Pasang Surut Pasar Tanah Abang
Pasar Tanah Abang terkena malapetaka berkali-kali. Korban jiwa berjatuhan. Tapi pasar tetap tegak.
Kerusuhan melanda kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada 21—22 Mei 2019. Selama dua hari berikutnya, Pasar Tanah Abang terdampak. Para pedagang menutup kiosnya. Mereka jatuh rugi. Perputaran uang senilai Rp200 miliar per hari hilang. Tapi tiga hari setelah kerusuhan, Pasar Tanah Abang buka kembali. Pengunjung pun menyesaki pasar untuk membeli pakaian Lebaran.
Sejarah Pasar Tanah Abang ialah sejarah bangkit berkali-kali dari hantaman bala. Kerusuhan dan kebakaran pernah menimpa pasar ini silih berganti. Tapi pasar ini mampu bertahan. Bahkan kemudian menjelma pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara.
Pasar Tanah Abang bermula dari permintaan Justinus Vinck, pejabat kaya VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur), untuk mendirikan pasar di atas dua lahan miliknya pada 1733. Satu di wilayah Weltevreden (sekarang Pasar Senen), lainnya berada di Tanah Abang.
Vinck melihat perkembangan Batavia ke wilayah selatan telah membentuk permukiman baru. Ada pula pembukaan kebun-kebun baru seperti kebun kacang, kebun jahe, kebun pala, kebun sirih, dan kebun melati untuk penduduk di Tanah Abang. Tetapi belum ada pasar di sekitar wilayah hunian baru ini.
Vinck memperoleh izin pendirian dari Gubernur Jenderal Abraham Patras dua tahun berselang, pada 30 Agustus 1735. Surat izin Gubernur Jenderal menyebutkan hari buka pasar milik Vinck. “Pasar diselenggarakan hari Senin untuk Pasar Weltevreden, hari Sabtu untuk pasar yang akan dibangun di Bukit Tanah Abang,” tulis Abraham Patras dalam suratnya kepada Vinck, dikutip PD Pasar Jaya dalam Pasar Tanah Abang 250 Tahun.
Terdampak Huru-Hara 1740
Dua pasar Vinck memiliki jenis dagangan berbeda, sesuai aturan Gubernur Jenderal. Pasar Senen untuk jenis sayur mayur dan keperluan sehari-hari. Tanah Abang kebagian jenis tekstil, klontong, dan sedikit sayuran.
Vinck membangun sebuah jalan untuk menghubungkan dua pasar ini. Keberadaan jalan mempermudah pedagang dan pembeli menjangkau pasar tersebut. Kemudahan akses terhadap pasar menumbuhkan jumlah transaksi. Dua pasar ini selalu ramai selama lima tahun beroperasi.
Baca juga: Awal Kejayaan Pasar Swalayan
Sebuah lukisan karya Johannes Rocht pada 1750 menggambarkan keramaian Pasar Weltevreden. Tampak bangunan pasar terbuat dari bambu dan atapnya berbahan rumbia. Gerobak sapi, kerbau, dan kuda memenuhi jalanan pasar. Tersua juga pedagang sedang memikul barang di jalanan pasar.
Rocht memang hanya melukis suasana Pasar Weltevreden. Tidak ada lukisan tentang Pasar Tanah Abang. Tetapi lukisan tentang Pasar Weltevreden dianggap mewakili keadaan serupa di Pasar Tanah Abang selama lima tahun pertama operasional pasar.
Dalam lima tahun pertama pula salah satu pasar milik Vinck menghadapi bala. Pasar Tanah Tanah Abang beroleh serangan dari Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron von Imhoff pada 8 Oktober 1740. Serangan Von Imhoff merupakan jawaban atas perilaku agresif orang-orang Tionghoa di Tanah Abang terhadap pos jaga VOC sehari sebelumnya.
Baca juga: Awal Mula Ritel Skala Besar di Indonesia
Banyak orang Tionghoa menjadi pedagang di Pasar Tanah Abang. Mereka juga bertempat tinggal di sekitar kawasan pasar. Pasukan VOC menggunakan meriam untuk menghadapi orang-orang Tionghoa di Tanah Abang. “Dengan mudah W. von Imhoff membubarkan gerombolan Tionghoa yang bikin gaduh di Tanah Abang,” catat Adolf Heuken dalam Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta.
Adolf menambahkan orang-orang Tionghoa lari kocar-kacir menyelamatkan diri. Tembakan meriam merusak sejumlah bangunan Pasar Tanah Abang. “Baru lima tahun berdiri Pasar Tenabang terkena bencana, porak-poranda, dan terbakar ludes,” tulis Abdul Chaer dalam Tenabang Tempo Doeloe. Huru-hara ini melumpuhkan Pasar Tanah Abang hingga 20 tahun.
Kumuh dan Sarang Gelandangan
Pasar Tanah Abang beroperasi kembali setelah hubungan VOC dengan orang-orang Tionghoa membaik. “Malah orang Cina diberi kepercayaan dan kekuasaan untuk memungut cukai pasar secara borongan,” ungkap Abdul Chaer. Orang Tionghoa juga memperoleh izin pengelolaan rumah madat atau candu di sekitar Pasar Tanah Abang.
Pasar Tanah Abang terus semarak memasuki 1800-an. Hari buka pasar tidak lagi cuma pada Sabtu, melainkan juga pada hari Rabu.
Keramaian aktivitas perdagangan di pasar tak seiring dengan perbaikan kualitas lingkungan. Bangunan-bangunan pasar kian lama kian rapuh dan kusam. Sampah-sampah menumpuk dan semrawut. “Sampai akhir abad ke-19 bahkan awal abad ke-20 Pasar Tanah Abang belum mempunyai bangunan permanen,” tulis PD Pasar Jaya.
Baca juga: Histori Kampung Bali Tanah Abang
Perbaikan fisik di Pasar Tanah Abang berlangsung secara kecil-kecilan pada 1913. Lantai bawahnya mulai dikeraskan pondasi adukan. Perbaikan ini kurang berdampak banyak bagi lingkungan pasar.
Khawatir pedagang dan pembeli berkurang, pemerintah kolonial akhirnya merombak Pasar Tanah Abang secara besar-besaran pada Agustus 1926. Bangunan lama nan rapuh berganti bangunan permanen. Lebih nyaman untuk aktivitas para pedagang dan pembeli. Lebih bagus pula untuk promosi nama Pasar Tanah Abang keluar Batavia dan Hindia Belanda.
Tetapi kedatangan Jepang pada 1942 mengubah banyak hal di Pasar Tanah Abang.
“Pasar Tanah Abang yang tadinya kesohor tekstilnya, saat itu berubah menjadi los-los dan kios kosong melompong tidak ada tekstil sama sekali bahkan banyak yang tutup dan ditempati gelandangan,” cerita H.M. Hasan, pensiunan kepala pasar dalam Pasar Tanah Abang 250 Tahun.
Preman dan Kebakaran
Pasar Tanah Abang kembali memperoleh cerlangnya setelah sempat masuk tahun-tahun kegelapan selama masa Jepang hingga Revolusi Fisik (1945—1949). Di bawah pengelolaan Pemerintah DKI Jakarta lewat Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya, Pasar Tanah Abang mengalami perombakan secara besar-besaran pada 1973. Pasar Tanah Abang menjadi bangunan bertingkat tiga.
Bangunan baru mengerek harga sewa kios lebih mahal. Banyak pedagang tak bisa membayar. Mereka memilih dagang di luar pasar, di pinggir jalan. Keberadaan mereka menyalahi aturan. Pemerintah berupaya menertibkan mereka. Tetapi mereka memperoleh perlindungan dari centeng-centeng atau jago Tanah Abang. Demi keamanan berdagang, mereka rela membayar uang jago.
“Masalah keamanan pasar dirasakan sangat baik. Tentang jawara, tidak pernah mereka melakukan tindak yang menjurus semacam pemerasan. Dengan kami mereka malah saling bekerja sama secara dekat,” kata seorang pedagang dalam Pasar Tanah Abang 250 Tahun.
Baca juga: Preman dari Zaman ke Zaman
Pemerintah mulai kehilangan kendali atas keamanan pasar. Mereka bahkan menyerahkan urusan keamanan renovasi pasar kepada salah satu centeng tersohor Tanah Abang dekade 1970-an, Haji Bidun.
Kehadiran pemerintah di Pasar Tanah Abang menjadi sebatas pengatur. Keamanan berada di tangan para jago. Jago-jago memperoleh banyak uang atas jasa keamanan, parkir, dan kebersihan dari para pedagang.
Tetapi lama-lama mereka tidak lagi melindungi para pedagang, melainkan memerasnya. Bahkan mereka juga menjadikan pembeli sebagai sasaran. Istilah jago tidak lagi tepat untuk mereka. Istilah preman muncul untuk menyebut perilaku mereka.
Baca juga: Jago Pukul Betawi
Perputaran uang di Pasar Tanah Abang pada 1990-an mencapai Rp8—10 miliar per hari. Para preman dari berbagai etnis dan wilayah berebut kendali atas Pasar Tanah Abang. Puncaknya terjadi pada November—Desember 1996. Bentrok antarpreman di Pasar Tanah Abang meminta korban jiwa. Pedagang dan pembeli menghindari kawasan ini beberapa lama.
Usai rusuh antarpreman, pedagang dan pembeli kembali ke Pasar Tanah Abang. Ini terjadi terus menerus. Kerusuhan Mei 1998 sempat membuat nadi Pasar Tanah Abang berhenti. Tetapi kemudian berdetak kembali.
Kebakaran besar pada 2003 menghentikan aktivitas perdagangan selama beberapa hari. Tetapi setelah kebakaran, sembari menunggu bangunan baru dibangun, pedagang menggelar dagangan di jalanan sekitar pasar. Pembeli tetap berdatangan di tempat seadanya itu.
Tidak ada satu pun bala mampu meruntuhkan Pasar Tanah Abang untuk selama-lamanya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar