Cerita di Balik Jangkar Raksasa*
Pedagang Tionghoa sejak lama berdagang di Selayar. Mereka berbaur darah dengan orang Selayar.
DESA Bontosunggu di Kecamatan Bontoharu, Kabupaten Selayar dikenal pula dengan sebutan Desa Padang. Dikitari laut dan tambak, sejak dulu di desa ini sudah ada jangkar raksasa. Sekitar tahun 1995, dari tepi laut jangkar raksasa itu ditarik lebih jauh ke arah daratan. Warga desa itu mengerahkan 70 laki-laki kuatnya. Mereka menggeser jangkat dengan bantuan kayu penopang.
“Satu orang hampir mati,” aku Abdulrachman, warga Bontosunggu yang kini berusia 53 tahun.
Abdulrachman merupakan cucu Nurdin Tjoa, warga keturunan Tionghoa di Bontosunggu. Kala upaya pemindahan itu, Nurdin masih hidup.
Setelah bekerja dengan susah payah, dua jangkar beserta tiga pucuk meriam kecil pun berpindah dari tempat semula sejauh kira-kira 300 meter. Kini, kelima benda bersejarah itu berada di dalam sebuah museum kecil di Bontosunggu.
Menurut cerita lisan yang berkembang di Desa Padang, jangkar dan meriam itu peninggalan dari Baba Desan. Dia dianggap pedagang kaya yang berasal dari Gowa.
Baca juga: Berlayar Bersama Dewaruci*
Perairan Padang dulunya banyak didatangi oleh orang-orang Bajo—yang dikenal sebagai masyakat nomaden yang tinggal di dalam perahu. Menurut Christian Heersink dalam The Green Gold of Selayar, orang-orang Bajo biasa menjual komoditas yang hendak dikumpulkan oleh para pedagang Tionghoa. Di antara pedagang Tionghoa itu adalah Kwee Tiong Hi Tong dan Tjoa Lesang.
Tjoa Lesang, dikenal sebagai Baba Lesang, dianggap sebagai pendiri Desa Padang. Marganya sama dengan nama belakang Nurdin, Tjoa. Menurut cerita yang berkembang di Desa Padang, Tjoa Lesang adalah anak dari seorang laki-laki Tionghoa-Belanda dengan perempuan Sulawesi Selatan. Pada 1830, Tjoa Lesang mencari tempat yang menjanjikan untuk membangun pos dagang. Maka terpilihlah daerah yang kini dikenal sebagai daerah Padang ini.
Kwee Tiong Hi Tong dan Tjoa Lesang, disebut Heersink, bersama Daeng Bungu dan Supu pada 1855 menjadi pedagang yang dominan di daerah Padang. Kala itu terdapat 60 perahu pencari teripang. Dalam Muhibah Jalur Rempah, peneliti sejarah pelayaran Abdul Rachman Hamid mengatakan, teripang menjadi satu komoditas yang dihargai mahal oleh pedagang dari daratan Tiongkok. Teripang adalah bahan kosmetik. Heersink mencatat, setiap tahunnya mereka bisa mengumpulkan 300 kwintal teripang. Pada 1847, pedagang Tionghoa Thing Hang berkolaborasi dengan perusahaan Eropa Mesman. Para pedagang Tionghoa kemudian mendirikan sebuah pelabuhan transit yang terhubung dengan Makassar.
Baca juga: Jalur Kelapa Menuju Selayar*
Sambil menjual teripang, pedagang Tionghoa juga mengimpor tekstil dari Eropa. Mereka menjadi agen dari Weyergang & Co dan Ledeboer & Co. Dari Selayar, tekstil itu kemudian dipasarkan hingga ke Maluku dan Nusa Tenggara. Desa Padang, yang pada 1884 berpenduduk 1500 jiwa, bersama dengan Batangmata dan Pamatata (Tanete) pada 1879 oleh pemerintah Hindia Belanda dijadikan tempat penyimpanan mesiu yang dibawa dari Singapura.
Nurdian Tjoa dan Abdulrachman tentu bukan satu-satunya keturunan Tionghoa di Selayar. Mereka para keturuan Tionghoa hidup berdampingan dengan etnis-etnis lain baik yang sudah ada lebih dulu maupun yang datang belakangan. Dari hidup berdampingan, perkawinan antaretnis pun muncul. Perkawinan antara pedagang asing seperti Tionghoa, India, atau yang lain dengan perempuan Selayar sudah terjadi pada abad-abad silam.
“Itu ada pada masa lalu,” terang Yusmawati, koordinator Kelompok Kerja Diplomasi Budaya Kemendikbud.
Dengan demikian, menurut Abdul Rahman Hamid, Selayar sejak dulu memang tempat munculnya kebhinekaan. Selain etnis Bugis dan Makassar, di Selayar juga ada orang Bajo dan juga Tionghoa.
Tulisan ketiga serial Muhibah Jalur Rempah 2023
Tambahkan komentar
Belum ada komentar