Histori Inflasi Jelang Pemilu
Inflasi ditakuti setiap menjelang Pemilu sejak 1955 hingga kini.
Pemilihan umum (Pemilu) sangat penting untuk menentukan perjalanan bangsa. Situasi ekonomi, dalam hal ini inflasi, selalu membayangi setiap Pemilu yang pernah diadakan di negeri ini.
“Cuma memang pada Pemilu kali ini, lonjakan inflasi terhitung rendah –atau hampir bisa dibilang tidak signifikan. Inflasi terbesar tahun 2019 ini muncul pada Januari 2019 (0,32%) tapi ini juga masih terhitung wajar karena volume uang memang biasa meningkat pada awal tahun, terkait pembagian bonus, THR, serta pelaksanaan proyek pemerintah dan Pemda yang biasa ‘kejar tayang’ di akhir Desember,” ujar Poltak Hotradero, Senior Researcher Bursa Efek Indonesia, kepada historia.id.
Menurut Data Strategis BPS yang terbit 2008, makna inflasi adalah persentase tingkat kenaikan harga sejumlah barang dan jasa yang secara umum dikonsumsi rumah tangga.
Inflasi memang menjadi momok di setiap perhelatan Pemilu. Pemilu pertama tahun 1955, pemilu pertama di pemerintahan Soeharto tahun 1971, dan Pemilu pasca Reformasi juga dibayangi inflasi dengan naiknya harga barang-barang.
Inflasi di Pemilu 1955
Pemilu pertama tahun 1955 di bawah kabinet Burhanuddin Harahap. Kabinet koalisi ini terbentuk pada 11 Agustus 1955, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 141 Tahun 1955, dan mulai bekerja setelah dilantik keesokan harinya. Salah satu program kerjanya melaksanakan Pemilu sesuai rencana yang sudah ditetapkan dan menyegerakan terbentuknya Parlemen baru. Kabinet ini hanya memiliki waktu sebulan untuk menyiapkan Pemilu.
Pemilu pertama ini berlangsung tanggal 29 September 1955 (memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih anggota Konstituante).
“Partai-partai politik bekerja keras beberapa minggu menyelenggarakan kampanye terakhir mereka. Pada hari Pemilu sekolah negeri ditutup dua hari, dipakai untuk tempat pemungutan suara. Toko dan pasar ditutup pada hari Pemilu meninggalkan suasana liburan hingga ke dapur,” kenang Molly Bondan dalam Molly Bondan: Pengabdian Pada Bangsa, Penuturan dalam Kata-katanya sendiri.
Baca juga: Dua Abad Ekonomi Indonesia
Pemilu pertama berlangsung dalam suasana inflasi sebesar 33%. Pada akhir tahun 1955, seperti tertulis dalam Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 2 terbitan ISEI, tingkat harga naik dengan cepat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Jajasan Urusan Bahan Makanan (JUBM) bahkan mengeluarkan stok beras 400 ribu ton dan menaikkan impor beras dari 125 ribu ton pada 1955 menjadi 800 ribu ton pada tahun berikutnya. JUBM (1953-1956) merupakan lembaga tunggal yang diberi wewenang oleh pemerintah untuk pengadaan beras nasional.
Meski diliputi suasana inflasi yang cukup tinggi, Pemilu terselenggara dengan baik. Kampanye partai-partai politik ramai dengan adu ideologi. Akhirnya, PNI menjadi kampiun dalam perolehan suara untuk kursi di DPR, disusul Masyumi, NU, dan PKI.
Pemilu = Harga Naik
Jelang Pemilu 1971, ibu kota sepi. Banyak orang pulang ke tempat asalnya untuk mencoblos. Akibatnya, banyak usaha jasa yang menaikkan harga karena permintaan yang tinggi. Salah satunya tarif becak.
“Biasanya dari rumah ke kantor cuma Rp40, sekarang menjadi Rp80. Gila juga bung,” gerutu seorang pekerja kantoran, seperti dikutip Kompas, 5 Juli 1971. Para penarik becak itu kebanyakan berasal dari daerah. Mereka sudah pulang ke daerahnya masing-masing sejak 28 Juni 1971, seminggu sebelum Pemilu dihelat. Menyusutnya jumlah penarik becak di ibu kota ini yang memicu ongkos naik becak menanjak. Para penarik becak yang berasal dari Jakarta pun tampak santai, sebab mereka mencoba tahan harga.
“Maklum pak, deket Pemilu,” ujar seorang penarik becak. Menumpang becak dari Jatinegara ke Tebet Utara dari Rp35 menjadi Rp60; dari Lapangan Banteng ke Gedung Kesenian dari Rp15 menjadi Rp25; dan dari Blok M ke Blok P dari Rp35 menjadi Rp60.
Baca juga: Mengayuh Sejarah Becak
Selain ongkos becak, harga minyak tanah di ibu kota juga naik. Namun kenaikan harga ini ada di tukang pikul, sementara harga di grosir sudah ditetapkan oleh Pertamina. Harga minyak tanah dari tukang pikul pada akhir Juni hingga awal Juli 1971 mencapai Rp17,50 per liter dari harga yang ditetapkan Pertamina Rp13 per liter.
“Pemerintah dapat mengendalikan harga minyak tanah hanya terhadap para grosir, dealer dan subdealer, tetapi tukang pikul sulit untuk diawasi,” tulis Kompas, 30 Juni 1971.
Kenaikan ongkos becak dan minyak tanah membuat barang-barang semua naik. Harga beras dari Rp40 menjadi Rp60; gula pasir dari Rp95 menjadi Rp110; daging sapi dari Rp350 menjadi Rp450; bahkan sepiring nasi goreng dari Rp150 menjadi Rp175.
“Kenaikan yang menyolok ini membuat para ibu rumah tangga bersungut, karena biasanya dengan Rp300 sudah cukup belanja sehari, sementara sebelum pelaksanaan Pemilu harus mengeluarkan Rp500,” tulis Kompas.
Padahal sejak tahun 1969, seperti ditulis dalam Media Keuangan Vol. XII No. 121/Oktober 2017, pada umumnya perkembangan harga-harga cukup terkendali. Selama 26 tahun, infasi di atas 10 persen (dua digit) hanya terjadi sebanyak sembilan tahun: 1972-1977, 1979, 1980, dan 1983. Inflasi terendah terjadi pada 1971 sebesar 2,47 persen.
Baca juga: Kapitalisme "Unik" ala Indonesia
Seperti tak ingin kecolongan dalam Pemilu kedua tahun 1977, pemerintah mencoba bersiap dengan kenaikan harga jelang Pemilu.
“Kestabilan harga barang di masyarakat selama periode 6-9 bulan mendatang diberikan perhatian khusus. Tidak hanya menghadapi hari raya Ied, Natal dan Tahun Baru, melainkan juga hingga Pemilu,” ujar Josef Muskita, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan, seperti dikutip dari Kompas, 28 Agustus 1976. Langkah pengamanan harga ini dilakukan dengan cara peningkatan suplai bahan dan penyediaan stok bahan.
Meski sudah dirancang langkah pengamanan, kenaikan harga jelang Pemilu 1997, yang digelar 2 Mei 1977, tetap saja terjadi. Kenaikan harga ini terjadi di beberapa jenis beras, gula dan minyak goreng. Minggu terakhir April 1977, tulis Kompas, 29 April 1977, beras Pelita dari Rp11.500 per kuintal menjadi Rp12.700 per kuintal, gula pasir impor dari Rp18.000 per karung menjadi Rp18.150 per karung.
Kabar kenaikan barang tersebut seperti angin lalu ditengah gempita kampanye.
Suara Indonesia, 24 April 1977, mencatat slogan “Aku Nyoblos Golkar!”; “Yang Apatis Terhadap Pemilu Adalah Pengkhianat”; “Hanya Dengan Pelita Yang Berlanjut, Kebodohan Dan Kemiskinan Bisa Diatasi” menjadi propaganda politik Orde Baru pada masa kampanye Pemilu 1977 untuk mengatrol suara Golkar. Meski ‘diganggu’ dengan kenaikan harga barang, Soeharto tetap melenggang menjadi presiden untuk yang kedua kalinya.
Baca juga: Perancang Ekonomi Orde Baru
Pada Pemilu berikutnya (1982, 1987, 1992, hingga 1997), isu seputar inflasi tak mempengaruhi elektabilitas Soeharto. Dalam Pemilu 1992, misalnya, kabar inflasi memang tak terdengar, larut dalam hingar-bingar kampanye. Kenaikan harga yang justru muncul adalah harga bahan kain TC, dengan campuran polyester dan katun, yang naik dari Rp8.800 per kilogram menjadi Rp9.500 per kilogram. Hal ini terjadi karena permintaan atribut kampanye untuk partai politik.
“Pesanan paling banyak berasal dari Golongan Karya (Golkar). Sedang pesanan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dapat dikatakan tidak ada. Kalau ada pesanan, pasti kita terima. Namanya juga bisnis,” ujar pemilik industri pakaian, seperti dikutip dalam Kompas, 1 Juni 1992.
Pemilu 1997 adalah Pemilu terakhir Orde Baru. Perhelatan lima tahunan yang digelar 29 Mei 1997 ini masih memenangkan Soeharto. Namun dua bulan kemudian, Indonesia diterpa krisis moneter yang membuat Soeharto mundur pada Mei 1998.
Mengendalikan Inflasi
Jika pada Pemilu 1955, isu ideologi menjadi bahan kampanye, maka pada Pemilu-Pemilu pasca Reformasi, isu inflasi menjadi isu yang patut dihindari oleh pemerintah yang sedang berkuasa.
“Memang setiap pemerintahan petahana paling takut soal inflasi jelang Pemilu, karena bisa timbulkan chaos/ketidakpuasan voter,” kata Bhima Yudhistira Adhinegara, ekonom muda dari INDEF, kepada historia.id.
Petahana akan mati-matian menjaga isu ekonomi jelang Pemilu, apalagi jika perhelatan Pemilu berbarengan dengan situasi ekonomi global yang tidak menentu. Bhima menyontohkan seperti pada Pemilu 2004, Indonesia menghadapi harga minyak dunia yang melonjak dari US$45 menjadi US$68 per barel. Kemudian jelang Pemilu 2009, harga minyak dunia juga sedang mencapai posisi tertinggi di US$162 per barel.
“Peristiwa 2009 memang tidak terlepas dari apa yang terjadi tahun sebelumnya. Pada 2008 ada lonjakan inflasi sampai double digit sebagai imbas dari krisis global Lehman Brothers, yang di Indonesia juga berimbas pada guncangan di perbankan, termasuk di dalamnya kasus Bank Century,” kata Poltak.
Baca juga: Kampanye Hitam Pemilu Indonesia
Pada Pemilu 2014, pemilihan legislatif (Pileg) digelar lebih dahulu pada 9 April 2014, sedangkan pemilihan presiden (Pilpres) diselenggarakan pada 9 Juli 2014. Saat itu, menurut Poltak, inflasi saat Pileg lebih tinggi daripada saat Pilpres.
“Perputaran uang sepertinya lebih besar terjadi di Pemilu Legislatif ketimbang Pemilu Presiden. Bisa ditafsirkan, money politics lebih kencang di Pemilu Legislatif ketimbang Pemilu Eksekutif,” ujar ekonom jebolan University of Bristol itu.
Dan pada Pemilu 2019, menurut Poltak, ada anomali yang positif yaitu meskipun Pileg dan Pilpres dilakukan serentak, inflasi cuma di angka 2,48%.
Tahun lalu, seperti dimuat dalam setkab.go.id, 26 Juli 2018, Presiden Joko Widodo menyampaikan apresiasi kepada seluruh kepala daerah dan anggota tim pengendali inflasi baik di pusat ataupun daerah karena selama empat tahun mampu menekan inflasi pada angka di bawah 4%.
“Untuk tahun ini sepertinya sejarah inflasi jelang Pemilu tidak berulang, data BPS menunjukkan dari Januari-Maret 2019 komponen harga yang bergejolak (volatile food) alami deflasi -0,37%. Inflasi secara umum di periode yang sama hanya 0,35%,” kata Bhima.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar