Masuk Daftar
My Getplus

Jago Meriam Pertempuran 10 November Jadi Pangdam Udayana

Jago meriam dalam Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya ini pernah jadi panglima di Sunda Kecil.

Oleh: Petrik Matanasi | 22 Apr 2025
Markas KODAM Udayana di Denpasar, Bali. (Akun Instagram Penerangan KODAM IX/Udayana)

HUBUNGAN Gereja Katolik dengan KODAM Udayanya, yang membawahi wilayah Sunda Kecil, mendadak berubah dari harmonis menjadi tegang. Pembubaran sebuah kampus oleh pihak Kodam ditengarai sebagai penyebabnya.

Kala itu, KODAM Udayana dikomando oleh Letnan Kolonel (Letkol) Minggu. Pria asal Jawa ini merupakan veteran Pertempuran 10 November di Surabaya.

Sebelum Indonesia merdeka, Minggu adalah sersan di tentara kolonial Hindia Belanda, Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL). Dia berdinsa sebagai artileris.

Advertising
Advertising

Saat Indonesia merdeka, Minggu masuk tentara Indonesia. Dia bisa dianggap sebagai perwira perintis artileri di TNI. Nugroho Notosusanto dalam Pertempuran Surabaya menyebut, sekitar 10 November 1945 sudah memimpin batalyon artileri dengan kekuatan 28 meriam penangkis udara di Surabaya. Meriam-meriam itu berjasa menghalangi gerak maju pesawat tentara Sekutu yang akan memasuki Surabaya.

“Semuanya ini memungkinkan pemuda Surabaya dapat bertahan hampir tiga minggu lamanya terhadap serangan,” tulis Nugroho Notosusanto.

Kiprah Minggu berlanjut ketika pasukan Belanda telah menggantikan Inggris selaku wakil Sekutu di Asia Tenggara. Menurut Irna Hanny Nastoeti Hadi Soewito dalam Rakyat Jawa Timur mempertahankan kemerdekaan  Volume 1, ketika pasukan Belanda hendak mendarat melalui Gresik sekitar 1947, pasukan artileri yang dipimpin Mayor Minggu mengganggu pendaratan itu sehingga gagal dilaksanakan.

Termasuk perwira penting di Jawa Timur, Mayor Minggu memegang jabatan komandan Resimen Infanteri 26 Artileri hingga setelah Perang Kemerdekaan. Buku Sam Karya Bhirawa Anoraga menyebutkan, Minggu adalah komandan batalyon artileri berpangkat mayor hingga dia kemudian dipindahtugaskan ke Kepulauan Sunda Kecil di tahun 1950-an.

Sebagai perwira tertinggi di Sunda Kecil –kini menjadi bagian dari KODAM Udayana, Letkol Minggu berkuasa di daerah itu ketika ada konflik militer di Sulawesi. Ia kemudian juga ikut menentukan kebijakan ekonomi di daerah itu. Wewenang itu muncul setelah KSAD  Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution mengeluarkan Undang-Undang Darurat Perang, yang menandai dimulainya tentara merambah ke ranah bisnis.

“Di bawah undang-undang darurat militer, Letkol Minggu, menjadi otoritas sentral pembuat keputusan ekonomi. Pada 1959 saja, dia mengeluarkan lusinan perintah eksekutif yang berkenaan dengan semua aspek kehidupan ekonomi: pemberian lisensi bisnis, kontrak, harga, skala upah dan jabatan direktur,” catat Geoffrey Robinson dalam Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik.

Sebagai Penguasa Perang Daerah (Peperda), Minggu begitu waspada pada orang asing. Koran Volkskrant tanggal 15 Januari 1959 menyebut, Minggu “mengharuskan semua orang asing untuk memasang tanda di depan rumah mereka yang menyatakan nama lengkap, kewarganegaraan, dan bendera negara mereka. Tidak ada pengecualian bagi para misionaris.”

Letkol Minggu juga sangat antikritik. Untuk urusan yang ini, dia sampai menutup Gema Katolik, media gerakan pemuda Katolik, dan Suara Seboek yang merupakan media pekerja Katolik) karena kedua media mengkritik penguasa militer di sana.

Pada bulan Oktober 1958, sebuah perguruan tinggi baru di Ende, Flores, juga ditutup. Padahal, kelas pertama di kampus itu baru berjalan beberapa hari. Dasar penutupan itu adalah lembaga tersebut tak memiliki izin penguasa militer, sesuai aturan tanggal 16 Oktober 1958 yang dikeluarkan pihak militer.

Aturan dari Peperda, yang berkuasa belakangan, agaknya tak diketahui pihak kampus. Sebab, kampus tersebut telah mendapat izin berdiri dari pemerintah sipil pada Juni 1958, saat militer belum berkuasa. Alhasil, hubungan antara militer dengan gereja Katolik di Ende memburuk.

Letkol Minggu, yang merupakan salah satu pendiri KODAM Udayana, bertugas di KODAM tersebut dari 5 Juli 1957 hingga 12 September 1959. Setelahnya, menurut Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi Angkatan Darat, dia bertugas di Jakarta. Pemegang pangkat terakhir Brigadir Jenderal TNI itu, menurut buku Trilogi Sandang Rakjat, pada 1965 adalah anggota Panitia Musyawarah dari Dewan Produksi Nasional (Depronas).

TAG

tni ad pertempuran-surabaya

ARTIKEL TERKAIT

Protes Sukarno soal Kemelut Surabaya Diabaikan Presiden Amerika Goresan Tinta Seniman Australia Merekam Revolusi Kemerdekaan Seragam Batik Tempur Senjata Makan Tuan HUT Kota Surabaya dan Pasukan Sriwijaya Buku Harian yang Hilang Pemuda Sosialis di Balik Film Legendaris Yang Terlupa dalam Surabaya 45 Cerita dari Stadion Gelora 10 November Surabaya Menyingkap Makna Ndas Mangap