Herman Sarens Sudiro, Nasib Mujur si Perwira Tempur
Tak hanya sigap berperang, Herman Sarens cerdik bertindak. Dari pusaran konflik, dia ikut naik ke tengah pentas kekuasaan.
Letnan Kolonel Herman Sarens Sudiro sudah mengenakan pakaian dinasnya meski hari masih cukup pagi. Dia memutuskan berpatroli menuju kediaman Brigjen D.I. Pandjaitan. Dengan berkendara panser Saracens, Kepala Biro Mabes TNI AD itu tiba. Turun dari panser, Herman marah bukan main menyaksikan keadaan. Darah berceceran di pelataran depan sementara Pandjaitan tak ada di tempat. Kepanikan melanda seisi rumah. Istri Pandjaitan, Mariekke yang trauma dan takut malah mengusir Herman.
Sebagaimana dicatat dalam Kunang-kunang di Langit Kebenaran, pada subuh 1 Oktober 1965 itu, Herman sebetulnya sudah mendengar rentetan tembakan dari arah rumah Pandjaitan dan berusaha mencari asal tempat kejadian. Tetapi pasukannya kesulitan melacak karena hari masih gelap.
“Herman sudah diinstuksikan oleh Pak Yani, kalau ada apa-apa, segera cari Soeharto,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein kepada Historia.
Bersama Wakil Asisten II Menpangad, Brigjen Muskita, Herman menuju markas Kostrad menjumpai Mayjen Soeharto. Namun Muskita yang pangkatnya lebih tinggi enggan melapor pada Soeharto. Mereka sudah tiga bulan tak saling bicara karena berselisih. Jadilah Herman –perwira menengah yang tak begitu dikenal– menghadap Soeharto.
Baca juga: Herman Sarens Nyaris Ditembak Soeharto
Di Kostrad, Herman memberitakan bahwa telah terjadi penculikan terhadap sejumlah jenderal teras AD. Dia juga melaporkan adanya keberadaan pasukan liar bersyal merah (Cakrabirawa, red.) di sekitar lapangan Monas. Menurut Herman sebagaimana dituturkan Rushdy Hoesein, Soeharto menerimanya dalam kondisi kalut dan tertekan meski raut wajahya tetap tenang. Tanpa banyak bicara, Soeharto memerintahkan Herman menemui Komandan RPKAD, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, sembari menitip sepucuk surat.
Begitu membaca surat Soeharto, air muka Sarwo Edhie langsung berubah murka. “Keadaan sangat gawat, pasukan supaya dikonsinyir. Dan lekas temui saya di Kostrad,” demikian pesan Soeharto. Herman yang sempat dilucuti anak buah Sarwo ketika mengantar surat dilepaskan kembali. Sarwo Edhie kemudian memimpin RPKAD menuju Monas yang menjadi cikal bakal penumpasan PKI. Sementara itu, atas perannya mengantarai Soeharto dan Sarwo, berbuah mujur. Perlahan namun pasti karier Herman moncer menuju jenjang perwira tinggi.
Pejuang Nekat
Herman Sarens Sudiro yang lahir di Pandeglang, Banten, 24 Mei 1930 sejatinya adalah tentara lapangan. Nama Sarens diturunkan dari ayahnya Raden Soediro Wirio Soehardjo yang sempat diadopsi anak oleh orang Belanda campuran Prancis. Jiwa militer menitis dari sang ayah, yang di masa revolusi menjabat Kepala Perlengkapan Batalion IV, Resimen XI, Divisi Siliwangi.
“Bapaknya Herman ditembak mati sama Belanda waktu agresi militer pertama,” ujar Rushdy.
Sejak usia belasan, Herman sudah angkat bedil tatkala menjadi anggota Corps Pelajar Siliwangi di Banjar. Dia ikut rombongan hijrah Siliwangi menuju Jawa Tengah pasca Perjanjian Renville. Namun sebelum sampai Solo, kereta pengangkut tebu yang ditumpanginya diberondong tembakan tentara Belanda di tengah jalan. Herman yang terpisah dari kesatuannya bergabung dengan Markas Besar Komando Djawa (MBKD) di Cirebon. Komandan MBKD, Kolonel Sukanda Bratamenggala mengangkatnya sebagai letnan, pangkat yang lumayan tinggi untuk ukuran tentara pelajar
Atas perintah Sukanda, Herman pernah memimpin sebuah operasi militer skala kecil. Tanpa ragu, Herman menerima order komandannya. Dalam manuskrip berjudul Siliwangi Diantara Dua Agresi Militer Belanda, Herman mengurai penyerangan yang ditujukan terhadap basis tentara Belanda di Subang. Operasi penyerangan itu terbilang nekat karena dilakukan di sore hari dengan keyakinan pengawalan akan longgar.
Baca juga: Herman Sarens Sudiro dan Kasus Tanah
Benar saja. Ketika sedang lengah usai bermain bola, sekumpulan tentara Belanda digulung dengan bantuan rakyat setempat. Di alun-alun, puluhan tentara Belanda tergeletak. Senjata-senjata dijarah. Sebelum dipukul balik, pasukan Herman langsung mundur. Keesokan harinya, rumah-rumah di Subang dibakar tentara Belanda.
Setelah pengakuan kedaulatan, Mayor Herman Sarens menjadi komandan salah satu batalion Siliwangi. Batalion pimpinannya turut menumpas gerombolan Darul Islam membantu Batalion Kujang pimpinan Mayor Himawan Sutanto. Meski bukan sebagai ujung tombak, pasukan Herman berperan dalam pengamanan rakyat.
“Tapi kata Himawan, Herman berlagak seperti yang membunuh para gerilyawan DI/TII itu: sama dia (Herman) mayat-mayat dijejerin, dikasih liat ke rakyat, sementara dia mengawasi dari panser,” tutur Rushdy yang sempat akrab dengan kedua perwira Siliwangi tersebut.
Di Antara Para Jenderal
Karena punya pengalaman para dan tempur, Herman ditarik dari Bandung ke Jakarta. Dia melatih para penerjun dalam operasi penyusupan ke Irian Barat dan persiapan Dwikora. Dalam rangka konfrontasi, operasi militer berada di bawah Komando Operasi Tertinggi (KOTI) pimpinan Letjen TNI Ahmad Yani. Herman yang sudah berpangkat letnan kolonel, menjabat sebagai wakil kepala staf G7 yang mengurusi bidang logistik.
“Waktu itu kita sudah memiliki Hercules, dia belajar bagaimana menerjunkan pasukan bukan hanya barang-barang,” kata Rushdy. “Ada kabar kalau Herman sempat jadi ajudan Yani. Jadi dia cukup dekat dengan Yani.”
Berada di lingkaran pucuk pimpinan, Herman mengetahui bagaimana relasi di antara para jenderal-jenderal petinggi. Kepada Eros Djarot, Herman menurutkan bila Mayjen Mursjid tak sejalan dengan Ahmad Yani. Padahal Mursjid adalah Deputi I bidang operasi. Panglima AU Omar Dani pun demikian, tak sejalan dengan Yani.
“Pada masa Soeharto, situasinya berbeda sekali. Siapa yang tidak setuju pada Pak Harto, akan disingkirkan,” kata Hermans Sarens kepada Eros Djarot dalam Prabowo sang Kontroversi.
Hal yang sama pun terjadi pada Herman. Dia termasuk orang dekat Soeharto yang mulai naik tampuk kekuasaan sebagai presiden. Bintang satu melekat di pundak Herman saat menjabat Komandan Korps Markas Hankam pada 1970.
Namun hubungan itu mulai surut karena Herman berkarib dengan Jenderal Sumitro. Memasuki dekade 1970-an, Sumitro yang menjabat Pangkopkamtib dikenal vokal dan mulai menyaingi ketokohan Soeharto.
“Herman salah pilih teman. Herman dekat sama Pak Mitro pas Peristiwa Malari. Akibatnya, Pak Mitro pensiun, mengundurkan diri, dan berhenti,” kata Rushdy Hoesein.
Tak lama pasca Malari, Herman pun menjadi salah satu dari sekian jenderal Orde Baru yang “didubeskan”. Itupun tak tanggung-tanggung. Herman dikirim jauh-jauh ke Afrika, sebagai duta besar Indonesia untuk Madagaskar.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar