Pinisi Tak Asli Negeri Ini Tapi Banyak Jasa Buat Indonesia*
Ada pengaruh luar dalam teknologi kapal pinisi. Keandalannya mengarungi lautan membuat jasanya besar bagi Indonesia.
MESKI lahir di Temi, Seram Barat, Maluku Tengah, Abdul Rahman Hamid bukanlah orang Ambon Lease. Orangtuanya berasal dari Buton, Sulawesi Tenggara. Sebagai ahli sejarah pelayaran Indonesia yang mengajar di UIN Raden Intan, Bandar Lampung, dia merupakan bagian penting dalam pelayaran Muhibah Jalur Rempah 2023 bersama KRI Dewaruci. Penulis buku Sejarah dan Budaya Maritim Indonesia ini begitu bersemangat berdiskusi soal pelayaran Indonesia tempo dulu. Salah satunya tentang perahu pinisi.
“Phinisi, atau pinisi, adalah kapal layar bertiang dua yang terbuat dari kayu, yang dulu dan sekarang masih digunakan orang Bugis dan Makasar untuk pengangkutan ikan dan kargo keliling Nusantara,” tulis Sarah Ann Wormald, seorang pakar selam, dalam Diving in Indonesia: The Ultimate Guide to the World’s Best Dive Spots: Bali, Komodo, Sulawesi, Papua, and More.
Di zaman dirinya masih bocah, pernah beredar uang pecahan Rp.100 warna merah bergambar perahu pinisi. Uang tersebut punya peluang untuk membuat kebanyakan orang Indonesia meyakini bahwa perahu tersebut adalah produk budaya asli Indonesia. Padahal, menurutnya dan beberapa sejarawan lain, pinisi tak benar-benar asli Indonesia atau asli Sulawesi.
“Jauh sebelum dikenal perahu Pinisi pada akhir abad ke-19, para pelaut Sulawesi (Makassar, Bugis, dan Mandar) menggunakan perahu dagang Padewakang antara abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-20,” kata Abdul Rahman Hamid pada Historia.
Baca juga: Berlayar Bersama Dewaruci*
Padewakang bukan satu-satunya jenis kapal yang dipergunakan pelaut Sulawesi bagian selatan. Ada pula perahu jenis Palari. Perahu ini dipergunakan pada abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20.
Menurutnya, pinisi baru mulai dikenal akhir abad ke-19 dan ramai digunakan pada abad ke-20. Dalam Ayam Jantan Tanah Daeng, Nasaruddin Koro menulis bahwa ada cerita yang menyebut bahwa pinisi dibuat oleh Raja Tallo ke-7, Imanyingarang Daeng Makillo. Saudara dari Karaeng Pattingaloang ini hidup pada abad ke-17. Di zamannya, pengaruh Eropa sudah masuk ke Sulawesi Selatan.
“Konstruk awal Pinisi dari perahu Palari (dengan 7-9 layar). Namun, ada ahli lain yang mengatakan pinisi mendapat pengaruh teknologi kapal Eropa,” kata Abdul Rahman Hamid.
Pengaruh itu, sambung Nasaruddin Koro, dibuktikan antara lain dari catatan yang mengisahkan perahu pinisi mulai tampak di Nusantara pada 1840-an. Diperkirakan, model ini dibuat oleh Martin Perrot, orang Eropa yang tinggal di Trengganu, Malaysia.
Nama “pinisi” sendiri ada yang menyebut berasal dari kata pinasse (yang kemungkinan dari bahasa Perancis atau Jerman) dan dieja orang Melayu sebagai “Pinas”. Ada pula yang menyebut Pinisi berasal dari kata picurru, artinya contoh baik, dan binisi yang artinya ikan kecil yang tegar di permukaan air.
Sedangkan dari jenisnya, pinisi memiliki dua varian. “Ada dua tipe umum pinisi lamba atau lambo –bertubuh panjang dan ramping, memiliki buritan lurus, yang saat ini masih bertahan dalam versi bermotornya; dan palari –tipe tua dengan buritan dan lunas melengkung, biasanya lebih kecil dari lamba,” tulis Dhani Irwanto dalam Sundaland: Tracing The Cradle of Civilizations.
Baca juga: Jalur Kelapa Menuju Selayar*
Terlepas dari asal-usul dan jenisnya, pinisi telah menjadi bagian dari sejarah pelayaran bangsa Indonesia. Pinisi tak hanya berjasa dalam perekonomian Nusantara di zaman Hindia Belanda saja, tapi juga semasa revolusi kemerdekaan Indonesia.
“Dalam masa revolusi, perahu phinisi dan lambo menjadi angkutan pergerakan pasukan dari Sulawesi Selatan ke Yogyakarta, melalui Probolinggo, Situbondo dan Tuban di Jawa Timur,” catat Nasaruddin Koro.
Mereka berlalu-lalang antara Jawa dengan Sulawesi Selatan dengan naik berbagai jenis perahu “Lete” (berarti perahu kecil). Banyak kombatan Republik asal Sulawesi yang berjuang di Jawa. Dipelopori Kahar Muzakkar, mereka antara lain M. Jusuf –yang belakangan menjadi Panglima ABRI– dan Maulwi Saelan –belakangan menjadi wakil komandan Resimen Tjakrabirawa.
“Kita modal nekat saja, menyeberang ke Jawa pakai perahu rakyat,” kenang mendiang Maulwi Saelan.
Kehandalan pinisi mengarungi lautan telah dibuktikan sejak lama. Kapal tersebut tak hanya mampu menyeberangi perairan antarpulau tapi bahkan samudera.
“Pinisi terbukti berlayar dari Muarabaru, Sulawesi Selatan ke Vancouver, Kanada melalui Samudera Pasifik, jarak sekitar 11.000 kilometer (7.000 mil), dalam Ekspedisi Pinisi Nusantara 1986 untuk mengikuti Vancouver Expo,” tulis Dhani Irwanto.
Besarnya jasa pinisi bagi Republik Indonesia membuatnya diabadikan di uang Rp100 keluaran tahun 1992.
Baca juga: Cerita di Balik Jangkar Raksasa*
Hingga hari ini, perahu pinisi tak hanya masih berlayar tapi juga masih dibuat di Bira dan Tanah Beru, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Harga perahu layar itu bervariasi, bisa mencapai lebih dari Rp.8 milyar –ini sudah harga utuh, termasuk generator listrik dan mesin.
“Itu tergantung dari speknya,” terang Azwir, salah satu pembuat kapal di Tanah Beru
Selain ukuran, faktor yang menentukan harga kapal pinisi adalah kualitas bahannya. Bila bahan yang digunakan mutunya tinggi, harga sebuah pinisi bisa mencapai Rp.10 milyar. Itu masih belum termasuk biaya interior kapal.
Biasanya, sebuah pinisi dibuat selama setahun dengan mengandalkan 6 orang. Tradisi membuat pinisi berkembang di sekitar Bulukumba. Banyak pemuda di sekitar sentra pembuatan perahu di Bulukumba lebih suka belajar membuat perahu daripada kuliah.
Azwir, salah satunya. Pria 45 tahun ini mengaku sudah membuat pinisi sejak usia 17 tahun. Ia belajar membuat pinisi dari ayahnya. Sang ayah juga belajar membuat kapal ini dari ayahnya (kakek Azwir). Dari pemuda-pemuda macam Azwir inilah keterampilan dan teknologi membuat perahu tradisional kini masih terjaga di belahan timur Indonesia.
Tulisan keempat serial Muhibah Jalur Rempah 2023
Tambahkan komentar
Belum ada komentar