata Budiono saat membagikan pengalamannya dalam acara Webinar “Peringatan 63 Tahun Peristiwa Cikini”, Senin (30/11/2020).
Baca juga: Kisah Putra-Putri Bung Karno dalam Peristiwa Cikini
Maka, ia pun lari ke depan sekolah untuk melihatnya. Ia berdiri tepat di pilar gerbang masuk Perguruan Cikini. Tidak lama, Sukarno datang dari arah sekolah. Sambil berjalan perlahan, sang presiden melempar sapa ke para peserta acara yang telah menunggunya. Di sinilah petaka terjadi. Sekira dua meter di depan Budiono terdengar sebuah bunyi ledakan. Para ajudan dengan sigap melindungi Bung Karno dan membawanya lari.
Tidak berselang lama, ledakan kedua kembali menggelegar. Kali ini jaraknya kurang dari dua meter dari tempat Budiono berdiri. Titik itu, kenang Budiono, adalah tempat di mana sang presiden sebelumnya berdiri. Sementara situasi semakin tidak terkendali, Budiono merasa ada sesuatu yang memukul dadanya. Saat dipegang, ia mendapati tubuhnya dipenuhi darah.
“Kemudian saya mendengar orang-orang meminta tolong, dan menjerit-jerit. Banyak orang juga yang bertiarap. Sebagai anak kecil yang tidak tahu apa-apa saya duduk di situ. Tapi saya merasakan nafas saya semakin lama semakin sakit,” ujar Budiono.
Baca juga: CIA dalam Peristiwa Cikini
Ia lalu bersandar ke sebuah tiang di dekatnya. Saat itu Budiono tidak bisa melihat situasi di sekitarnya karena semuanya gelap tertutup asap. Setelah seluruh ledakan selesai, tim penolong mulai berkeliling untuk mencari korban-korban selamat. Salah satu tim penolong berhasil menemukan Budiono yang tengah terduduk dan segera membawanya ke dalam sekolah.
Masih dalam kondisi sadar, siswa kelas 6 SD itu ingat dirinya dimasukkan ke dalam sebuah mobil yang membawanya ke Rumah Sakit Cikini. Rupanya rumah sakit tersebut sudah dipenuhi korban-korban lain. Ia lalu dibawa ke RS St. Carolus, yang ternyata juga sudah penuh. Akhirnya Budiono dilarikan ke RS Cipto Mangkunkusumo. Setelah dilakukan rontgen, ia langsung dimasukkan ke ruang operasi. Saat itulah Budiono kehilangan kesadarannya.
Baca juga: Empat Sekawan dalam Penggranatan
Budiono menjadi satu dari sedikit korban luka berat yang masih mungkin bertahan hidup. Itulah mengapa ia cepat mendapat penanganan hingga dilakukan operasi. Budiono dirawat selama hampir 13 hari di rumah sakit. Dan ketika hendak melakukan pemeriksaan rutin, dua minggu setelahnya, ia akhirnya tahu bahwa kondisi tubuhnya sebelum dioperasi sangatlah gawat.
Ada serpihan granat yang bersarang di dalam paru-paru Budiono. Ketika akan dioperasi, tim dokter harus membuat keputusan, apakah mengangkatnya atau membiarkannya. Jika diangkat kemungkinan terjadinya kebocoran paru-paru pasti ada, sedangkan jika dibiarkan para dokter belum mengetahui efek sampingnya. Begitu juga serpihan granat yang bersarang di pundaknya. Jika operasi dilakukan, fungsi saraf dipundaknya akan terganggu.
“Jadi saat ini ada dua serpihan granat yang ada dalam tubuh saya,” katanya.
Baca juga: Cerita Mega Tentang Upaya Pembunuhan Ayahnya
Paca Peristiwa Cikini, perubahan drastis terjadi dalam hidup Budiono. Ia harus rela melepaskan cita-citanya sebagai pilot tempur di Angkatan Udara RI akibat tragedi tersebut. Padahal Budiono termasuk dalam daftar calon terbaik keanggotaan pilot AURI kala itu. Namun saat akan dilakukan seleksi terakhir, yakni tes kesehatan, Budiono mengungkapkan hasil operasinya kepada tim dokter AURI hingga keinginannya untuk menjadi pilot pesawat tempur tak diluluskan.
Budiono kembali menemukan fakta mengejutkan. Dalam keterangan dokter yang menangani operasinya, diketahui bahwa serpihan granat telah merusak pembuluh darah Arteri Pulmonalis miliknya. Sehingga operasi yang dilakukan kala itu, selain upaya mengangkat serpihan di paru-paru, adalah untuk memperbaiki pembuluh darahnya tersebut. Maka menurut aturan, kondisi tersebut tidak bisa mengantarnya menjadi seorang pilot.
“Saya sangat menyayangkan yang melempar granat itu kok tidak ada peri kemanusiaannya. Dia melempar granat di tempat banyaknya murid-murid, anak-anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Ini menurut saya merupakan suatu tindakan yang biadab bagi seseorang yang melempar granat itu,” ujar Budiono.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar