Masuk Daftar
My Getplus

Dari DI/TII ke Seoul

Bekas pemimpin DI/TII ini dimaafkan negara. Selesai berseteru dengan pemerintah dia merantau ke luar negeri.

Oleh: Petrik Matanasi | 26 Mei 2023
Amir Fatah duduk paling kanan. (repro "30 Tahun Indonesia Merdeka Jil. 2")

Namanya kerap disebut dalam buku pelajaran sejarah di Indonesia. Namun, citranya “miring” lantaran sebagai pemimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Tengah pada 1950-an. Dialah Sjarif Hidajatullah atau yang lebih populer Amir Fatah.

Amir Fatah Widjajakusuma merupakan pemuda Kroya, Jawa Tengah terpandang di era 1945. Ketika Perang Kemerdekaan berkecamuk, dia menjadi pemimpin pasukan dalam Hizbullah.

Amir Fatah, menurut Cornelis van Dijk dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, “memimpin pasukan Hizbullah yang menyertai Kartosoewirjo ke Malang untuk menghadiri sidang paripurna kelima Komite Nasional Indonesia Pusat sebagai semacam pengawal, Februari 1947.”

Advertising
Advertising

Amir Fatah tidak hanya dekat dengan Sukarmardji Maridjan Kartosuwirjo, tetapi juga dengan Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia Jenderal Sudirman. Sebagaimana disebutkan buku Republik Indonesia Propinsi Djawa Tengah, Amir Fatah mengaku sebagai bawahan Panglima Besar Jenderal Sudirman, yang pada Agustus 1946 dikirim ke Jawa Barat bersama 3 kompi pasukan dari Batalion V, Brigade 6, Divisi Diponegoro. Pasukan itu dikirim untuk memastikan ada pendukung RI di sana.

Baca juga: Kisah Jenderal Soedirman dan "80 Perompak"

 

Dalam perjuangan melawan tentara Belanda, Amir Fatah pernah menjadi kepala Staf Divisi 17 Agustus. Ini merupakan pasukan yang menentang hasil diplomasi RI dalam Perjanjian Linggarjati yang hanya menguntungkan Belanda.

Dari Jawa Barat, Amir Fatah bergeser ke Brebes pada pertengahan 1948. Di Brebes, Amir Fatah bergabung bersama batalion Hizbullah pimpinan Abas Abdullah.

Setelah Proklamasi DI/TII oleh Kartosuwirjo pada 17 Agustus 1945, ia menggabungkan diri ke DI/TII. Nugroho Notosusanto dkk dalam Sejarah Nasional Indonesia VI menulis, pada 23 Agustus 1949, di Desa Pengarasan, Tegal, Amir Fatah memaklumkan diri sebagai bagian dari Darul Islam pimpinan Kartosoewirjo. Dia dijadikan panglima perang merangkap komandan Batalion Syarif Hidayatullah Wijaya Kusuma di Jawa Tengah.

Baca juga: Surat Wasiat Kartosoewirjo

 

Setelah itu, kelompok Amir Fatah memperlihatkan taringnya di DI/TII. Koran Het Nieuwsblad voor Sumatra edisi 27 Agustus 1949 memberitakan kelompok Amir Fatah menyerang Desa Rokeh Djati dan membunuh sejumlah warga. Selain itu, Desa Pagerbarang juga diserang dan sempat dijadikan tempat persembunyian. Koran itu menyebut Amir Fatah adalah mantan letnan kolonel TNI.

Pada awal November 1949, tulis De Locomotief edisi 16 November 1949, kelompok Amir Fatah menyerang sebuah pos polisi di Desa Gumalar, lalu Siasem dan Wonosaridi selatan di Tegal. Sebanyak 45 rumah juga dibakar.

Amir Fatah dan para bawahannya mengganggap RI sudah tidak ada setelah ibukota Yogyakarta diduduki Belanda pada 19 Desember 1948 dan para pemimpinnya ditangkap. Alhasil mereka tak percaya dengan RI yang ada setelah 1950.

Amir Fatah pun meneruskan gerilyanya melawan TNI. De Preangerbode edisi 23 Desember 1950 memberitakan, pertempuran sengit antara pasukan Amir Fatah dengan TNI terjadi di Desa Ciawi, Tasikmalaya, pada pertengahan 1950. Amir Fatah bersama 150 kombatannya bersenjatakan 100 pucuk senapan. Pertempuran berlangsung selama tujuh hari. Mayor Noersain dari DI/TII terbunuh. Amir Fatah akhirnya tertangkap di Cisayong, Tasikmalaya, pada 22 Desember 1950.

Baca juga: Van Kleef, Polisi Nakal yang Ikut DI/TII

 

Setidaknya dua tahun Amir Fatah ditahan. Setelah dibebaskan, ia merantau ke luar negeri. Majalah Tempo edisi 04 Desember 1976 memberitakan, dia pernah tinggal di Amerika dan Eropa. Sekitar tahun 1968, ia pindah ke Korea Selatan. Joezahar Sirie glr. Sutan Perpatih dalam Moralitas Informasi dalam Diplomasi menyebut Amir Fatah dibawa ke Korea oleh Duta Besar RI untuk Pakistan Mayor Jenderal Rukminto Hendraningrat.

“Ia bekerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Seoul dan di samping pekerjaannya itu ia juga menjadi Kiyai dengan mengajar agama di kota itu. Sudah banyak orang Korea yang menjadi Muslim karena dakwah saudara Amir Fatah,” catat Mukti Ali dalam Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini.

Amir bekerja sebagai staf lokal KBRI. Ia pernah menikahi perempuan Korea pula di sana. Dari perempuan Korea itu, Amir Fatah punya dua anak.

TAG

di tii kartosuwiryo

ARTIKEL TERKAIT

Kisah Perseteruan Ajengan Yusuf Tauziri vs Kartosoewirjo (2) Pemberontakan Kahar Muzakkar Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Permina di Tangan Ibnu Sutowo Selintas Hubungan Iran dan Israel Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Kematian-kematian Sekitar Pemilu 1971 Melawan Sumber Bermasalah