Sumber Pemasukan Kerajaan Kuno
Sumber pemasukan kerajaan-kerajaan kuno dari pajak tanah hingga pajak orang asing.
Kerajaan-kerajaan kuno punya kebijakan meringankan pajak bagi desa-desa perdikan (sima). Namun, pemasukan negara tetap terjaga, salah satunyaa dari pajak. Semua penduduk wajib membayar pajak. Di samping mereka harus kerja bakti untuk raja atau kerajaan.
Menurut arkeolog UGM, Djoko Dwiyanto membayar pajak merupakan komitmen rakyat untuk menjaga keselarasan hubungan sosial dengan rajanya.
“Seorang raja dianggap dapat melindungi, melayani, dan menyejahterakan rakyatnya,” tulisnya dalam “Pungutan Pajak dan Pembatasan Usaha di Jawa Pada Abad IX-XV Masehi” dalam Jurnal Humaniora I/1995.
Pajak Tanah
Ada beberapa hal yang dikenai pajak. Pertama, pajak tanah. Ini terkait dengan istilah pajak dalam bahasa Jawa Kuno yang disebut drabya haji. Selain punya arti pajak secara umum, ia jua berarti “milik raja”.
Djoko menjelaskan, pengertian ini muncul dari anggapan kalau rajalah yang punya hak atas tanah dan segala aktivitas di atas tanah itu. Sementara rakyat hanya punya hak menggarap dan mengelola.
“Hak raja atas sebagian pembagian hasil itu diwujudkan dalam bentuk iuran sejumlah emas dan perak. Iuran ini harus diserahkan ke kas kerajaan,” lanjut Djoko.
Baca juga: Sriwijaya Genjot Pajak
Tanah yang kena pajak yaitu sawah, pegagan atau sawah kering, kebun, sungai, rawa, dan lembah sungai. Besar pajaknya ditetapkan berdasarkan luas tanah, terutama untuk sawah dan kebun.
Menurut epigraf Boechari dalam “Kerajaan Matarām dari Prasasti" yang terbit di Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti,” petugas kerajaan yang mengukur tanah itu bernama wilang thani. Artinya pemerintah pusat punya daftar catatan tentang luas dan berbagai macam tanah yang ada di seluruh kerajaan, dan berapa penghasilan pajak yang dapat diterima.
Penetapan itu seringkali menimbulkan sengketa akibat standar ukuran yang berbeda. “Beberapa contoh kasus terjadi berupa permohonan revisi pajak dengan cara mengukur kembali luas tanah yang akan dikenai pajak,” jelas Djoko.
Pajak Orang Asing
Kedua, pajak perdagangan dan usaha. Boechari menerangkan usaha yang dimaksud yaitu hasil kerajinan dan keahlian tertentu yang digunakan untuk mencari nafkah seperti pesinden, pelawak, penabuh gamelan, dan dalang.
Ketiga, pajak orang asing yang dalam prasasti disebut warga kilalang. Misalnya, dalam Prasasti Palebuhan (927 M) disebut orang asing yang wajib membayar pajak, yaitu keling, Arya, dan Singhala.
“Gambaran yang diperoleh dari prasasti orang asing masa itu erat kaitannya dengan perdagangan,” jelas Djoko.
Pajak yang dikenakan kepada mereka bukan karena aktivitasnya, melainkan keberadaannya sebagai orang asing.
Keempat, pajak keluar masuk wilayah yang dalam prasasti disebut pinta palaku. Artinya, pajak yang dikenakan pada orang yang melakukan perjalanan.
Baca juga: Pejabat Pajak Menyeleweng
Dalam praktiknya, penarikan pajak tidak kaku. Pada saat tertentu raja memberikan keringanan bahkan membebaskan dari pajak. Dalam penetapan sima, pajak tak dibebaskan sama sekali karena raja membutuhkan pemasukan untuk menggaji pegawai kerajaan.
Menurut Djoko dalam usaha menjaga kestabilan sumber pemasukan itu muncul istilah pembatasan usaha. Ini dilakukan agar kerajaan tak kehilangan sumber pendapatan sama sekali.
“Barangkali secara politis untuk menjaga agar tidak terjadi akumulasi pengusaha dalam sebuah sima yang bermaksud menghindari pajak,” jelas Djoko.
Misalnya, perdagangan ternak. Dalam Prasasti Linggasutan (929 M) disebutkan pajak tidak dipungut di daerah sima jika tidak melebihi jumlah yang ditetapkan yaitu jumlah pedagangnya tiga orang dalam sebuah kelompok aktivitas perdagangan. Jika kerbau tak lebih dari 30 ekor, sapi 40 ekor, kambing (?) ekor, dan satu wadah pranjen (wantayan) itik.
Baca juga: Minang Menolak Bayar Pajak
Jika pada periode Jawa Tengah jenis usaha yang dibatasi adalah perdagangan, pada periode Jawa Timur ditambah lagi. Pembatasan juga berlaku pada bisnis sarana transportasi, seperti pemilikan perahu dan kuda tunggangan serta budidaya di pantai dan kelautan.
“Hasil ini sangat erat kaitannya dengan ketentuan bahwa sumber daya perekonomian yang bermanfaat bagi kemaslahatan umum sebaiknya dikuasai negara,” jelas Djoki.
Sumber kas kerajaan lain adalah hasil rampasan perang. Petugas yang mengurusnya disebut tawān atau hañanan di ibukota kerajaan. Lalu cenderamata dari negara sahabat yang tak banyak disebutkan dalam prasasti.
“Mungkin sekali karena jenis pendapatan itu tak begitu berpengaruh terhadap kondisi perekonomian negara,” jelas Djoko.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar