PADA 8 Mei 1923 pemerintah kolonial menangkap Semaun, tokoh PKI, karena dituduh membuat onar Hindia Belanda. Ia memimpin pemogokan buruh kereta api di Semarang yang juga dilakukan oleh buruh kereta api di Surabaya. Pemogokan tersebut jadi alasan kuat bagi pemerintah kolonial untuk mengasingkan Semaun keluar dari Hindia Belanda.
Dengan menggunakan hak untuk mengusir orang yang dianggap berbahaya (exorbitante rechten), gubernur jenderal Hindia Belanda memerintahkan Semaun meninggalkan Hindia Belanda dan tiba di Belanda pada 23 September 1923. Menurut sejarawan Harry Poeze, tiga hari setelah kedatangannya di Amsterdam, sejumlah orang menyelenggarakan rapat penyambutan yang diadakan untuknya di gedung konser (concertgebouw) Amsterdam.
Selama dia berada di Eropa, Semaoen “memperlihatkan kegiatan yang luar biasa dan kegiatan itu diarahkan ke berbagai jurusan,” tulis Harry Poeze dalam bukunya, Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950.
Salah satu kegiatan Semaoen di Belanda adalah menjadi wakil PKI di Eropa, di mana dia berupaya mengampanyekan perjuangan kawan-kawannya di Indonesia melawan pemerintah kolonial dan juga memprogandakan perjuangannya di kalangan masyarakat Eropa. Semasa dia menetap di Amsterdam, Semaoen juga kerap berkomunikasi dengan Komintern, organisasi komunis internasional yang berpusat di Moskow.
Beberapa suratnya masih tersimpan di koleksi arsip Komintern yang tersimpan di International Institute for Social History, Amsterdam. Salah satu suratnya yang cukup menarik adalah penjelasannya kepada Komintern mengenai keadaan partainya di Jawa. Menurut Semaoen dalam surat bertanggal 28 Juli 1924 itu, sebagai partai yang masih muda, PKI banyak kehilangan kader terbaiknya akibat pengusiran dan pemenjaraan.
“...(sementara itu) banyak orang-orang terpelajar disogok oleh kaum imperialis dengan memberi mereka kedudukan yang berpenghasilan baik, ini menjadi penyebab kenapa butuh waktu terlalu lama untuk mendapatkan pemimpin baru yang baik,” tulis Semaoen kepada Departemen urusan Timur di Komintern.
Untuk mengatasi persoalan itu, pada 1922 Semaoen pernah mengupayakan untuk mengirim beberapa pemuda dari Jawa untuk pergi belajar ke sebuah unversitas di Moskow. Namun Semaoen kecewa karena dana untuk membiayai kuliah yang dikirim dari Komintern melalui seseorang di Belanda itu ternyata digunakan oleh beberapa “kamerad Belanda” untuk mengirim seorang anarko-sindikalis Belanda ke Jawa.
“Dana yang kami terima dari Anda (5000 gulden) yang dikirimkan lewat Belanda, digunakan oleh beberapa kamerad Belanda untuk mengirimkan seorang anarko-sindikalis Belanda ke Jawa dengan tujuan “mengatur” sarekat buruh kami,” ujar Semaoen dalam surat berbahasa Inggris itu.
Oleh karena itu, untuk mengatasi kekurangan kader dan pentingnya mendidik kader partai sebelum mereka dikirim ke Jawa, Semaoen mengajukan tiga usulan. Pertama, membawa beberapa mahasiswa dari berbagai universitas di Belanda untuk belajar di Moskow. Dengan catatan, pemilihan mahasiswa itu dilakukan secara selektif dan hati-hati. Kedua, mengirim para pelaut yang berasal dari Jawa yang berada di Belanda ke Moskow, dan ketiga, mengirim para buruh di Jawa, yang sudah bekerja aktif untuk partai, belajar ke Moskow.
Dalam suratnya, Semaoen mengusulkan untuk mengirim seorang mahasiswa di Belanda yang bernama Soemantri untuk belajar ke Moskow. Besar kemungkinan, Soemantri yang dimaksud oleh Semaoen itu adalah Iwa Koesoema Soemantri, ahli hukum lulusan Universiteit Leiden yang kelak menjadi rektor Universitas Padjadjaran, Bandung.
[pages]