Kasus Jenderal Tuan Tanah
Reputasi sebagai mantan jenderal terkenal tak jadi jaminan dirinya bisa menguasai aset negara.
Dalam debat calon presiden minggu lalu, terungkap aset milik salah satu kandidat. Setelah disentil Joko Widodo, Prabowo Subianto mengakui punya lahan seluas 340.000 hektar. Letaknya terpencar. Sebanyak 220.000 hektar ada di Kalimantan Timur dan sisanya 120.000 hektare di Aceh Tengah. Tanah seluas itu digunakan Prabowo untuk kepentingan perkebunan seperti kelapa sawit.
Bila dikomparasi, luas tanah Prabowo ini sama dengan lima kali luas Kota Jakarta. Meski luasnya mencengangkan, Prabowo jemawa. Menurut Prabowo masih lebih baik lahan seluas itu dikelola oleh dirinya yang berjiwa nasionalis dan patriot ketimbang dikuasai pihak asing.
Politikus yang juga tangan kanan Prabowo, Fadli Zon, mengatakan lahan tersebut diperoleh Prabowo lewat proses lelang dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) pasca krisis moneter 1998. Status kepemilikannya adalah Hak Guna Usaha (HGU). Jadi sewaktu-waktu, tanah itu harus dikembalikan kepada negara sesuai kontrak dan Undang-undang yang berlaku.
Lahan Berkuda dan Bertinju
Di masa lalu, seorang mantan jenderal pernah terjerat kasus penguasaan lahan negara. Perwira tinggi era Orde Baru itu bernama Herman Sarens Sudiro. Sekira tahun 1966-1967, Herman memperoleh tanah di Jalan Warung Buncit, Mampang, Jakarta Selatan (berada tak jauh dari Kantor Imigrasi Jakarta Selatan, nyaris berhadapan dengan halte “Imigrasi” bus Transjakarta, red). Karena hobi memelihara kuda, Herman hendak menjadikan lahan seluas 29.000 meter persegi atau sekitar 3 hektar itu sebagai istal yang menampung kuda dalam jumlah banyak.
Dalam otobiografinya Ancemon Gula Pasir: Budak Angon jadi Opsir, Herman mengakui memperoleh tanah tersebut atas arahan Letjen Soeharto yang baru saja dilantik menjadi pejabat presiden. Herman cukup dekat dengan Soeharto karena pernah menjadi ajudan Soeharto ketika menjabat Komandan Komando Satuan Tugas (Kosatgas) Supersemar. Soeharto-lah yang menyarankan agar Herman membeli sebidang tanah di Warung Buncit. Di sana, Herman mendirikan Djakarta International Sadie Club (DISC). Gelanggang pacuan kuda ini menjadi arena bergengsi bagi sebuah perkumpulan olahraga berkuda yang saat itu belum begitu marak di Indonesia.
Baca juga: Herman Sarens, Perwira yang Nyaris Ditembak Soeharto
Di kalangan orang tertentu, DISC mendapat sambutan positif. Tempat itu menarik minat pecinta olahraga berkuda dari kelas atas. Herman lantas mengganti nama DISC menjadi Satria Kinayungan yang diambil dari nama kuda putih milik Pangeran Diponegoro. Tak hanya menjadi arena berkuda, Satria Kinayungan berkembang ke berbagai lini sport mulai dari sasana tinju, klub berburu, dan bisnis lainnya. Para tamu Herman Sarens di lokasi itu datang mulai dari Keluarga Cendana, para perwira tinggi, sampai selebritis.
“Semua orang tahu bahwa Satria Kinayungan adalah Herman Sarens,” kata Herman kepada penulis otobiografi Restu Gunawan.
Baca juga: Bisnis Herman Sarens Sudiro Setelah Pensiun
Setelah pensiun dengan pangkat letnan jenderal, Herman lebih dikenal sebagai pegiat olahraga. Nama Herman kondang sebagai promotor tinju yang suka membawa petinju binaannya bertanding ke mancanegara. Pada 1992, Hankam Sport Center Satria Kinayungan sudah mengasuh tak kurang dari 100 petinju.
“Ada yang bekas pembunuh, bekas tukang pukul. Orang-orang seperti ini kalau tidak dirangkul mau lari kemana?” kata Herman seperti dikutip majalah Pertiwi, 15-28 Maret 1992.
Sengketa di Senjakala
Hingga tahun 1997, lahan milik Herman itu aktif digunakan untuk berbagai kegiatan olahraga. Menurut Kompas, 21 Januari 2010, meskipun banyak digunakan orang dari keluarga penguasa dan kaum berpunya, masyarakat boleh beraktivitas di lahan itu. Warga sekitar boleh menggunakan sasana tinju, bulutangkis, atau sekadar melihat orang berlatih menunggang kuda, dan lari pagi.
Menjelang akhir kekuasaan Soeharto, Satria Kinayungan mulai meredup. Pamor Herman Sarens berangsur-angsur ikut pudar. Pada awal gerakan reformasi, tiba-tiba aktivitas di pusat olahraga milik Herman itu berhenti.
Baca juga: Herman Sarens Sudiro, Nasib Mujur Si Perwira Tempur
Herman yang telah memasuki masa tua, diusik kehidupannya. Menurut laporan Tempo, 31 Januari 2010, sejak 2005, Herman masuk daftar pencarian orang Markas Besar TNI. Sebanyak tiga kali Oditur Militer Tinggi II Jakarta memanggilnya untuk proses pengadilan. Tiga kali pula Herman mangkir. Di senjakalanya, Herman malah terlilit sengketa.
Pihak TNI menyatakan, Herman menyalahgunakan wewenang saat menjadi pimpinan TNI AD tahun 1970. Herman dianggap telah menguasai lahan Satria Kinayungan semenjak dirinya menjabat Komandan Korps Markas Hankam dan Mabes AD. Herman digugat lantaran status kepemilikan lahan itu ternyata belum jelas.
Pada 19 Januari 2010, Polisi Militer Komando Daerah Militer Jakarta Raya menangkap Herman karena menolak panggilan sidang Oditur Militer Jakarta. Penjemputan Herman sempat berjalan alot sehingga kediamannya di Serpong, Tanggerang Selatan dikepung aparat. Penangkapan Herman jadi pemberitaan yang menyita perhatian publik kala itu. Proses hukum tetap berjalan meski kondisi kesehatan Herman semakin melemah karena faktor usia.
Baca juga: Herman Sarens Sudiro Main Film Setelah Pensiun
Herman akhirnya menyerahkan lahan itu kepada negara pada 17 Juni 2010 setelah ada keputusan dari Mahmakamah Militer Tinggi Jakarta. Persoalan kepemilikan lahan itu selesai dengan damai. Tak lama kemudian, Herman meninggal pada 11 Juli 2010 dalam usia 80 tahun.
"Persoalan (sengketa tanah) itu selesai dengan damai,” ujar Hadijah Soediro, istri Herman, dikutip Kompas, 12 Juli 2010. “Jangankan hanya tanah, beliau pernah menegaskan bersedia menyerahkan jiwa raganya jika untuk negara," demikian pungkas Hadijah.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar