GURUN Jornada del Muerto, New Mexico, Amerika Serikat pada 16 Juli 1945. Sekira pukul 5.30 pagi, fisikawan J. Robert Oppenheimer di base camp-nya mematung dengan wajah datar meski psikisnya tegang. Sejumlah rekan sesama ilmuwan Laboratorium Los Alamos dan kepala operasi lapangan Proyek Manhattan, Brigjen Thomas Francis Farrell, mengelilingnya. Mereka semua sedang menyaksikan “Trinity Test” atau ujicoba perdana bom atom.
Jenderal Farrell masih ingat betul ekspresi Oppenheimer di detik-detik jelang detonasi dalam ujicoba pagi itu. Ekspresinya begitu tegang, nyaris seperti tidak bernafas. Baru ketika bom atom itu sudah diledakkan dan memancarkan sinar menyilaukan serta gemuruh dahsyat, ekspresi Oppenheimer berangsur rileks.
“Saya menjadi Maut, penghancur dunia,” kenang Oppenheimer, dikutip majalah Time, 8 November 1948.
Baca juga: Nobel, Hadiah Atas Rasa Kemanusiaan
Kata-katanya penyesalan Oppenheimer itu ibarat déjà vu dengan momen ketika kimiawan Alfred Nobel mengembangkan dan mematenkan dinamit pada 1867. Belakangan, juga disesalinya. Kalimat serupa tapi tak sama disuarakan lagi oleh Oppenheimer ketika ia diwawancara NBC pada medio 1965. Wawancara yang dipandu Chet Huntley itu dalam rangka produksi dokumenter The Decision to Drop the Bomb, dua tahun sebelum Oppenheimer tutup usia.
“Kita tahu dunia takkan lagi sama. Beberapa orang tertawa, beberapa lainnya menangis. Banyak di antara yang lainnya bungkam. Saya ingat sebuah manuskrip Hindu, Bhagavad Gita; (dewa) Wisnu berusaha membujuk pangeran (Arjuna) bahwa ia harus melakukan tugasnya dan untuk membuatnya terkesan, ia mengambil sebuah senjata dan mengatakan, ‘sekarang saya menjadi Maut, penghancur dunia.’ Saya harap kita semua bisa merenunginya,” kata Oppenheimer.
Oppenheimer memang sering mengutip Bhagavad Gita. Namun saat diwawancara televisi itu, Oppenheimer sedikit keliru menyebut tokohnya.
“Oppenheimer menyebutkan kalimat itu dalam sebuah wawancara hampir 20 tahun pasca-Trinity Test, meski Oppenheimer keliru mengutip kata-kata itu dari Wisnu, padahal yang benar adalah kata-kata (dewa) Krisna,” ungkap sejarawan University of Massachusetts Dartmouth, James A. Hijiya dalam The Gita of J. Robert Oppenheimer.
Baca juga: Star Wars Penangkal Nuklir Amerika
Filosofi Bhagavad Gita dan Komunisme
Julius Robert ‘Oppie’ Oppenheimer lahir di New York pada 22 April 1904 sebagai sulung dari dua bersaudara anak Julius Seligmann Oppenheimer dan Ella Friedman. Oppenheimer datang dari keluarga berada. Ayahnya merupakan importir tekstil yang hobi melukis dan mengoleksi lukisan.
Ayahnya seorang imigran Yahudi-Jerman asal Hanau, Jerman. Kesuksesannya sebagai importir tekstil membolehkannya memiliki properti wisma di Islip, New York dan sebuah apartemen sembilan kamar di Riverside Drive dengan lukisan-lukisan asli Pablo Picasso dan Vincent van Gogh menghiasi ruang keluarga. Ia sosok yang hangat dan hanya meminta putranya menjadi anak yang punya karakter lelaki sejati.
Sementara ibunya lebih disiplin, terkadang keras dalam mendidik Oppie maupun adiknya, Frank Friedman Oppenheimer, yang lahir tiga bulan pasca-tenggelamnya Titanic. Kelak, Frank juga mengikuti jejak kakaknya, menjadi fisikawan yang turut membantu kakaknya di Proyek Manhattan.
“Tetapi kehidupan saya di masa kecil tidak dipersiapkan untuk menghadapi kenyataan bahwa ada kekejaman dan kepahitan di sekeliling saya sehingga membuat saya menjadi anak kecil yang baik tapi tidak berperasaan,” kenang Oppenheimer lagi.
Baca juga: Marcel Dassault dan Jet Tempur Kebanggaan Prancis
Matanya baru “terbuka lebar” ketika sudah kuliah. Oppie merantau untuk studi ke berbagai tempat, mulai di Ethical Culture Fieldstone School (ECFS), Harvard College, Christ’s College Cambridge (Inggris), hingga Georg-August-Universität Göttingen (Jerman). Oppenheimer sudah meraih gelar doktor dalam bidang teori fisika pada usia 23 tahun, usai berguru pada fisikawan dan matematikawan Max Born.
Ketika masuk Harvard, Oppenheimer kuliah di jurusan kimia. Namun di masa itu, setiap mahasiswa diharuskan ikut studi wajib sejarah, sastra, filsafat, dan matematika. Di sanalah minat Oppie terhadap sastra bermula. Minatnya terhadap sastra, utamanya India, makin besar setelah Oppenheimer mengajar di University of California Berkeley mulai 1929 sekaligus membidani departemen fisika teori.
“Di Harvard ia tertarik pada filosofi klasik Hindu. Pada usia 30-an di fakultasnya di Berkeley, rasa penasarannya makin dalam. Ia bahkan belajar bahasa Sanskerta dari seorang profesor (sastra, Arthur W. Ryder). Di situlah pertamakali ia diperkenalkan kepada (Bhagavad) Gita yang ia katakan sebagai, ‘senandung filosofis paling indah di antara semua bahasa di dunia’,” terang sastrawan Alok A. Khorana dalam artikelnya “Oppenheimer Was Influenced by the Bhagavad Gita” di kolom Literary Hub, Senin (10/7/2023).
Baca juga: Kisah Matematikawan India yang Dipandang Sebelah Mata
Pada era 1930-an pula Oppenheimer bersentuhan dengan gagasan-gagasan komunis. Ia menjadi ilmuwan kiri terutama setelah merasa jijik dengan Naziisme selama ia studi doktoralnya di Jerman.
“Saya tiba pada sebuah pengakuan bahwa politik adalah bagian dari kehidupan. Saya menjadi orang kiri, bergabung dengan Teachers Union, punya banyak sahabat komunis. Itu yang dilakukan banyak orang selama kuliah atau pengujung masa SMA. Saya tidak malu. Saya lebih malu pada keterlambatan. Memang yang saya yakini di masa lalu sepertinya tidak masuk akal tapi itu jadi bagian penting ketika saya menjadi seseorang seutuhnya,” imbuhnya.
Meski Oppenheimer tak pernah menyatakan ia kader atau Partai Komunis Amerika Serikat (CPUSA), setidaknya–menurut catatan FBI– Oppenheimer pernah duduk di kursi komite eksekutif American Civil Liberties Union yang terafiliasi dengan CPUSA. Kai Bird dan Martin J. Sherwin dalam American Prometheus: The Triumph and Tragedy of J. Robert Oppenheimer mencatat, sebuah berkas FBI medio bertarikh Maret 1941 mengungkapkan bahwa Oppenheimer pernah menghadiri sebuah rapat yang turut dihadiri sejumlah aktivis CPUSA bagian California pada Desember 1940.
Baca juga: Ketika Dokter Gila Turut Merumuskan Kamus Oxford
Catatan FBI itu sempat jadi kerikil jelang Oppenheimer tergabung di Proyek Manhattan pada Agustus 1943. Di kemudian hari, pada pemeriksaan Atomic Energy Commission (AEC) atau Komite Energi Atom Amerika terhadap Oppenheimer pada 1954, direktur Proyek Manhattan Brigjen Leslie R. Groves Jr. tetap memberi surat rekomendasi buat Oppenheimer mengingat kebutuhan akan percepatan pengembangan bom atom.
Proyek Manhattan itu sendiri merupakan riset pengembangan senjata berbasis nuklir Amerika yang didirikan pada 1942 di bawah naungan Korps Teknis Angkatan Darat (AD) Amerika USACE. Tujuannya untuk mengejar ketertinggalan dari penelitian dan pengembangan Uranprojekt, proyek pengayaan uranium Jerman, yang sudah bergulir sejak 1939.
“Mengenai perintah verbal saya pada 15 Juli (1942), merujuk pada rekomendasi kepada Julius Robert Oppenheimer tanpa penundaan terlepas adanya informasi mengenai Tuan Oppenheimer. Dia sangat penting bagi proyek (Manhattan) tersebut,” ungkap Jenderal Groves yang ia tuangkan dalam biografinya, Now it Can be Told: The Story of the Manhattan Project.