Kisah Jenderal Soedirman dan "80 Perompak"
Kedatangan pucuk pimpinan TRI beserta para pengawalnya ke Batavia, sempat membuat Panglima KNIL Jenderal Spoor marah besar.
Jumat, 1 November 1946. Udara pagi Jakarta mulai menghangat, saat serangkaian kereta api istimewa memasuki Stasiun Manggarai. Begitu berhenti, ribuan orang yang memenuhi ruang tunggu mulai ramai bersuara. Suasana mulai “histeris” manakala dari salah satu gerbong muncul dua orang yang ditunggu: Panglima Besar Tentara Republik Indonesia (TRI) Jenderal Soedirman dan Kepala Staf TRI, Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo.
Baca juga: Pak Oerip Nyaris Terkena Ranjau
“Pekik merdeka kembali berdengung di Jakarta, menyambut kedatangan Pak Dirman,” ujar mantan Menteri Pertambangan di era Orde Baru Soebroto, seperti dikutip sejarawan Moehkardi dalam Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Pisik 1945-1959.
Soebroto adalah salah seorang kadet Akademi Militer Yogyakarta. Bersama 14 rekannya, dia masuk dalam barisan pengawal Soedirman saat itu. Mereka terpilih karena dianggap berasal dari kalangan elit TRI yang memiliki disiplin tinggi dan kapasitas intelektual yang memadai (salah satunya menguasai bahasa Inggris dan bahasa Belanda). Kriteria itu penting supaya prajurit-prajurit TRI tidak memalukan bila tampil di depan hidung tentara Inggris dan tentara Belanda.
Baca juga: Bercanda Gaya Akademi Militer
Kedatangan para pucuk pimpinan TRI ke Jakarta dalam rangka menindaklanjuti hasil Perjanjian Linggarjati antara pemerintah RI dengan pemerintah Kerajaan Belanda yang hingga akhir Oktober 1946 sudah mendekati final. Mereka akan membicarakan soal teknis dari pelaksanaan gencatan senjata antara kedua belah pihak.
Belanda sendiri awalnya keberatan dengan kedatangan Jenderal Soedirman lengkap dengan para pengawal bersenjatanya ke Jakarta. Bahkan dalam nada marah, Panglima KNIL Jenderal S.H. Spoor menyebut upaya itu sebagai bentuk provokasi dari Soedirman. Dalam suratnya kepada Kepala Staf Umum Tentara Kerajaan Belanda Jenderal H.J. Kruls, Spoor menyatakan kedatangan Soedirman dengan rombongan bersenjatanya ke Batavia sungguh memberi malu kepada orang-orang Belanda.
“Ia sangat berang dengan tindakan provokatif Jenderal Soedirman ‘dengan 80 perompak-nya’ di Batavia,” tulis sejarawan JA.de Moor dalam Jenderal Spoor: Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia.
Spoor juga menyebut bahwa Soedirman dan para republiken sama sekali tidak memiliki niat baik untuk menciptakan perdamaian. Mereka tidak loyal terhadap kesepakatan yang sudah diciptakan oleh kedua pihak dalam Perjanjian Linggarjati. Namun apa boleh buat, orang-orang Inggris yang masih bercokol di Jakarta dan merupakan wakil sah dari Sekutu, menginginkan Belanda untuk menyelesaikan semaksimal mungkin konfliknya dengan Indonesia harus lewat meja perundingan.
“Belanda kini terpaksa berunding dengan para ‘bajingan dan kolaborator dari masa perang’,” ungkapnya.
Baca juga: Jenderal Spoor Tewas di Sumatera?
Di lain pihak, kedatangan rombongan Soedirman ke Jakarta, memang dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Perdana Menteri RI Sutan Sjahrir. Menurut sejarawan Rushdy Hoesein, sebenarnya bisa saja rombongan Panglima Besar menyudahi perjalanannya di Stasiun Gambir dan diam-diam langsung masuk Hotel Shutteraff yang ada persis di muka stasiun tersebut (sekarang Gedung Pertamina).
“Namun Sjahrir menginginkan supaya Soedirman dan rombongannya diarak dari Stasiun Manggarai menuju hotel tempat mereka menginap untuk memperlihatkan kepada Belanda dan Inggris bahwa Republik memiliki tentara yang patut dibanggakan,” ujarnya.
Bagi para pengawal, situasi tersebut merupakan ujian tersendiri bagi kedisiplinan mereka sebagai tentara. Terutama bagi yang kebagian jaga di depan hotel, persis menghadap jalan raya. Entah berapa kali dalam sehari, serdadu-serdadu Belanda secara provokatif berjalan hilir-mudik di depan mereka dengan sorot mata memusuhi dan menghina.
“Kami masing-masing hanya bisa saling melototkan mata saja, untunglah tidak sampai terjadi insiden,” kenang Soebroto.
Namun selain perang urat syaraf, ada juga kenangan indahnya. Tak jarang orang-orang Jakarta, terutama para gadisnya, mondar-mandir di depan kadet penjaga. Mereka rupanya sengaja lewat depan Hotel Shutteraff hanya sekadar ingin tahu betapa tampan dan gagahnya para prajurit TRI yang mereka banggakan itu.
Rombongan Soedirman berada di Jakarta hingga Selasa sore, 5 November 1946. Paginya, Panglima Besar masih menyempatkan diri melakukan shalat Idul Adha di Lapangan Gambir (sekarang kawasan Monas) bersama masyarakat Jakarta. Seperti saat menyambut kedatangan Soedirman di Stasiun Manggarai beberapa hari sebelumnya, ribuan masyarakat Jakarta pun terlihat antusias menjalankan shalat berjamaah dengan panglima besar-nya.
Baca juga: Pengunduran Diri Jenderal Soedirman
Tambahkan komentar
Belum ada komentar