Dari Banteng Raiders ke Baret Merah
Jawa Tengah pernah punya tiga batalyon Banteng Raiders. Satu tetap di Srondol dan sisanya menjadi bagian dari Baret Merah Kandang Menjangan.
SETELAH lebih dari satu dekade, pasukan Banteng Raiders di Jawa Tengah makin berpengalaman dalam banyak pertempuran. Baik melawan DI/TII di Jawa Tengah, PRRI di Sumatra Barat, maupun terlibat dalam perebutan Irian Barat. Jumlah personelnya semakin besar.
Ketika Ahmad Yani, perintis Banteng Raiders menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Banteng Raiders sudah sebesar tiga batalyon. Batalyon Infanteri 436 menjadi Banteng Raiders I di Magelang, Batalyon Infanteri 454 sebagai Banteng Raiders II di Srondol, dan Batalyon Infanteri 441 sebagai Banteng Raiders III di Jatingaleh.
Banyak anggota Banteng Raiders I kemudian masuk ke dalam Resimen Tjakrabirawa, pasukan pengawal Presiden Sukarno pada 1962. Termasuk Sersan Bungkus dan Kopral Ishak Bahar. Meski demikian batalyon Banteng Raiders I dan III tetap ada.
“Di Tjakra, komandan batalyon saya adalah Ali Ebram. Seorang letnan kolonel. Ketika seluruh struktur komando Resimen Tjakrabirawa akhirnya terbentuk, Pak Ali Ebram diangkat menjadi kepala staf resimen. Untung didatangkan untuk menggantikannya sebagai komandan batalyon,” kata Sersan Mayor Bungkus dalam “The World Of Sergeant Major Bungkus”, jurnal Indonesia No. 78, Oktober 2004. Kompi C pada batalyon ini kemudian terlibat dalam Gerakan 30 September 1965.
Ketika Yani menjadi KSAD, ada juga anggota Banteng Raiders yang masuk pasukan khusus Angkatan Darat, yaitu Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Program ini dimulai pada akhir tahun 1963.
“Unit pertama yang dipilih untuk konversi adalah Batalyon 441 Banteng Raiders III yang berbasis di Semarang,” catat Ken Conboy dalam Kopassus: Inside Indonesia’s Special Forces. Setelah pelatihan di Batujajar, mereka menjadi Batalyon 3 RPKAD. Mereka pun jadi prajurit Baret Merah.
Berikutnya adalah batalyon Banteng Raiders I di Magelang. Setelah dilatih ala RPKAD, batalyon ini ditugaskan dalam Brigade Lintas Udara di bawah Letnan Kolonel Mung Parhadimulyo di Papua Barat. Mereka kembali pada paruh kedua tahun 1965 dan kemudian dijadikan sebagai Batalyon 2 RPKAD di Tuguran, Magelang. Mayor Soeweno pernah menjadi komandan batalyon Baret Merah ini.
Baca juga: Ali Moertopo Moncer di Banteng Raiders
Dalam batalyon-batalyon yang berisi prajurit Banteng Raiders itu juga terdapat perwira muda lulusan Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang. Di antara perwira pertama di batalyon itu adalah Letnan Satu Feisal Tanjung, Letnan Kentot Harseno, dan Letnan Dua Sintong Panjaitan.
Batalyon 3 RPKAD, yang berbasis di Kandang Menjangan dekat Solo, pernah akan dikirim ke perbatasan dalam rangka Konfrontasi Malaysia. Namun, mereka tidak mengatasnamakan RPKAD. Hendro Subroto dalam biografi Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando menyebut mereka tidak membawa baju loreng darah mengalir dan baret merah kebanggaan mereka. Mereka dalam rangka operasi klandestin.
Baca juga: Baret Merah vs Baret Ungu
Mereka tak pernah berangkat ke perbatasan karena G30S meletus dan petinggi Angkatan Darat memerlukan mereka di Jakarta. Sintong bersama satu peleton RPKAD diperintahkan menyerbu gedung Radio Republik Indonesia di Merdeka Barat. Setelah kembali ke Kandang Menjangan, giliran Feisal Tanjung memimpin kompi RPKAD memberantas kelompok Mbah Suro yang disinyalir terkait G30S di Jawa Tengah.
Pada 1966, RPKAD berubah nama menjadi Pusat Pasukan Khusus Angkatan Darat (Puspassus AD) dan pada 1971 berubah lagi menjadi Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha). Dari Tuguran, Magelang bekas Batalyon 2 RPKAD yang menjadi Grup 2/Sandi Yudha pindah markas ke Kandang Menjangan.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar