Kala Benny Moerdani Kerjai Kolonel Djarot
Demi menyukseskan misi rahasia upaya normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia, Benny Moerdani mengerjai atase militer Bangkok Kolonel Djarot.
Mayor Benny Moerdani bergerak cepat. Begitu mengetahui Menhan Malaysia Tun Abdul Razak akan singgah di Bangkok sepulang dari kunjungannya ke Burma (kini Myanmar) pada pertengahan Juli 1965, Benny bersama Letkol Ali Murtopo, atasannya di Opsus (Operasi Khusus), organ intelijen di bawah Kostrad, langsung ke Bangkok untuk mendapatkan kontak Razak.
Upaya Benny itu merupakan kelanjutan dari upaya membuka pintu normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia yang sedang panas akibat Konfrontasi. Sebelumnya, Benny telah melakukan pertemuan penjajakan dengan wakil Malaysia Ghazali Shafie, kepala Intelijen Keamanan Nasional (kelak menjadi menteri dalam negeri dan menteri luar negeri Malaysia), dan Des Alwi, anak angkat Sutan Sjahrir yang tinggal di Malaysia selepas PRRI-Permesta.
“Langkah mengakhiri konfrontasi sudah dimulai bahkan sejak konfrontasi itu muncul,” kata Mindra F dalam “Normalisasi RI-Malaysia Tak Ada Yang Menang, Apalagi Kalah”, dimuat dalam Warisan [Daripada] Soeharto.
Malaysia membuka upaya normalisasi pada pertengahan 1964 lewat Ghazali Shafie yang menemui Menpangad A. Yani di Hongkong. Sementara, Indonesia lewat utusan yang dikirim Presiden Sukarno. Menurut Harry Tjan Silalahi, intelektual CSIS yang dekat dengan Benny, upaya normalisasi dari pihak Indonesia diupayakan bukan hanya oleh satu pihak. “Masing-masing kirim utusan. Presiden Sukarno kirim, Ahmad Yani kirim, Soeharto kirim. Presiden mengirim agar mendapat cara penyelesaian konfrontasi tanpa kehilangan muka,” ujarnya kepada Historia pada 2013. Namun, semua utusan itu tak membawa hasil.
Upaya normalisasi dari Indonesia baru makin serius ketika AD makin terang-terangan menentang konfrontasi. “Belakangan Yani dan stafnya merekrut Soeharto untuk memainkan peranan rahasia yang penting dalam usaha mereka untuk menggembosi konfrontasi, kampanye anti-Malaysia Sukarno,” tulis John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal. “Barangkali Yani dan kepala intelijennya, S. Parman, mempercayakan kepada Soeharto tugas yang peka ini sehingga mereka bisa dengan tenang mengingkarinya seandainya komplotan mereka terbongkar,” sambung Roosa.
Baca juga: Percikan Awal Sebuah Konfrontasi
Di bawah Soeharto, upaya normalisasi berjalan lebih serius dan kontinyu. Dia menugaskan Ali Murtopo yang kemudian memerintahkan Benny sebagai pelaksana lapangan. Meski memakan waktu panjang dan melelahkan, Benny-Ali akhirnya mendapat kontak Razak lewat Des Alwi. Dari Razak, Opsus pun akhirnya berhasil masuk ke PM Tunku Abdul Rahman.
Untuk membuktikan keseriusan pihak Indonesia, Benny lalu mengusulkan agar Indonesia mengirim delegasi resmi ABRI ke Malaysia. Usul itu disampaikannya ketika pulang ke Jakarta menghadap Pangkostrad Mayjen Soeharto, dan Soeharto menyetujuinya.
Namun, bukan perkara mudah untuk mengirim delegasi resmi secara sembunyi-sembunyi menggunakan pesawat AURI. Apabila pers mencium, Presiden Sukarno bisa marah. Sementara bila sembunyi-sembunyi, risiko pesawat AURI ditembak pasukan Inggris amat besar. Tapi Benny tak terlalu ambil pusing untuk urusan yang di Malaysia karena yakin Razak dan Shafie pasti sudah mengatasinya.
Baca juga: Saat Benny Moerdani Dikira Takut Terjun
Benny akhirnya terbang ke Bangkok untuk meminta bantuan Kolonel Sugeng Djarot, atase militer Indonesia di Bangkok, sehari sebelum delegasi ABRI bertolak ke Kuala Lumpur. Djarot langsung “diculik” Benny ke Bandara Don Muang. Tentu saja upaya Benny membuat Djarot bingung sehingga dia menanyakan akan dibawa ke mana.
“Sudahlah, pokoknya kita rekreasi,” jawab Benny, dikutip Julius Pour dalam Tragedi Seorang Loyalis.
Mendengar jawaban Benny, Djarot pun senang. Namun kesenangannya hanya sesaat karena pengumuman awak kabin menginformasikan bahwa pesawat yang ditumpanginya akan bertolak ke Kuala Lumpur. Seketika, wajah Djarot langsung pucat. Makanan yang disajikan awak kabin tak disentuhnya.
Baca juga: Kolonel Djati Nyaris Ditembak Anak Buah "Benny" Moerdani
Esok paginya, Djarot yang masih bingung diajak Benny ke Bandara Subang. Setelah diberitahu bahwa mereka akan menyambut rekan dari militer Indonesia dan disarankan, Djarot mengenakan seragam TNI-AD lengkap. Namun begitu tahu di bandara hanya dia sendiri yang mengenakan seragam militer Indonesia, Djarot kembali kaget.
“Ben, kalau nati ada apa-apa, nanti bagaimana?” tanya Djarot dalam bahasa Jawa.
“Yah, kalau Bung Karno besok tahu yang ditangkap nanti kan Anda,” jawab Benny juga dengan bahasa Jawa.
“Diancuk...” kata Djarot.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar