Penunggang Pajak
Dirjen Pajak menyebut pamer harta memberi stigma negatif. Dalam sejarahnya, pajak merupakan stigma kolonial.
Dalam pernyataan resmi terkait kasus penganiayaan David oleh Mario Dandy Satrio, anak pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo, Dirjen Pajak Suryo Utomo mengecam segala tindak kekerasan maupun gaya hidup mewah dan sikap pamer harta yang dilakukan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan keluarganya. Hal itu dapat menggerus tingkat kepercayaan terhadap integritas institusi dan memberi stigma negatif terhadap seluruh jajaran DJP yang berjumlah lebih dari 45 ribu pegawai.
Kecaman Suryo itu ditujukan kepada Dandy, anak pejabat pajak kaya raya, yang suka pamer harta dengan mengendarai mobil Rubicon dan motor gede Harley Davidson. Ironisnya, media menemukan jejak digital Suryo Utomo tengah mengendarai motor gede bersama klub Belasting Rijder DJP, yaitu komunitas pegawai pajak yang suka naik motor besar.
Baca juga: Klub Motor Zaman Hindia Belanda
Menyikapi pemberitaan tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melalui akun instagram-nya (26/02/2023), menginstruksikan Suryo Utomo untuk menjelaskan dan menyampaikan kepada masyarakat/publik mengenai jumlah harta kekayaannya dan dari mana sumbernya seperti yang dilaporkan pada LHKPN.
Sri Mulyani juga meminta Suryo Utomo membubarkan klub Belasting Rijder karena hobi dan gaya hidup mengendarai moge menimbulkan persepsi negatif masyarakat dan menimbulkan kecurigaan mengenai sumber kekayaan para pegawai DJP.
“Bahkan apabila moge tersebut diperoleh dan dibeli dengan uang halal dan gaji resmi; mengendarai dan memamerkan moge bagi pejabat/pegawai pajak dan Kemenkeu telah melanggar azas kepatutan dan kepantasan publik. Ini mencederai kepercayaan masyarakat,” kata Sri Mulyani.
Baca juga: Julius Caesar Menyeberangi Rubicon
Dari sisi bahasa, nama Belasting Rijder tidak tepat karena artinya “penunggang pajak” atau “menunggangi pajak”. Lebih tepat bila namanya “Belastingdienst Motor Club” atau “Belastingdienst Motorrijders Club”. Belasting, kata dalam bahasa Belanda, sudah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, artinya “pajak, bea, cukai”. Sementara dari sisi sejarah, belasting sendiri memuat makna stigma kolonial Belanda.
Menurut ekonom M. Dawam Rahardjo dalam “Evolusi Struktur Pajak dan Proses Demokratisasi”, jurnal Prisma, No. 4, 1985, pajak dalam sejarah Indonesia merupakan stigma masa kolonial. Generasi yang mengalami hidup masa kolonial pasti akrab dengan kata-kata yang sering dilontarkan pada 1950-an dan 1960-an: “Apa gunanya kita merdeka kalau masih disuruh bayar belasting (pajak)?”
“Dalam kata-kata itu pajak dicitrakan sebagai ciri penjajahan dan merdeka berarti bebas dari pajak,” tulis Dawam. Citra tentang pajak itu memang bukan tanpa alasan. Sejak masa VOC, Belanda menyalurkan modal ke negerinya dalam bentuk laba dan pajak.
Baca juga: Menyita Harta Pejabat Kaya Raya
Dalam situasi seperti itu, kata Dawam, pajak adalah aspek ekonomi yang mengandung trauma masa kolonial dan karena itu berkadar politik. “Dalam program gerakan Sarekat Islam, pajak adalah elemen kehidupan rakyat yang diperjuangkan dengan gigih untuk dihapus, karena dalam abad XX, pajak cukup terbukti menjadi sumber begitu banyak pemberontakan petani.”
Perlawanan antipajak yang terkenal dalam sejarah terjadi di Sumatra Barat pada 1908 yang disebut Perang Belasting. Rakyat Minangkabau angkat senjata karena banyaknya pajak yang diberlakukan pemerintah kolonial Belanda.
Menurut Gatot Subroto, pegawai DJP dan kandidat doktor di University College London, Inggris, dalam Pajak dan Pendanaan Peradaban Indonesia, pada awal Indonesia merdeka, penarikan pajak merupakan isu sensitif. Rakyat masih taxphobia karena trauma dan salah persepsi bahwa pajak sama dengan penjajahan sementara kemerdekaan berarti lepas dari penjajahan. Penjajahan meninggalkan warisan buruk terkait praktik pemajakan, yakni merusak moral pembayaran pajak.
“Menyikapi kondisi demikian, pemerintah tidak memiliki pilihan lain yang lebih rasional kecuali mengambil kebijakan-kebijakan keuangan negara yang jauh dari isu perpajakan,” tulis Gatot.
Baca juga: Jejak Direktorat Pajak
Oleh karena itu, akibat stigma kolonial atas pajak, pemerintah cenderung berhati-hati dalam mengambil kebijakan keuangan. Untuk membiayai perjuangan dan pemerintahan, Kementerian Keuangan mendapatkan dana dengan cara mencetak uang, menjual candu dan emas ke luar negeri, serta menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk program pinjaman nasional dan sumbangan seperti fonds kemerdekaan.
Kendati demikian, pemerintah tetap berupaya melakukan penetapan dan pemungutan semua pajak meski hasilnya tidak terlalu diharapkan, antara lain pajak pendapatan, upah, kekayaan, rumah tangga, perseroan, untung perang, verponding (pajak tanah), kupon, potong, pembangunan, radio, bea balik nama, bea warisan, dan bea materai.
Menurut Gatot, di samping merusak moral pembayaran pajak, penjajahan juga meninggalkan sistem perpajakan. Selain karena tidak mungkin mengubah sistem perpajakan dalam waktu singkat, pemerintah juga belum memasukkan reformasi perpajakan sebagai agenda mendesak. Karena keadaan belum banyak berubah, beberapa pajak tetap dikenakan berdasarkan peraturan zaman kolonial.
“Kesemua pajak warisan zaman kolonial tetap dipungut namun sampai pada tingkat yang tidak membangkitkan trauma dan antipati para pembayarnya,” tulis Gatot.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar