Surat Wasiat Kartosoewirjo
Surat wasiat S.M. Kartosoewirjo, imam DI/TII, terdiri dari empat bagian. Wasiat yang ditujukan kepada pemerintah tidak dilaksanakan.
Surat wasiat Zakiah Aini yang ditembak mati di Mabes Polri beredar di media sosial. Berisi alasan memilih jalan dan pesan kepada keluarga agar menjaga ibadah. Pesannya menunjukkan keyakinannya bahwa sistem di Indonesia tidak sesuai ajaran Islam.
Untuk itu, dia meminta keluarganya berhenti berhubungan dengan bank (kartu kredit) karena riba. Dia juga meminta keluarga berhenti membantu pemerintah thaghut dan tidak ikut pemilu karena pemilu, demokrasi, Pancasila, dan UUD, berasal dari ajaran kafir.
Zakiah yakin jalan yang ditempuhnya adalah jalan jihad sebagaimana jalan Nabi/Rasul. “Insya Allah amalan jihad Zakiah akan membantu memberi syafaat kepada keluarga di akhirat,” katanya.
Dalam sejarah, mereka yang berusaha mendirikan negara Islam, memiliki keyakinan yang kukuh bahwa dirinya tengah berjuang menjalankan perintah Tuhan. Seperti terlihat dari surat wasiat imam DI/TII, S.M. Kartosoewirjo.
Baca juga: Kartosoewirjo dan Masyumi
Sejarawan Cornelis van Dijk dalam Darul Islam, Sebuah Pemberontakan, menyebut bahwa untuk mengakhiri Darul Islam, operasi-operasi TNI ditingkatkan pada April 1962. Bahkan, Divisi Brawijaya dan Diponegoro ambil bagian dalam Operasi Brata Yudha.
TNI melakukan pengejaran lebih dari sebulan, tiga kali Kartosoewirjo lolos. Akhirnya, pada 4 Juni 1962, Kartosoewirjo tertangkap bersama istrinya, dan komandan pengawal pribadinya, Kurnia, di tempat persembunyian di puncak Gunung Geber, dekat Cipaku di Cicalengka Selatan.
“Ketika ditangkap Kartosoewirjo sakit berat. Dia menderita bawasir, tuberkulosis, serta kelumpuhan akibat luka peluru di paha kanannya yang dialaminya ketika tembak-menembak dengan pasukan Republik, akhir April [1962],” tulis Dijk.
Setelah Kartosoewirjo tertangkap, anaknya sekaligus sekretarisnya, Dede Mohammad Darda, mengeluarkan instruksi atas nama imam dan presiden Negara Islam Indonesia yang memerintahkan semua anggota DI/TII menyerah kemudian menyatakan sumpah setia kepada Republik Indonesia.
Kartosoewirjo kemudian disidang di Pengadilan Mahkamah Darurat Perang (Mahadper) selama tiga hari pada 14-16 Agustus 1962.
Al Chaidar, pengamat terorisme dan pengajar di program studi antropologi Universitas Malikussaleh, Aceh, menyebut bahwa menurut pengadilan Mahadper dalam sidang ketiga pada 16 Agustus 1962 telah terbukti segala daya usaha yang dilakukan selama kurang lebih 13 tahun oleh Kartosoewirjo dengan mendirikan dan memperjuangkan Negara Islam Indonesia (DI/TII) itu adalah rencana makar yang bertujuan menggulingkan pemerintahan Republik Indonesia yang sah.
Pengadilan menyatakan bahwa perjuangan Kartosoewirjo dalam menegakkan Negara Islam Indonesia itu adalah sebuah pemberontakan. Di samping itu, dia telah memerintahkan kepada anak buahnya untuk membunuh Presiden Sukarno. Oleh karena itu, mahkamah memutuskan hukuman mati atas terdakwa Kartosoewirjo.
“Tuduhan-tuduhan ini semua tidak diakui oleh Kartosoewirjo. Dengan segala ketegarannya, meskipun fisiknya dalam keadaan lemah dan kurus, dia tetap konsisten mempertahankan idealismenya, sebuah cita-cita mewujudkan Daulah Islamiyah di Indonesia adalah perintah Ilahi yang harus diperjuangkan oleh umat Islam,” tulis Al Chaidar dalam Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo: Fakta dan Data Sejarah Darul Islam.
Baca juga: Detik-detik Terakhir Kartosoewirjo
Kartosoewirjo kemudian menyusun surat wasiat yang terdiri dari empat bagian. Al Chaidar menguraikan, dalam bagian pertama (wasiat A) Kartosoewirjo menerangkan kepada anggota keluarganya tentang jalannya persidangan dan dia meminta agar seluruh anggota keluarga tetap bersabar dalam menerima Qadar Allah yang pahit itu. Kepada isterinya, Siti Dewi Kalsum, dia berpesan untuk membimbing anak-anaknya menjadi putra-putri Islam yang sejati.
Dalam bagian kedua (wasiat B), Kartosoewirjo mengucapkan selamat berpisah kepada eks mujahidin dan bawahannya. Mereka perlu mengetahui, demikian Kartosoewirjo, bahwa dia hingga saat-saat terakhir bertindak dan berbuat selaku Imam Panglima Tertinggi APNII (Angkatan Perang Negara Islam Indonesia). Dan dia tidak ragu-ragu, bahwa apa yang dia lakukan bersumberkan perintah-perintah Allah dan Sunnah Rasulullah Saw., dan siap menjadi saksi kelak di akhirat. Dalam wasiat itu juga dituliskan bahwa dia haqqul yaqin suatu waktu cita-cita Islam yang telah diperjuangkannya akan terlaksana di bumi Indonesia, walaupun lawannya tetap menentang.
Dalam kedua bagian terakhir wasiatnya (wasiat C) Kartosoewirjo mohon kepada instansi yang berwenang, supaya barang-barang milik pribadi diberikan kepada keluarganya. Dia juga menyatakan keinginannya (wasiat D) bahwa jika nanti dia mati, supaya dia dikuburkan di tanah miliknya sendiri, yaitu di Suffah yang terletak di Desa Cisitu, Kecamatan Malangbong.
“Kepada pemerintah RI dia mengajukan permintaan, supaya wasiat-wasiatnya disiarkan lewat pers dan radio. Namun, tidak ada satu pun dari wasiat yang ditujukan kepada pemerintah RI yang dilaksanakan,” tulis Al Chaidar.
Baca juga: Upaya Pembunuhan Sukarno di Hari Raya Kurban
Sejarawan Holk H. Dengel dalam Darul Islam dan Kartosuwirjo: Langkah Perwujudan Angan-angan yang Gagal menyebutkan, sehari sebelum Kartosoewirjo menyusun wasiatnya, Panglima Kodam Jaya telah memerintahkan untuk melaksanakan keputusan Mahadper dan menyusun regu penembak yang terdiri dari keempat angkatan.
“Kecuali permintaan Kartosoewirjo untuk bertemu dengan keluarganya, semua kehendak lain dalam wasiatnya ditolak oleh oditur (penuntut umum dalam pengadilan militer, red.) yang bersangkutan,” tulis Holk.
Pada 4 September 1962, Kartosoewirjo minta diri dari keluarganya. Keesokan hari di pagi buta, dia bersama regu penembak dibawa dengan kapal Angkatan Laut dari pelabuhan Tanjung Priok ke sebuah pulau di teluk Jakarta, di mana hukuman mati dilaksanakan. Belakangan diyakini tempat eksekusinya di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu.
“Hukuman mati dilaksanakan bersama dengan empat anggota Darul Islam yang terlibat dalam rencana pembunuhan terhadap Presiden Sukarno pada hari Idul Adha, yaitu 1 Mei 1962,” tulis Dijk.
Menurut Holk, pada pukul 5.50, tepat setelah komadan regu penembak memberikan tembakan pengampunan, Kapten Laut dr. Gerardus Paat mengeluarkan visum et repertum untuk Kartosoewirjo. “Di pantai pulau itu jenazah Kartosoewirjo dikebumikan menurut adat Islam,” tulis Holk.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar