Masuk Daftar
My Getplus

Dari Manila ke Manila

Kisah srikandi basket lawas. Menebus prestasi di Manila sepeninggal ayahnya.

Oleh: Randy Wirayudha | 19 Sep 2019
Julisa Moertoetyana Rastafari, srikandi basket yang masih bugar di masa "kepala lima" menjadi pelatih di Indonesia Muda. (Fernando Randy/Historia).

SORE itu, 5 September 2019, di salah satu bidang lapangan basket Gelora Bung Karno. Seolah tak mau kalah dari keriuhan sekitar arena yang dikeluarkan suporter timnas Indonesia jelang pertandingan Indonesia kontra Malaysia, Julisa Rastafari acap mengeluarkan suara lantangnya. Urat di tenggorokannya berulangkali menegang kala ia memberi instruksi lewat teriakan. Maklum, arahannya harus terdengar para anak asuhnya.

Gaya melatih Julisa memang keras. Seringkali omelan dengan kata-kata kasar keluar dari mulutnya. Sesekali tangannya tampak “gatal” seperti ingin menampar. Namun,  semua itu cair ketika anak-anak asuhnya bisa mempraktikkan arahannya dengan benar, yang diikuti tos atau sekadar acungan jempol.

Pun begitu, tak sekali pun terlihat orangtua anak-anak didiknya naik pitam atas gayanya melatih pasukan putri U-14 Indonesia Muda (IM). Sebaliknya, laku-laku Julisa justru beberapakali mengundang tawa kecil beberapa aparat keamanan di pinggir lapangan.

Advertising
Advertising

“Kalau orang baru kenal pasti enggak betah sama saya. Jadi sebelum mereka minta saya (melatih), duduk bersama dulu orangtuanya. Kalau di lapangan saya (seperti) pakai helm. Saya enggak mau tahu itu anak presiden, pejabat, kalau salah ya saya omelin. Jadi harus commit dulu bahwa di lapangan dia anak gue. Mau gue apain kek, mau dikatain, enggak boleh marah,” kata Julisa kepada Historia.

Melatih di IM jadi rutinitas Julisa di usia yang tak lagi muda. Setelah pensiun dari pemain pada 1992, ia sempat masuk kepengurusan Perbasi di Bidang Pembinaan Wanita hingga Bidang SDM dan Sertifikasi (1994-2014). Pernah pula ia melatih timnas U-16 pada 2013 dan U-18 setahun setelahnya.

Julisa M. Rastafari tak segan bersikap keras terhadap anak-anak didiknya. (Fernando Randy/Historia).

Darah Atlet

Ibu dari pilar timnas basket putra Andakara Prastawa Dhyaksa itu juga lahir dari ayah seorang olahragawan. Ia lahir di Jakarta, 30 Juli 1962 dari pasutri Tuti Basuki dan Mursanjoto, kiper timnas Indonesia era 1950-an. Nama lahirnya Julisa Moertoetyana. Rastafari ditambahkan di belakang namanya setelah ia dipersunting pelatih basket legendaris Rastafari Horongbala pada 1991.

Belakangan diketahui, ternyata ia masih sepupu dari sprinter legendaris Mohammad Sarengat. Dalam program “Impact” yang dipandu Peter Gontha pada 2007, Sarengat berkisah bahwa ayah Sarengat yang merupakan petenis Prawirosuprapto, merupakan ipar dari Mursanjoto.

Baca juga: Sarengat yang Melesat

“Dia (Mursanjoto) awalnya dari IM juga. Jadi darah olahraga orangtua menurun ke saya. Tapi kenapa saya lari ke basket, mulanya gara-gara diledekin kakak saya waktu SD. Sama kakak saya sering diajakin main basket tapi pakai bola tenis. Tempat lilin dijadikan ring mini. Tapi sering dicurangin karena saya enggak ngerti aturannya,” kenangnya.

Maka ketika beranjak SMP, ia mulai menseriusi bola basket, termasuk memahami aturan-aturannya, dengan mengikuti ekstrakurikuler di sekolahnya, Santa Theresia. Di situ pula ia mengenal latihan keras hingga membuatnya nyaris kapok main basket.

“Pelatihnya di (SMP) Santa Theresia kebetulan bagus. Darnoto, adiknya Ary Sudarsono (pebasket legendaris nasional dan pembawa acara). Galaknya minta ampun. Sadis itu pelatih. Sempat saya ngambek enggak mau basket lagi. Terus ketemu Mas Ary Sudarsono. Dia bilang, mental kamu kecoa! Begitu ‘doang’ ngambek enggak mau basket lagi,” tutur Julisa.

Pertemuan dengan Ary Sudarsono itu jadi titik balik kiprahnya. Ia tertantang untuk berlatih lebih keras sembari menempa mental. Maka jika dibilang siapa orang paling berjasa bagi sepakterjangnya di luar keluarga, Ary Sudarsono jawabannya.

Baca juga: Pencak Silat Warisan Mataram Menembus Zaman

“Ya karena itu tertantang. Dia bilang, siapa tahu sebentar lagi jadi pemain nasional. Saya pun lanjut latihan dan sering nambah sendiri latihannya. Kebetulan saya juga senang olahraga dari kecil. Stamina dan nafas terbantu dari kegemaran saya olahraga beladiri, mulai dari karate sampai pencak silat. Sempat juga saya ikut Merpati Putih (dilatih) sama Mas Poeng dan Mas Budi (mendiang guru besar Purwoto Hadipoernomo dan Budi Santoso Hadipoernomo) di SD Besuki 3,” imbuhnya.

Bak nostalgia dengan masa-masanya menjadi pemain, Julisa kerap berlarian men-dribble bola untuk memberi contoh. (Fernando Randy/Historia).

Prestasi di Manila

Sejak diguyur wejangan Ary Sudarsono, perlahan tapi pasti kiprah Julisa melesat. Selain digembleng di tim SMP Santa Theresia, ia ditempa di klub pertamanya, Prambors, hingga masuk tim inti DKI Jakarta untuk Pekan Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia (POPSI) hingga PON 1977.

“Setelah POPSI saya masuk IM dan dari situ bisa terpilih seleksi timnas Perbasi untuk persiapan SEA Games 1983. Dari waktu ke waktu kita TC (training camp) di Malaysia. Setiap hari ketemunya tim Malaysia. Eh, enggak tahunya di SEA Games (edisi 1991) kita ‘ngalahin’ dia, hahaha…,” kata Julisa mengenang dibumbui tawa.

Dari empat SEA Games, Julisa punya koleksi dua perunggu dan sekeping perak. Dua perunggu diraihnya bersama tim putri di SEA Games 1987 dan 1989. Sementara yang paling bernilai, satu perak, dipetiknya di SEA Games Manila 1991.

Di ibukota Filipina itulah Julisa seolah menebus kegagalan ayahnya di Asian Games 1954 di kota yang sama. Timnas PSSI yang saat itu tergolong “macan Asia” justru gagal meraih medali. Catatan RSSSF, Mursanjoto yang tampil menggantikan Parengkuan di bawah mistar, tetap gagal membantu timnas menang di perebutan perunggu. Timnas PSSI keok 4-5 dari Burma (kini Myanmar).

“Kalau dapat perunggu rasanya biasa saja ya. Tentu pas meraih perak yang paling berkesan buat saya dan paling saya banggakan. Saat itu kita enggak menyangka bisa mengalahkan Malaysia. Saat TC ketemunya dia terus. Malaysia juga sudah anggap kita di bawahnya dia. Kita juga berpikirnya rebutan perunggu lagi sama Filipina atau tim lain,” sambung Julisa.

Baca juga: Atlet Tenis Meja Indonesia WO dari SEA Games Malaysia

Di SEA Games 1991 yang bersistem klasemen itu, tim putri Indonesia menang empat dari lima partai yang dimainkan. Malaysia termasuk dari empat lawan yang mampu mereka bekap (Indonesia vs Malaysia: 58-49). Hanya saja, mereka takluk oleh Thailand (54-65) di partai penentuan medali emas.

Dua puluh empat tahun lamanya prestasi itu belum pernah disamai apalagi dilewati oleh para penerus Julisa dkk. Baru pada SEA Games 2015, timnas putri di bawah manajer Augie Fantinus dan pelatih Bambang Asdianto Pribadi kembali membawa pulang medali perak.

Julisa M. Rastafari bersama sepasukan asuhannya U-14 Indonesia Muda. (Fernando Randy/Historia).

Julisa sendiri sempat punya nazar bahwa dia takkan bisa tidur nyenyak dan belum bersedia meninggalkan lapangan untuk melatih jika prestasi tim putri belum bisa menyamainya – medali perak SEA Games. Kini, ia sudah bisa tenang.

“Bangga dan terharu melihat timnas basket putri yang meraih kembali perak di SEA Games 2015, kali pertama setelah 24 tahun. Peran Augie sebagai manajer timnas putri pantas diberi acungan jempol,” tulisnya dalam testimoni otobiografi sang manajer, Jump!: Dari Penonton Jadi Manajer Timnas Indonesia.

TAG

basket sea games

ARTIKEL TERKAIT

Tembok Besar Yao Ming Selayang Pandang Tim Gajah Perang Arena Sejarah Kun Khmer "Kembaran" Muay Thai Bokator dan Legenda Beladiri dari Peradaban Angkor Vovinam, Silat Kebanggaan Vietnam Narasi di Balik Jersey Legendaris Magic Johnson Jungkir Balik Mengimpor NBA ke Indonesia Selamat Jalan Kobe Bryant! Jalan Berliku Judoka Krisna Bayu Gila Basket di Filipina