Kisah Putra-Putri Bung Karno dalam Peristiwa Cikini
Guntur dan Mega nyaris menjadi korban pengeboman di Cikini. Saat itu mereka bertugas sebagai penjaga pameran peringatan HUT ke-15 Perguruan Cikini.
Cikini, 30 November 1957. Sedari siang kesibukan terjadi di Perguruan Cikini. Para guru dan siswa tengah bersiap menyambut kedatangan Presiden Sukarno ke sekolahnya. Hari itu adaah hari istimewa bagi Perguruan Cikini. Sekolah yang dibangun pada masa Jepang tersebut akan merayakan hari jadi ke-15.
Perayaan tersebut dibuat begitu meriah. Pihak sekolah menggelar bazar dan malam amal. Alunan musik, pameran, serta beragam wahana permainan pun dihadirkan. Mereka turut mengundang para orang tua siswa, termasuk Presiden Sukarno. Sebagai ayah dari Megawati dan Guntur yang merupakan murid di Perguruan Cikini, Sukarno berkepentingan untuk hadir dalam perayaan tersebut.
Suasana meriah sore itu makin semarak kala iring-iringan sepeda motor dan mobil presiden memasuki halaman sekolah. Kehadiran sang presiden disambut sumringah para siswa dan semua orang yang hadir. Seketika para peserta mengerumuni Sukarno yang baru keluar dari mobilnya. Mereka berebut mendekat untuk menjabat tangan dan menyapa Si Bung Besar.
Baca juga: Cerita Mega Tentang Upaya Pembunuhan Ayahnya
Sekira pukul 8 malam, Sukarno telah selesai mengikuti acara perayaan. Ia keluar dari gedung Perguruan Cikini menuju halaman sekolah. “Dengan suasana hati yang gembira aku mempermainkan rambut seorang anak yang berjalan di samping sebelah kiriku dan mendekap anak yang melekat ke kaki kananku,” kata Sukarno seperti ditulis Cindy Adams dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Kepala sekolah Sumadji dan ketua panitia acara Ny. Sudardjo mengantarkan Sukarno menuju mobil kepresidenan yang menunggu di teras sekolah. Sang presiden hendak kembali ke kediamannya. Sementara Guntur dan Mega tidak ikut pulang. Mereka memilih tetap di sekolah, menonton film yang bakal diputar selepas resepsi.
Belum sempat melangkah masuk ke dalam mobil, ledakan menggelegar dekat tubuh Sukarno. Dengan sigap para personel Detasemen Kawal Pribadi (DKP), pasukan pengawal Sukarno pimpinan Komisaris Besar Mangil Martowidjojo, memberikan perlindungan. Bung Karno lalu dibawa berlari masuk ke gedung di depan sekolah. Sementara presiden diamankan, putra-putrinya terjebak di tengah kerumunan. Guntur, misalnya, mesti mencari tempat berlindungnya sendiri.
Baca juga: Peristiwa Cikini, Percobaan Pertama Pembunuhan Sukarno
“Yang Mas To (sapaan Guntur) ingat sih begitu Mas To denger ada suara ledakan tadinya Mas To pikir itu suara kenalpot motor Harley Davidson polisi. Setelah denger itu Mas To kaget karena keras suaranya dan suaranya agak lain dari kenalpot. Mas To waktu itu mulai tahu bahwa ini pasti bahan peledak. Karena tahu bahan peledak Mas To waktu itu panik, gak bisa mikir jadi bengong untuk beberapa saat,” ujar Guntur ketika membagikan pengalamannya dalam acara Webinar “Peringatan 63 Tahun Peristiwa Tjikini 1957” pada Senin (30/11/2020).
Setelah bisa mengendalikan diri, Guntur lalu berpikir untuk segera berlindung. Ia melihat sekeliling dan menemukan tumpukan peti minuman limun. Guntur pun melompat. Di antara peti-peti tersebut ia tiarap. Tidak lama teman-temannya ikut tiarap di dekatnya. Mereka menunggu situasi dirasa aman. Guntur berlindung di sana sampai ledakan ke-5, sebelum akhirnya keluar untuk mencari pertolongan.
Baca juga: Modus Upaya Pembunuhan Sukarno
Guntur saat itu terpisah dari Mega. Mereka sebenarnya ada di lokasi yang sama saat persitiwa terjadi. Keduanya mendapat tugas mengawasi area pameran. Guntur menjaga wahana permainan, sedangkan Mega ditugasi menjaga pameran. Namun kepanikan akibat ledakan itu membuat orang-orang berhamburan mencari tempat berlindung. Kakak-beradik kesayangan Sukarno itu pun tidak bisa menjaga satu sama lain.
Dalam acara peluncuran buku Seri Historia pada 30 November 2017 di Museum Nasional, Jakarta, Mega menceritakan pengalaman pilu yang menimpanya itu. Mega ingat betul bahwa sebelum terjadi ledakan, teman-temannya begitu senang melihat kedatangan ayahnya. Mereka bercengkrama akrab dengan Sukarno.
“Tidak terlupa karena korbannya dari kawan saya ada 100-an orang, baik meninggal, luka parah, atau luka kecil. Ada beberapa yang cacat seumur hidup,” tutur Mega.
Guntur melihat kejadian tersebut sebagai upaya melemahkan kedudukan ayahnya. Menurutnya Sukarno sebagai tokoh penting di balik lahirnya Pancasila berusaha dijatuhkan oleh kelompok-kelompok yang tidak senang dengan keberadaan Pancasila. Kelompok itu ingin mengganti dasar negara Indonesia menjadi berlandaskan agama.
Baca juga: Empat Sekawan dalam Penggranatan Cikini
Peristiwa itu sendiri berhasil diusut cepat. Para pelaku diciduk tiga hari pasca kejadian. Komandan KMKBDR (Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya) Mayor Dachyar melaporkan bahwa para pelaku berasal dari Bima, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Mereka sudah dalam penahanan dan siap diadili. Menurut arsip Dinas Pembinaan Mental, Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat: Berkas Perkara Cikini 1957, para pelaku terdiri dari Jusuf Ismail (24), Sa’adon bin Mohammad (18), Tasrif Bin Hoesain (23), dan Mohammad Tasim bin Abubakar (22).
Surjo Sediono dalam Peristiwa Tjikini, menyebut jika Jusuf, Sa’adon, dan Tasrif divonis hukuman mati. Ketiganya dieksekusi pada 30 Mei 1960. Sementara Tasim, yang diketahui hanya berperan menyimpan dan mengeluarkan granat untuk rekan-rekannya, diputuskan hukuman penjara 20 tahun.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar