SUASANA hening selama satu menit dengan atmosfer haru tercipta di Allianz Arena. Sesaat jelang partai ke-23 Bundesliga antara tuan rumah Bayern Munich kontra RB Leipzig pada Minggu (25/2/2024), segenap pemain, official, dan lebih dari 47 ribu penonton menundukkan kepala. Mereka mengenang seorang legenda yang belum lama ini telah tiada, Andreas ‘Andi’ Brehme.
Brehme menghembuskan nafas terakhir pada 20 Februari 2024 di usia 63 tahun karena serangan jantung. Ia tak hanya dihormati suporter Bayern namun juga segenap insan sepakbola Jerman lantaran ia adalah pahlawan di Piala Dunia 1990.
“Sepakbola Jerman telah kehilangan salah satu legenda terhebatnya. Andi Brehme akan selalu menjadi juara dunia 1990 kita dan sosoknya lebih dari sekadar golnya di final Piala Dunia di Roma. Ia selalu ada untuk siapa saja dan ia teman yang setia,” seru announcer stadion Allianz Arena, Stephan Lehmann, jelang mengheningkan cipta, dikutip laman resmi klub, Minggu (25/2/2024).
Malam itu juga menjadi malamnya Bayern. Setelah tiga pekan sebelumnya acap keok di liga domestik, klub besutan Thomas Tuchel itu akhirnya mampu mengemas tiga poin kemenangan, 2-1, atas tamunya. Kemenangan yang tak hanya jadi kado untuk klub yang merayakan hari jadinya yang ke-124 (27 Februari 1900) namun juga kado manis untuk mengenang mendiang Brehme.
Meskipun tak lama berseragam Bayern (1986-1988), Brehme punya peran besar dalam membungkus sejumlah prestasi klub dalam 80 penampilan kompetitifnya. Antara lain satu gelar Bundesliga musim 1986-1987 dan trofi DFL-Supercup 1987.
Baca juga: Obituari: Bomber Sangar Itu Bernama Gerd Müller
Kekuatan Dua Kaki
Stadio Olimpico, Roma pada 8 Juli 1990 malam. Laga sengit terjadi di partai final Piala Dunia yang mempertemukan Jerman Barat kontra Argentina. Partai tersebut jadi ajang balas dendam final Piala Dunia 1986, di mana Argentina memecundangi Jerman 3-2.
Saat pertandingan tinggal menyisakan enam menit waktu normal, kapten Jerman Lothar Matthaeus melepaskan umpan terobosan kepada striker Rudi Völler di kotak penalti Argentina. Bek Argentina Néstor Sensini, yang menjaga Völler, langsung melakukan sliding tackle. Völler pun terjatuh. Wasit Edgardo Codesal asal Meksiko seketika menunjuk titik putih.
Jerman diuntungkan hadiah tendangan penalti. Tetapi siapa yang akan jadi algojo? Lothar Matthäus menolak jadi eksekutor hanya gegara ia baru ganti sepatu. Ia merasa tak nyaman jadi penentu.
“Tentu saja kami ingin menang. Kami favorit terbesar di final (1990) dan yang jelas suporter berperan besar. Dari 80 ribu penonton, 75 ribu di antaranya suporter Jerman. Belum lagi orang Italia juga mendukung kami,” kenang Brehme kepada Goal di akun Youtube-nya yang diunggah pada 21 Juni 2014.
Baca juga: Obituari: Addio Paolo Rossi!
Hanya Brehme yang punya sifat setenang air menghadapi Sergio Goychochea di bawah mistar Argentina. Itu ia buktikan dengan eksekusinya di menit ke-85. Di titik 12 pas, bek kiri itu mengambil tendangan dengan kaki kanan mengarah datar ke pojok kanan gawang. Meski Goycochea terbang ke arah yang sama, tembakan Brehme gagal dibendungnya.
Skor 1-0 untuk Jerman lalu bertahan hingga peluit terakhir dibunyikan. Tim Panser sukses menjadi juara Piala Dunia untuk yang ketiga kalinya. Brehme pun jadi pahlawannya.
“Penalti itu situasi yang sulit. Pertandingan hanya tersisa beberapa menit dan penalti itu bisa menentukan hasilnya. Saya tahu jika bisa mencetak gol, kami akan jadi juara dunia. Saya percaya diri karena bermain baik sepanjang turnamen. Kami tampil dua kali di final 1986 dan 1990 dan keduanya melawan Argentina, itu sangat spesial, bahkan jika Anda kalah di salah satu finalnya,” sambungnya.
Trofi Piala Dunia jadi dambaan semua penggila sepakbola, tak terkecuali Brehme sejak usia dini. Dieter Matz, wartawan olahraga senior Abendblatt, mengaku sudah mengikuti Brehme sejak kecil. Matz mengungkapkan bahwa Brehme yang lahir di Hamburg, 9 November 1960 itu sudah dikenalkan sepakbola sejak dini oleh ayahnya, Bernd Brehme, eks-bek klub lokal SC Urania dan HSV Barmbek-Uhlenhorst (BU).
“Saya menyaksikannya setiap hari dilatih ayahnya, Bernd Brehme, karena sejak dini Andreas punya bakat individu. Saking beratnya latihan setiap hari kadang saya melihat Andreas menangis saat tenaganya sudah habis dan tak mampu lagi berlatih,” kenang Matz dalam obituarinya untuk Brehme, “Warum Andreas Brehme nie beim grosen HSV landete” di kolom Hamburger Abendblatt, 21 Februari 2024.
Baca juga: Paul Breitner si Pemain Kiri
Bakat Brehme menarik perhatian HSV BU yang kemudian mengundang Brehme kecil ke sesi latihan tim mudanya. Brehme akhirnya mampu menembus tim senior usai mendapatkan kontrak profesional pertamanya pada 1978.
Meski begitu, keinginannya mengembangkan karier di kasta teratas Bundesliga nyaris menemui jalan buntu.
“Tidak banyak klub yang tertarik padanya. Arminia Bielefeld sempat kepincut tapi merasa tidak cukup baik untuk Bundesliga. Hingga akhirnya bakat Brehme terpantau seseorang: Felix Magath. Ia merekomendasikan mantan klubnya, 1. FC Saarbrücken merekrut bek bertalenta itu,” tambahnya.
Saarbrücken setuju dan jadilah Brehme pindah meski hanya setahun (musim 1980-1981). Berkat penampilannya yang apik, pada musim berikutnya Brehme dibajak 1. FC Kaiserslautern. Di klub berjuluk Die Roten Teufel (Setan Merah) inilah karier Brehme mulai bersinar.
“Bersama pelatih Otto Rehhagel, pertandingan pertama kami adalah laga tandang melawan Bayern, di mana kami sebagai tim yang baru kembali promosi menang 1-0. Ini jadi pesan buat segenap (kontestan) Bundesliga bahwa kami telah kembali,” ungkap Brehme dalam otobiografinya, Sure-Footed: The Story of a World Champion.
Baca juga: Obituari: Sisi Lain Der Kaiser Franz Beckenbauer
Di Kaiserslautern pula Brehme mengembangkan skill dan posisi full-back atau bek sayap modern. Peran di mana bek sayap tidak sekadar membendung serangan sayap musuh tetapi juga berperan membantu serangan.
“Saya pikir bersama (bek klub lain) Paul Breitner dan Hans-Peter Briegel, kami merupakan bek sayap modern Jerman pertama pada 1980-an. Kami memiliki kemampuan dribble bola di garis lapangan dan menempatkan umpan silang atau umpan lambung ke area penalti dari posisi yang lebih dalam. Baik Paul dan saya punya kekuatan di dua kaki sehingga kami bisa mudah bermain multiperan sebagai bek kiri, bek kanan, atau gelandang kanan-kiri,” tambahnya.
Di era modern, sangat mudah menemukan pemain serba bisa seperti Brehme atau Breitner. Namun di generasi 1980-an, atribusi semacam itu masih sangat jarang. Maka tidaklah mengherankan Brehme sudah dipanggil timnas senior Jerman sejak 1984.
Di Timnas Jerman, pelatih Franz Beckenbauer acap mempercayakan posisi bek sayap kiri kepada Brehme. Namun Brehme juga acap bertukar peran sesuai kebutuhan permainan, mengingat Brehme punya kekuatan dua kakinya. Pada perempatfinal Piala Dunia 1986, Brehme dipercaya mengambil penalti dengan kaki kiri. Sementara, di final Piala Dunia 1990 Brehme mengambil penalti dengan kaki kanan.
“Saya mengenal Andy (Brehme) selama 20 tahun dan saya masih belum mengerti apakah ia aslinya pemain berkaki kiri atau kanan,” kata Beckenbauer.
Baca juga: Di Balik Derby della Madonnina
Seiring kesuksesannya di Kaiserslautern, Brehme menerima pinangan dari Bayern pada 1986. Hal itu membuat marah fans Bayern.
“Kepindahan saya ke (Bayern) Munich menjadi skandal tersendiri dan saya dilabeli pengkhianat. Namun klub dan fans tetap mendapat tempat yang besar di hati saya, di mana pada akhirnya saya kembali di pengujung karier. Saya pindah karena merasa harus jika ingin karier saya berkembang dan bermain untuk klub terbaik di seantero negeri,” kenang Brehme.
Setelah membantu Bayern meraih gelar Bundesliga 1986-1987 dan trofi DFL-Super Cup 1987, Brehme kembali berganti seragam. Kali ini ke luar Jerman bersama dua kompatriotnya, Lothar Mätthaus dan Jürgen Klinsmann, ke Inter Milan pada 1988. Perekrutan trio Jerman itu untuk mengimbangi AC Milan dengan trio Belandanya: Marco van Baster-Ruud Gullit-Frank Rijkaard.
“Mulanya Mätthaus bersama Brehme berperan memenangkan titel Liga Italia pada 1989. Lalu di musim berikutnya bertambah Klinsmann yang menebarkan teror bagi setiap bek di segenap semenanjung (Italia),” tulis Clement A. Lisi dalam A History of the World Cup.
Baca juga: Obituari: Jimmy Greaves Sang Predator Gol
Hingga 1992 membela Nerazzurri (julukan Inter), Brehme turut mempersembahkan gelar Serie A 1988-1989, Supercoppa Italiana 1989, dan Piala UEFA 1990-1991. Brehme kemudian menjajal Liga Spanyol dengan bergabung bersama Real Zaragoza (1992-1993) dengan torehan satu trofi Copa de Rey, sebelum akhirnya comeback ke Kaiserslautern pada 1993 hingga gantung sepatu pada 1998. Bak menebus dosa sebelumnya, sebelum pensiun Brehme turut andil merebut trofi DFB-Pokal 1995-1996 dan titel Bundesliga 1997-1998.
Lantaran besarnya cinta Brehme kepada klub, ia tak pikir dua kali untuk menerima tawaran jadi pelatih sepanjang 2000-2002. Toh Brehme juga sudah mendapat lisensi melatih dari sejumlah “kursus” yang diinisiasi federasi sepakbola Jerman, DFB.
“Pada 3 Januari 2000 sebuah sekolah sepakbola di Hennef memulai pelatihan khusus pelatih DFB di bawah instrktur Gero Bisanz. Kami yang mengikutinya adalah para mantan pemain seperti Matthias, Sammer, Guido Buchwald, Jürgen Klinsmann, Jurgen Kohler, Pierre Littbarski, Stefan Kuntz, Manni Kaltz, Andreas Köpke dan Joachim Löw. Ada banyak kritik publik yang mengatakan kami diberi lisensi hanya karena mantan pemain tapi itu tidak benar karena kami ikut pelatihan dengan serius selama enam bulan,” sambung Brehme.
Pada musim panas 2000, Brehme menerima lisensi pelatih A UEFA. Salah satu bos Kaiserslautern, Atze Friedrich, lalu memberinya penawaran melatih.
“Dia menawarkan, apakah Anda mau jadi pelatih di Kaiserslautern?’ Tanpa pikir panjang saya langsung menerimanya. Saya prihatin kepada pelatih lama saya, Otto Rehhagel yang saya gantikan tapi masalahnya klub sedang berada di posisi kedua dari bawah di tabel liga. Di akhir musim, saya mampu memulihkan klub dan finis posisi kedelapan dan bahkan mencapai semifinal Piala UEFA,” tambahnya.
Namun karena masalah kesehatan, Brehme tak lama menjalani karier di tepi lapangan. Setelah sempat menukangi tim medioker SpVgg Untraching (2004-2005) dan menjadi asisten pelatih di VfB Stuttgart (2005-2006) mendampingi Giovanni Trappttoni, Brehme “pamit” dari pentas kompetitif hingga pada 20 Februari 2024 malam, ia wafat di usia 63 tahun.
“Saya tidak mempercayainya. Sedih rasanya mendengar kabar wafatnya Andreas yang tiba-tiba. Andi pahlawan Piala Dunia kami tapi lebih dari itu, ia sahabat baik saya. Saya akan sangat merindukannya,” tukas Völler yang kini menjabat direktur olahraga timnas di laman resmi federasi, 20 Februari 2024.
Baca juga: Obituari: Kerikil Bernama Nobby Stiles