Masuk Daftar
My Getplus

Pesona Baret Merah dan Luhut Kecil

Luhut kecil terpesona oleh Benny Moerdani dkk. sewaktu menumpas PRRI. Seperti Benny, Luhut juga masuk korps baret merah.

Oleh: Petrik Matanasi | 18 Jul 2023
Luhut Panjaitan dan Benny Moerdani, mantan perwira baret merah yang sama-sama memainkan peran dalam politik nasional (Olah foto: Yusuf Awaluddin/Historia)

Bonar Pandjaitan tak ingin jadi tentara lagi. Setelah penurunan pangkat massal, pangkatnya turun dari letnan dua ke pembantu letnan. Bonar akhirnya bekerja di perusahaan minyak milik Amerika Serikat di Riau, Caltex. Kesejahteraan keluarganya tergolong baik di sana.

Namun ketenangan hidup di sana terusik pada paruh kedua 1950-an. Ketika perlawanan terhadap pemerintah pusat bergejolak dari Sumatra Barat dan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) berdiri, Riau termasuk daerah yang terjangkit PRRI. PRRI satu paket dengan Permesta di Sulawesi Utara. Banyak pasukan dari Jawa yang dikirim ke daerah-daerah itu.

Pekanbaru yang jadi pusat dari Riau pun dikirimi tentara oleh pemerintah pusat. Untuk merebut Pekanbaru, Pasukan Kangguru, yang berisikan pasukan dari Kompi A Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) dengan kemampuan terjun payung, dikerahkan. Dari Tanjungpinang, pasukan ini diterjunkan dan merebut lapangan udara Simpangtiga pada 12 Maret 1958 tanpa menemui kesulitan karena para pengikut PRRI memilih lari dan bersembunyi.

Advertising
Advertising

“Siang hari itu juga pasukan ini malahan sudah berhasil menguasai kota Pekanbaru,” catat Julius Pour dalam Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan.

Baca juga: Saat Benny Moerdani Dikira Takut Terjun

Komandan pasukan Kangguru dan Kompi A RPKAD adalah Letnan Leonardus Benjamin Moerdani alias Benny Moerdani. Pasukan itu bagian dari Operasi Tegas yang dipimpin Letnan Kolonel Kaharuddin Nasution. Setelah merebut Pekanbaru, pasukan Benny itu ditugaskan ke Medan.

Ketika Pekanbaru diduduki RPKAD itu, anak tertua Bonar, Luhut Binsar Pandjaitan, masih duduk di Sekolah Rakyat (SD). “Saat itu, ia melihat kegagahan prajurit RPKAD yang baru saja mendarat di Pekanbaru,” catat Noorca Massardi dalam Biografi Luhut Binsar Pandjaitan.

Dengan prajurit yang tidak terlalu banyak, RPKAD mampu merebut Pekanbaru. Itu prestasi luar biasa bagi Republik Indonesia di tahun 1950-an. Apa yang terjadi di Pekanbaru itu berkesan bagi bocah SD yang disapa Luhut itu.

“Di Pekanbaru itulah, untuk pertama kalinya Luhut memantapkan tekad untuk menjadi prajurit RPKAD,” sambung Noorca.

Baca juga: Kisah Jenaka Para Petinggi PRRI/Permesta

Namun Luhut muda tak langsung masuk tentara. Buku Tritura dan Hanura: Perjuangan Menumbangkan Orde Lama dan Menegakkan Orde Baru menyebutkan, Luhut sempat kuliah dulu, bahkan menjadi pemimpin Presidum dari Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI). KAPI ikut menggoyang pemerintahan Presiden Sukarno yang dianggap Angkatan 66 sebagai Orde Lama dan ikut serta pula mendirikan Orde Baru.

Setelah Soeharto naik jadi pejabat presiden pada 1967, barulah Luhut masuk Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang. Pemuda kelahiran Simargala, Toba Samosir pada 28 September 1947 itu berhasil lulus pada 1970 sebagai penerima Adhi Makayasa. Dia lulus bersama mantan KSAD Subagyo Hadisiswoyo dan mantan Menteri Agama Fachrul Razi.

Baca juga: Dari Banteng Raiders ke Baret Merah

Ketika Luhut masih jadi taruna di AMN, RPKAD sudah tidak ada lagi. Yang ada adalah Pusat Pasukan Khusus Angkatan Darat (Puspassus AD), tapi baretnya tetap merah. Cita-citanya masuk baret merah pun berlanjut dan terkabul ketika Luhut bergabung ke Komando Pasukan Sandhi Yudha (Kopassandha), nama pasukan baret merah pengganti Puspassus.

Pada 6 Desember 1975, ketika sudah menjadi letnan dan menjabat komandan Kompi A Detasemen Tempur (Denpur) 1 Kopassandha, Luhut bertemu dengan orang yang dulu memimpin perebutan lapangan udara di Pekanbaru, Benny Moerdani. Luhut saat itu akan berangkat ke Timor-Timur lewat Halim Perdanakusumah. Kala itu Benny sudah jenderal dan menjadi pejabat intelijen. Benny memberi briefing singkat di sana.

“Saya percaya kalian akan bisa merebut Dili. Tetapi saya juga sadar, di antara kalian pasti akan ada yang gugur dalam pertempuran,” kata Benny Moerdani seperti ditulis Julius Pour dalam Benny: Tragedi Seorang Loyalis

Baca juga: Nasib Dading Kalbuadi Setelah Berangkat ke Timor Timur

Apa yang dikatakan Benny tak salah. Perlawanan dari para pejuang kemerdekaan Timor-Timur begitu kuat. Kendati dili dapat direbut pasukan Indonesia, korban jiwa yang diminta tak sedikit. Dalam hari pertama pertempuran, 21 personel Detasemen Grup 1 Kopasandha kehilangan nyawa.

“Luhut yang dijadwalkan terjun untuk merebut landasan udara Comoro, terpaksa batal terjun. Hercules yang dia naiki terpaksa kembali ke Kupang, akibat sudah terlampau jauh melenceng dari dropping zone. Satu-satunya radio yang seharusnya untuk Letnan Kolonel Soegito juga tidak bisa diterimakan, karena terbawa terbang kembali,” sambung Julius Pour.  

Namun waktu akhirnya membuktikan Luhut berhasil pulang dengan selamat. Bahkan, akhirnya jadi jenderal dan memainkan peran penting dalam perpolitikan nasional. Hanya saja, Luhut tak pernah menjadi panglima ABRI seperti Benny.*

TAG

benny moerdani baret merah prri permesta

ARTIKEL TERKAIT

Jenderal Belanda Tewas di Lombok Letnan Rachmatsyah Rais Gugur saat Merebut Tank Belanda Dulu Tentara Kudeta di Medan Protes Sukarno soal Kemelut Surabaya Diabaikan Presiden Amerika Sebelum Jenderal Symonds Tewas di Surabaya Mahasiwa yang Menolak Militerisme Jadi Orang Sukses Pelatih Galak dari Lembah Tidar Pangeran Pakuningprang Dibuang Karena Narkoba Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian II – Habis) Melihat Tentara Hindia dari Keluarga Jan Halkema-Paikem